Padahal aku senang sekali bisa bertemu dengannya. Namun, kuurungkan niatku untuk mendekatinya karena dia tampak begitu ceria bersama Rina.
Ya, Rina. Aku ingin mampir ke rumahnya untuk menghilangkan jenuh karena kebosanan berada terus di kamar. Namun begitu aku melihat mereka sedang asyik mengobrol, aku merasa enggan mendekat.
Hatiku panas, dan akhirnya kuputuskan untuk memutar ekor. Bahkan sepanjang jalan, aku sendiri bertanya-tanya mengapa. Sampai di rumah dan kamarku kembali pun, aku masih tidak tahu alasannya.
Tapi tunggu sebentar ....
Aku tidak ingat aku punya masalah dengan Rina. Kami memang tidak akrab, tapi bukan berarti aku sebal padanya.
Atau jangan-jangan ...
Tidak, tidak mungkin!
Aku ... cemburu?
Buru-buru kupendam kepalaku di bawah tumpukan bantal. Aku ... cemburu pada temanku sendiri?
“Astaga, kenapa jadi begini, sih?!” Rutukku.
Mengapa aku tidak suka kalau Rina bersama Aldi? Terus yang lebih penting, mengapa baru sekarang?
Maksudku, sebelumnya pun aku sudah pernah melihat mereka berdua malah aku sendiri ada bersama mereka juga. Tapi aku tidak merasakan apapun.
Apa mungkin ... karena perasaanku pada Aldi yang semakin besar, sehingga aku semakin takut kehilangan dia?
Aahhh! Aku bingung!
“Terus aku harus bagaimana?” Keluhku.
Bodohnya aku malah bertanya pada diri sendiri. Tapi, aku memang tidak tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin kan aku menyuruh Rina untuk menjauhi Aldi. Dia temanku, dan yang terpenting, dia adalah teman masa kecilnya Aldi. Maksudku, siapa aku berani mengusik Rina yang bahkan lebih mengenal Aldi daripada aku?
“Apa mungkin aku langsung jujur saja soal perasaanku pada Aldi, ya?”
Tentu saja, aku langsung mendengar suara-suara penolakan dari benakku. Lagi pula, aku sendiri memang belum berani. Lebih tepatnya … aku belum siap menerima kenyataan pahit yang mungkin kudapatkan.
Ah, ya sudahlah. Semua pikiran negatif itu membuatku pusing. Aku yakin, Rina tidaklah seperti bayanganku.
Semoga saja.
***
“Masih pagi, Sar. Tolong deh, jangan bikin aku sewot!”
Baru juga sampai, tapi Sarah sudah membuatku langsung ingin pulang. Minggu pagi ini, aku terpaksa berada di rumahnya setelah tanpa komunikasi apapun, dia datang ke rumahku dan memohon agar aku mau menemaninya di kediamannya karena kedua orang tuanya pergi untuk mengikuti seminar di luar kota sehingga dia jadi sendirian.
Bahkan dia berani datang ke rumahku dengan rambut dan muka kusut khas orang yang baru bangun tidur. Masih memakai kaus kusut yang ditutupi dengan kardigan supaya kelihatan rapi dan celana tidur pula. Mandi dulu orang mah!
Omong-omong alasan mengapa aku marah adalah, baru juga aku menaruh telapak kaki di beranda rumahnya, dia sudah menanyaiku soal Aldi. Karena kejadian kemarin membuat suasana hatiku buruk, aku enggan membicarakan apapun soal dia.
“Ah, dasar. Katanya kau suka sama dia, tapi kutanya malah marah. Kau ini kesurupan hantu apa sih, Nda?” Tanyanya dengan senyum mengejek ketika membuka sepasang pintu kayu menuju bagian dalam rumahnya.
“Lagian, aku masih mengantuk, tahu!” Protesku. “Datang tiba-tiba main paksa saja, huh! Menyebalkan banget, sih?!”
“Ya, ya, maaf,” lanjutnya sambil cengengesan yang membuat emosiku semakin naik. “Ayo masuk.”
Aku pun masuk setelah Sarah lebih dulu. Begitu di dalam, semua rasa kesalku berganti jadi kekaguman yang tiada tara.
Di ruang terdepannya saja, aku sudah disambut oleh sebuah kabinet berisi bermacam-macam trofi. Tentu saja tidak lupa, berbagai perabotan yang bagus-bagus.
“Keluarga otak encer memang beda,” gumamku.
“Ah, biasa saja, Nda,” aku kaget ketika Sarah menanggapiku. Kupikir dia tidak dengar. “Masih banyak orang yang lebih banyak pajangannya.”
“Itu semua milikmu?” Tanyaku seraya menunjuk kabinet itu.
“Sebagian, sisanya campur,” katanya berusaha merendah. Meski tidak bisa dipungkiri dia tetap menunjukkan kebanggaannya.
Aku mengangguk mengerti. Lalu kudekati kabinetnya untuk melihat lebih jelas prestasi apa saja yang pernah keluarganya dan utamanya Sarah, telah raih.
Kuperhatikan dengan cermat setiap trofi mulai dari atas. Hanya yang tercantum nama Sarah.
“Juara satu cerdas cermat antar kota tingkat SMP, terus ... juara satu bulutangkis antar SD sekota, juara satu ... emm ... memasak?”
Memasak? Aku tidak menyangka. Kukira Sarah adalah putri dari keluarga terpandang yang kerjanya cuma ungkang-ungkang kaki saja.
Aku berbalik untuk mendapatkan penjelasan darinya. “Kau pernah menang lomba memasak?”
“Ya, memangnya kenapa?”
“Tidak, kupikir kau itu pemalas.”
“Bukannya kau, Nda? Kau kan hobinya kalau tidak marah-marah, ya tidur.”
“Brengsek!”
“Hahaha ... ah sudahlah, Nda. Ayo ke dalam.”
Aku mengikutinya menuju ruang tengah, yang rupanya ruang keluarga. Kakiku disambut oleh karpet beludru yang empuk dan lembut, membuatku jadi ingin berguling-guling di atasnya.
Sarah kemudian berhenti dan memberiku isyarat untuk duduk di salah satu dari tiga sofa yang ada di tengah ruangan yang langsung kuturuti sebelum dia pergi ke ruang selanjutnya yang sepertinya dapur. Tidak jauh dari hadapanku, sebuah televisi layar gepeng yang besarnya bukan main duduk dengan gagahnya di atas bufet mewah dari kayu jati. Orang kaya mah beda.
Selagi menunggu Sarah yang entah sedang apa, aku menebar pandangan ke sekitar. Jujur saja, rumahnya tidaklah begitu besar, tapi menurutku karena dekorasinya yang numero uno, membuat ruangan ini saja seperti ruangan pribadi seorang raja. Di tembok-temboknya, menggantung berbagai bingkai dengan beragam ukuran. Beberapa adalah foto keluarganya, dan sebagian lain berupa lukisan abstrak.
Aku tidak mengerti mengapa keluarganya memajang lukisan-lukisan itu. Memang sih, aku pernah mendengar kalau orang cerdas itu pikirannya tidak beraturan, dan Sarah sendiri sempat pernah mengeluh kalau dia sulit konsentrasi dan susah tidur karena kepalanya terlalu aktif, entah benar atau tidak.
Pernah sekali dia cerita, katanya sewaktu di kelas, tubuhnya ada di tempat. Namun pikirannya tengah ikut tawuran melawan Jerman di pantai Normandia untuk menyelamatkan seorang prajurit bernama Ryan.
Dan yang membuatku semakin takjub adalah, lemari kaca dengan ukuran besar yang isinya tentu saja, trofi dan medali yang jumlahnya banyak banget yang letaknya ada di pojokan di bawah tangga naik di sisi kiri ruangan ini. Hebat!
“Kau sudah sarapan, Nda?” Ketika kutoleh, Sarah berjalan dengan nampan di tangan berisi poci keramik dengan sepasang cangkir, dan tentu saja yang paling menggoda, potongan kue bolu yang menumupuk di sebuah piring.
Setelah meletakkan nampannya di atas meja kaca, dia duduk di sebelahku. Bau parfum vanila semerbak di hidungku. Sejak kapan dia pakai pewangi badan?
“Makan kuenya, Nda,” katanya sembari menuangkan isi dari pocinya yang rupanya teh yang masih berasap ke kedua cangkir. “Kalau kurang, aku ambilkan lagi nanti. Jangan malu-malu, kau kan tidak punya malu.”
“Diledek terus, aku pulang saja, deh,” rutukku.
“Aku kan cuma bercanda, Nda.” Dia terkekeh. “Jadi perempuan jangan judes-judes kenapa?”
“Terserah, deh!”
Setelah secara bersamaan mencicip teh manis buatannya yang hangatnya sampai ke kalbu, Sarah memutar tubuhnya dan bersila sehingga menghadapku langsung.
“Bagaimana Aldi, Nda?” Tanyanya lagi dengan senyum jahilnya yang menyebalkan.
“Masih sama,” jawabku. Aku langsung jujur saja karena tidak mau jadi berbelit.
“Kok bisa sih, Nda?”
“Habis mau bagaimana?”
Lalu Sarah melipat kedua tangannya di dada. Dari caranya memandangku, dia sepertinya akan membicarakan ini dengan serius.
“Kau itu harusnya lebih agresif, Nda,” katanya.
“Agresif?” Alisku berkerut.
Dia mengangguk. Perlu bagi otakku yang setara tabung hampa ini untuk mencerna maksud dari ucapan Sarah.
Agresif ... maksudnya apa? Aku harus bawa golok atau celurit begitu?
Karena aku sudah merasa gagal paham, aku berniat untuk menanyai maksudnya. Namun, aku mengerjap ketika sesuatu terpasang di dalam kepalaku yang membuat wajahku mendadak panas tepat sebelum aku membuka bibir.
Jangan-jangan yang dia maksud itu ....
“M-Maksudmu, a-aku harus melakukan sesuatu seperti menci—”
“Sssst! Sembarangan!” Potongnya seraya meletakkan telunjuknya di bibir. “Ah, dasar. Kau ini memang mesum, Nda. Baru aku bilang begitu saja pikiranmu sudah ke mana-mana.”
“L-Lagian, bahasamu itu ambigu, tahu!” Belaku pada diri sendiri. Ya Tuhan, bagaimana bisa pikiranku tersetir ke arah sesuatu yang menjijikan seperti itu?!
“Maksudku itu kau itu harus lebih sering bicara dan dekat dengannya. Bukan melakukan hal aneh-aneh begitu! Dasar korban sinetron!”
Aku pun termangu, dan Sarah yang tampaknya merasa telah berhasil menyadarkanku, menepuk jidat sambil geleng-geleng.
Memang sih, walau memalukan, yang dia katakan itu benar. Selama ini, aku hanya bicara satu dua kata dengan Aldi lalu kabur karena tidak tahan malu. Dekat-dekat pun juga tidak, malah bicara lewat WhatsApp saja, aku tidak berani.
“Aku mau, Sar. Tapi ... aku malu,” kataku lemas seraya sedikit menurunkan pandanganku.
Sarah tidak menjawab, melainkan dia tersenyum manis padaku. Bukan hanya manis, tapi juga bermakna.
“Kau malu kenapa, Nda?” Katanya kemudian. “Kau saja tadi tidak malu bilang kalau kau mau menciumnya, kan?”
“Berisik!” Sergahku. “Ah, sudahlah, aku mau pulang saja!”
Memang dasar menyebalkan. Bukannya takut, dia malah tertawa terpingkal-pingkal kuancam begitu. Hawa panas di mukaku semakin bertambah, dan aku yakin pasti sudah merah sekali sampai aku harus menutupinya dengan kedua tanganku.
Pokoknya resmi. Sampai di rumah nanti, aku akan meminjam tali tambang tetangga.
“Ya, ya, deh. Aku serius!” Kata Sarah dengan tawa yang terus jalan. “Kau memangnya malu kenapa sih, Nda?”
“Entahlah, aku juga tidak mengerti,” jawabku.
Lantas, dia menepuk bahuku. Ketika kulihat dia, sebuah senyum yang menyejukkan menyambutku.
“Kau itu cantik, Nda,” katanya yang membuatku tersentak. “Sebagai sesama perempuan, aku jujur belum pernah melihat gadis yang parasnya sepadan denganmu. Aku bahkan sering berpikir, kalau saja aku laki-laki, aku pasti akan terpikat olehmu.
“Dan yang terpenting, kau itu hatinya baik, Nda. Soal prestasi, kau juga tidak buruk-buruk amat. Aku tahu kau lebih pintar dariku, dan aku yakin kalau bukan karena kejadian waktu kau SMP dulu, pasti kau lah sekarang yang namanya sering bertengger di peringkat satu sekolah.”
Walau semua yang dia katakan itu terdengar manis, tapi aku memilih mengalihkan pandanganku tanpa tanggapan. Hal-hal itu, tidak pantas dikatakan untukku.
“Kau berlebihan. Aku tidak seperti itu,” bahkan setelah dipuji demikian, aku masih saja menyanggah.
“Nah. Kau tahu tidak? Satu-satunya hal yang sangat kubenci darimu adalah, kau itu selalu menganaktirikan dirimu sendiri, Nda. Maksudku, kau selalu menganggap orang-orang di sekitarmu itu lebih baik darimu. Entah kau sadar atau tidak.
“Aku tahu kau keluar dari OSIS karena berkonflik dengan Tiara, kan? Biarpun dia kakak kelas, aku akui aku juga tidak suka padanya. Padahal posisimu ada di pihak yang benar dan sebagian besar teman-teman juga mendukungmu. Tapi kau malah memilih mundur dan tanpa sadar, kau sudah mempecundangi diri sendiri.”
Mendengar semua penjelasan yang begitu menohok bagiku, membuatku tertunduk lesu. Ternyata selama ini perasaanku benar, kalau diriku sebetulnya begitu menyedihkan.
“Aku minta maaf kalau semua ucapanku sudah membuatmu sedih, tapi sebagai teman, aku tidak mau kau begitu terus, Nda. Jujur saja, aku sampai sekarang tidak rela kehilangan rekanku yang paling hebat di OSIS.”
“Terus aku harus bagaimana?” Tanyaku.
“Mudah saja, jangan menyerah untuk mendapatkan Aldi,” jawabnya. “Jangan menyerah, tidak kali ini.”
“Itu saja?”
“Ya. Kau harus belajar untuk tidak mudah mengalah, Nda.”
Tidak kusangka, semua obrolan yang tadinya selalu berisi ledekan buatku berubah jadi sesuatu yang penuh makna. Aku sadar semua yang dia katakan adalah benar, tapi tetap saja ....
“Sudah, Nda. Jangan terlalu dipikirkan,” tambahnya. “Aku juga dulu sama sepertimu. Sekadar cerita, aku juga sempat pesimis dan malu-malu saat aku masih dalam masa pendekatan dengan pacarku.”
“Benarkah?” Sontak perhatianku kembali padanya. Aku tidak pernah menyangka kalau Sarah ternyata pernah dan bisa seperti itu juga.
“Ya. Kalau dia ada di dekatku, aku selalu ingin lari. Sampai akhirnya, aku mengetahui ada gadis lain yang mencoba untuk mendekatinya. Aku tentu saja tidak mau itu terjadi. Ini rahasia sebetulnya, tapi aku lah yang menyatakan perasaan lebih dulu, dan untungnya, dia juga menyukaiku dan yah, jadi, deh.”
“Itu sungguhan?” Tanyaku memastikan karena Sarah kadang bercandanya kelewatan. Tapi setelah kuperhatikan wajahnya, tidak ada tanda-tanda kalau dia sedang mengarang bebas.
Sarah mengangguk. Rasanya sungguh di luar nalar karena selama ini, aku selalu melihat dia sebagai seorang gadis yang mesti diperjuangkan mati-matian oleh para lelaki. Jadi tidak pernah terkirakan olehku kalau ternyata dialah yang memulai awal hubungannya dengan pacarnya.
“Aku yakin kok, Nda.” Sarah kembali tersenyum. “Aldi pasti akan menerimamu.”
Jujur, yang dia katakan barusan terlalu utopis untukku. Tapi harus kuakui, mendengarnya membuatku bisa lebih tenang.
“Cieee ... senyum-senyum sendiri!” Sarah menunjuk mukaku sambil cekikikan. Aku tersenyum? Sejak kapan?
“Sudah kenapa, sih? Aku malu,” pintaku seraya menutupi muka yang kembali terasa hangat dengan tangan.
Bukannya berhenti, dia malah menggodaku terus. Ah dasar, manusia usil!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
lanjut tor
2020-11-17
1
Helvina Intan
keep writing kk
2019-09-25
0
Ardha Wahyuni
mukanya panas trus kaya kompor sja.... sih
2019-06-01
1