Seraya menyandarkan bahu kanannya di dinding kamarku dengan tangan terlipat di dada, ibuku terus memandangiku dengan senyum simpul di bibirnya ketika aku sedang mencoba mencocokkan diri dengan seragam sekolah baruku. Bahkan sesekali dia terkekeh melihatku. Aku tidak tahu apa yang lucu dariku, tapi itu agak membuatku risih.
“Kenapa sih, Bu? Tertawa terus?” Tanyaku heran.
“Habisnya, anak ibu ganteng banget, sih!” Lagi, pujian itu keluar dari mulutnya.
Kemudian dia mendekatiku seraya menaikkan kedua lengan kardigan yang dia kenakan, menarik kepalaku, dan mengecup keningku. Lalu dia memelukku disusul dengan belaian tangannya di belakang kepalaku. Dalam jarak sedekat ini, aroma sampo dari rambut panjangnya begitu semerbak di hidung.
“Ibu senang banget anak ibu tumbuh jadi anak yang baik dan ganteng!” Katanya sambil tertawa-tawa pelan.
Aku sempat ingin melepaskan diri, tapi dia menahanku. Aku malu, sudah besar begini tapi selalu diperlakukan seperti anak kecil, meski kutahu sebenarnya itu adalah cara ibu menunjukkan kasih sayangnya padaku.
Akhirnya dia melepaskan pelukannya, meski kedua tangannya tetap berada di bahuku.
“Lihat, sekarang kamu lebih tinggi dari ibu.” Mata teduhnya memperhatikanku dari bawah ke atas. Tatapannya berhenti di mataku, lalu dia mencoba membenarkan kacamata yang kupakai dan menyisiri rambutku dengan jemari lentiknya walau kuyakin sudah mengenakan dan menatanya dengan baik. “Padahal waktu itu kamu kecil banget, sampai kalau gendong kamu rasanya seperti gendong kucing.”
Dia tertawa lagi dan melepaskanku seluruhnya kemudian duduk di tepian ranjangku sambil memamerkan senyum kecil yang manis. Dari caranya menatap, tergambar jelas bahwa dia mengharapkan sesuatu terucap dariku.
Tapi aku hanya bisa tersenyum saja, dan sepertinya dia cukup puas. Aku pun berbalik dan menghampiri cermin di pintu lemari. Berpura-pura seolah aku sibuk dengan penampilanku walau kuyakin semuanya sudah rapi.
Setelan berupa kemeja putih lengan pendek dengan saku bergambar lambang sekolah, dasi biru langit dan celana panjang berwarna sama. Semuanya sudah menempel di tubuhku dengan baik.
Aku tidak mahir berkata-kata. Pun bagiku, tindakan kecil kadang lebih bermakna dibandingkan ucapan, seperti yang kulakukan barusan pada ibuku.
Dari pantulan cermin, aku melihat ibu yang masih tersenyum, berdiri, berdiam untuk menatapku sebentar lalu pergi keluar.
Kemudian aku duduk menggantikannya di ranjang. Menghela napas panjang. Pagi ini adalah hari pertamaku di sekolah baru. Membayangkan diriku memasuki lingkungan asing tanpa mengenal siapapun membuat jantungku berdebar-debar. Kuharap aku bisa menunda barang sehari atau dua hari.
Namun, semua perlakuan penuh kasih sayang dari ibuku barusan membuatku merasa nyaman. Meski ragu tetap ada, setidaknya semua itu menjadi sumber semangat buatku.
“Aldi! Sarapan dulu sini!” Ibu menyeru dari arah dapur dengan semangat. Tidak biasanya dia begitu.
“Ya, Bu! Sebentar!” Balasku dan kemudian menjemput panggilannya.
***
Sekarang aku telah sampai di halaman depan SMA Madya, sekolah baruku. Aku tidak langsung masuk, tapi terlebih dulu berhenti di tengah arus murid-murid yang hendak menuju ke dalam. Memperhatikan sesaat gedung yang nantinya akan menjadi tempat belajarku.
Gedungnya memiliki tiga tingkat dan di cat dengan warna biru muda secara keseluruhan bahkan hingga atapnya. Sepertinya pendiri tempat ini amat menyukai warna itu.
Aku juga yakin, pasti ada gedung kecil lain yang terpisah dari yang utama. Tidak sebesar sekolah lamaku, tapi menurutku di sini lebih nyaman karena letaknya yang berada di tengah pemukiman, tidak di pinggiran jalan besar.
Lalu aku beranjak masuk ke dalam gedung. Melewati sepasang pintu kaca, aku berjumpa dengan dua orang guru perempuan yang tampaknya sedang bertugas piket tengah duduk dibalik meja resepsionis yang ada di sisi kanan.
Terdapat dua jalan, dan aku memilih ke arah kiri. Menaiki tangga menuju lantai dua dan ambil posisi di depan sebuah kelas yang ramai dengan wajah-wajah yang benar-benar asing. Aku ikut bergabung saja, daripada aku terlihat seperti orang bingung. Mereka pun tampaknya tidak terganggu dengan kehadiranku.
Dari posisiku sekarang, aku dapat melihat hampir keseluruhan tempat ini. Di bawah sana, di lapangan, aku mendapati sekelompok murid yang tengah praktik mengibarkan bendera. Satu dari mereka yang menggunakan kerudung putih, tampak kaku sekali. Dari tampangnya yang terlihat kikuk, kurasa dia adalah murid tahun pertama.
Kukeluarkan sedikit ponselku dari saku celana untuk melihat jam, dan ternyata baru pukul tujuh seperempat. Harusnya aku diagendakan bertemu wali kelasku di ruang kesiswaan. Tapi kurasa aku masih ada cukup waktu untuk melihat-lihat sesaat.
“Lebih nyaman di sini. Tidak berisik,” gumamku saat teringat dengan suasana sekolahku yang sebelumnya.
Setelah kurasa cukup, aku turun lagi ke lantai dasar menuju ruang kesiswaan. Aku punya firasat kalau wali kelasku sudah menungguku di sana.
Kupercepat langkahku setelah aku melewati tangga, hingga beberapa kali aku hampir bersenggolan dengan murid lain. Sampai akhirnya aku pun menabrak seorang siswi yang tiba-tiba keluar dari ruang tata usaha dan membuatnya nyaris jatuh.
Segera aku meminta maaf padanya. “A-Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja.”
Untuk sesaat, dia tampak berang sebelum mengernyitkan alis seolah dia mengenaliku tapi lupa.
“Sekali lagi aku minta maaf, ya?” mohonku lagi. Kupasang senyum kecil dengan maksud agar nuansa tegang di antara kami mencair.
Namun, tiba-tiba dia tersentak. Matanya melebar. Mukanya memerah, dan cara dia memandangku, seakan tidak percaya dengan apa yang dia saksikan. Tingkahnya juga jadi aneh.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya, tapi itu membuatku bingung.
“Ada apa?” tanyaku memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Apakah dia sakit? Tapi rasanya tidak. Dia ... terlalu bersemangat untuk seseorang yang sedang kurang sehat.
Atau mungkin, wajahnya merah karena malu pada seseorang?
Aku menoleh ke belakang dan ke sekitarku, tapi tidak ada siapapun yang kutemukan, kecuali sepasang guru piket tadi dan murid-murid yang baru datang.
Matanya memang melihat ke arahku dan aku yakin dengan itu. Namun rasanya tidak mungkin dia malu bertemu denganku karena aku sendiri tidak ingat pernah berpapasan dengannya.
Dia sendiri seperti berusaha mengatakan sesuatu, tapi berat. Yang dia lakukan hanya mengap-mengap selayaknya ikan sekarat, dan matanya pun mulai berkaca-kaca. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?
Kemudian, tiba-tiba dia berlari cepat sekali ke arah aku datang tadi. “Hei!” Kupanggil dia, tapi tidak diindahkan.
“Dia kenapa?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Arum
ohhhh namanya aldi . tapi dia gak inget 😊. duhhh amanda
2020-12-17
0
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
lanjut
2020-11-14
2
oppa seo joon
akhirnya ku menemukanmu
2020-08-07
1