Selepas kakakku pergi, kucoba untuk menghubungi Aldi via WhatsApp. Namun, tidak ada tanggapan apapun darinya, bahkan ketika kuberanikan diri meneleponnya, juga tidak di respon.
“Ya Tuhan, bagaimana ini?”
Entah sudah berapa kali aku berguling ke kanan dan ke kiri mencoba memikirkan cara untuk berbaikan lagi dengannya, juga demi meringankan cemas dalam benakku. Namun pada akhirnya, aku hanya membuat kepala ini sakit dan panas karena tidak kunjung juga menemukan solusi.
“Apa aku harus minta bantuan sama Sarah, ya?”
Ide bagus, sih, tapi ... kupikir akan lebih enak kalau bicara langsung padanya. Lagi pula, saat kulongok ponselku yang ada di samping bantal, telah menunjuk jam setengah sembilan yang berarti sebentar lagi aku harus sudah tidur. Mengetik terlalu memakan waktu, dan telepon pun terasa kurang enak.
“Aku tidak menyangka dia benar-benar marah padaku.”
Memang sih, aku tahu yang dia katakan waktu itu ada benarnya juga. Siapa orang di dunia ini yang tidak marah ketika mukanya ditampar di depan umum? Sungguh, aku menyesal karena sudah terbawa emosi, tapi semua sudah terjadi, dan yang bisa kulakukan hanyalah memanen hasilnya.
Langit-langit kamarku yang kosong itu, sekarang seolah sebuah layar yang menampilkan bayangan-bayangan yang tidak kuharapkan terjadi. Tergambar di sana kalau kami akhirnya tidak pernah bisa bersatu lagi.
Dan satu lagi, bayangan yang menunjukkan bagaimana aku dan dia berakhir menjadi sepasang kekasih persis seperti yang kakakku bilang.
Hehe ... imajinasiku ketinggian, ya? Aduh, aku jadi malu.
Kututup mukaku yang panas dengan kedua tangan. “Tidak kusangka riwayat romansaku begitu naas.”
Walaupun begitu, jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap itu benar-benar terjadi. Aku sangat mencintainya, dan kuingin dia hanya jadi milikku seorang.
Tapi ya sudah, deh. Aku ingin tidur sebelum kakakku marah lagi padaku. Kuraih dan kupeluk guling kesayanganku, dan kuanggap saja sebagai Aldi.
Semoga saja, semua yang kukatakan tadi bukan sekadar angan semata.
***
Rasanya memang buruk, jika kita mempunyai masalah dengan seseorang dan orang itu membawa masalah tersebut hingga ke hati yang dalam. Kira-kira begitulah situasiku saat Aldi yang baru tiba di kelas, mengabaikan aku secara total.
Padahal jarak antara aku dan dia hanya selebaran jengkal, tapi seolah masing-masing kami berada di benua yang, ah tidak, galaksi yang berbeda.
Berkali-kali aku sudah mencoba untuk mendapatkan perhatiannya, sampai aku merasa konyol sendiri pun, dia sama sekali tidak tertarik. Akhirnya aku pun pasrah, membaringkan kepala di meja, dan merutuki diri sendiri atas hal yang telah kuperbuat sehingga berujung pada Aldi yang marah padaku.
“Nda.”
Aku terlonjak saat tanpa diduga, Aldi menyapaku.
“Y-Ya, ya? Eh ... ada apa?”
Karena saking senang dan kagetnya aku, sehingga aku sampai terbata-bata begitu. Tidak lupa juga kupasang senyum meski canggung, yang kupikir mungkin akan bisa meredakan marahnya Aldi.
“Kau punya pulpen lagi tidak? Punyaku sepertinya tertinggal di rumah.” Kenyataannya, dia tetap dingin padaku.
Aku pun mengangguk lemas, dan kemudian mengambil pulpen cadanganku dari ransel dan memberikannya pada dia.
“Terima kasih. Nanti akan kukembalikan,” katanya seraya menunjukkan pulpennya padaku, juga senyumannya yang manis.
“Sama-sama ...,” gumamku dengan penuh ketidakpercayaan.
Kugosok kedua mataku beberapa kali, memastikan apa yang kulihat barusan bukanlah fatamorgana. Tidak ada yang berubah. Senyum itu masih berada di sana.
Lalu sebuah perasaan yang begitu meledak-ledak membanjiri hatiku.
Apakah itu tanda bahwa dia tidak lagi marah padaku? Memikirkannya membuat jantungku berdebar, karena aku takut senyum itu tidak lain hanyalah sebuah pemanis sesaat yang ujung-ujungnya tetap berakhir pahit.
“Ehhh ... Di?” Kucoba untuk memastikan langsung darinya, meski ragu.
“Kenapa, Nda?” Balasnya. Kali ini dia kelihatan heran.
“Kau ... apa kau masih marah padaku?”
“Tidak kok, Nda. Tenang saja. Aku kan sudah bilang, tidak apa-apa. Lupakan saja.”
Sesuatu terasa lepas dari tempatnya di dalam dadaku mendengar itu. Lalu Aldi tertawa, membuat perasaanku semakin menggebu-gebu.
Kalau saja aku tidak punya malu, aku pasti sudah memeluknya sekarang. Aku sudah pernah merasakan ketika terbebas dari sebuah masalah, tapi tidak ada yang membuatku merasa selega ini.
Aku pun melampiaskan semua rasa dalam dadaku dalam bentuk tawa bersamanya.
“Terima kasih, ya?” Ucapku padanya, yang kemudian disambut dengan sebuah anggukan dan senyuman manis yang tidak pernah gagal mempesonakanku.
***
Rasa bahagiaku sepanjang hari tadi harus lenyap ketika kudapati hujan turun dengan derasnya sewaktu jam pulang tiba. Aku terjebak karena tidak membawa payung karena kupikir, hari ini akan cerah sebab sejak pagi dan siang tadi teriknya bukan main.
“Aku harus bagaimana?” Gumamku lemas.
Kuhela napas pasrah karena hujannya justru semakin deras. Aku yang kini berdiri di lobi menunggu, semakin lemas melihat teman-temanku hampir semuanya membawa payung atau mantel hujan, dan meninggalkanku sendirian selayaknya patung di sebuah museum.
“Bagaimana ini? Aku tidak mau terjebak sampai malam di sini,” keluhku.
“Hei, Nda!”
Aku tersentak saat tiba-tiba saja Aldi menyapaku dan telah berdiri di sampingku. Sempat salah tingkah, tapi aku segera mengendalikan diri dan mencoba untuk terbiasa dengannya.
“Kau belum pulang?” Tanyanya, seperti biasa dengan senyum di bibirnya.
“Aku tidak bawa payung jadi aku terjebak, deh,” jawabku sambil tertawa pendek. Aku tidak mau dia melihat wajahku yang melas.
“Begitu, ya? Rumahmu ada di blok Anggrek, kan?”
“Ya. Kenapa memangnya?”
“Kebetulan aku tinggal di blok Mawar, mau pulang bareng?”
“Eh? B-Benarkah maksudku, blok Mawar kan agak jauh. Kurasa aku akan menunggu saja.”
Tidak pernah terkirakan olehku kalau Aldi ternyata tinggal tidak jauh dariku. Blok Mawar dan Anggrek itu saling bersebelahan. Kebetulan juga, rumahku ada di pinggiran blok Anggrek jadi kalau ingin ke blok Mawar, terpeleset pun sampai.
“Tidak apa-apa, kok, Nda. Lagian, hujannya makin deras. Memangnya kau mau menunggu di sini sampai malam?”
Aku menggeleng. Tentu saja aku tidak mau terperangkap di sini, tapi aku juga tidak mau merepotkan Aldi. Selain karena aku canggung sebenarnya.
“Ya sudah, ayo pulang bersamaku,” ajaknya.
“O-Oke, deh.” Aku tidak punya pilihan lagi.
Kemudian dari tas selempangnya, dia mengambil payung lipat lalu mengembangkannya dan lantas kami pun berjalan beriringan dalam satu naungan.
Sepanjang jalan, kami tidak bicara sama sekali. Mungkin tepatnya, aku yang memilih diam karena terlalu canggung. Bahkan aku terus menunduk dan melihat sepatu serta bagian bawah rokku basah.
Meski udara cukup dingin, tapi mukaku terasa hangat. Jantungku berdebar, berharap semua kecanggungan ini cepat berakhir walau di sisi lain aku ingin terus bersamanya selama mungkin.
Kucoba menolehnya, sebelum kutundukkan lagi wajahku ketika dia ikut menatapku.
“Kenapa, Nda?” Tanyanya dengan sedikit tawa.
“Ah, tidak, tidak ada, kok.” Aku menggeleng.
Kami berbelok ke kiri di sebuah perempatan, yang berarti sebentar lagi kami akan tiba di rumahku. Entah mengapa, aku berharap perjalananku bisa lebih lama. Aku masih ingin bersamanya untuk beberapa waktu lagi.
Aku tersentak, ketika tanpa sengaja tangan kiriku menyentuh tangan kanannya, yang kemudian cepat-cepat kusembunyikan di balik punggung. Kukira akan ada sesuatu darinya, tapi setelah beberapa waktu, tampaknya dia tidak menyadarinya.
Kutoleh tangan kanannya yang tadi tersentuh olehku. Lalu, sebuah hasrat muncul dalam dadaku.
Aku ingin menggandengnya.
Namun ketika tangan kiriku sudah hampir menggapainya, aku menariknya lagi dan menggelengkan kepala. Mencoba menolak hasrat yang sebenarnya begitu kuinginkan.
“Apa sih yang kupikirkan?” Gumamku.
“Rumahmu yang itu kan, Nda?”
Celetukannya itu membuatku kaget. Kulihat dia menunjuk ke satu-satunya rumah bertingkat dua di sisi kiri jalan tidak jauh dari kami. Ah, ini adalah pertama kalinya aku tidak ingin pulang cepat seperti yang biasa kulakukan.
“Y-Ya, yang itu.” Aku ikut menunjuk ke rumah.
Kami pun berhenti di depan gerbang rumahku. Tanpa diminta, Aldi membukakan gerbangnya dan mengantarku sampai aku berada di bawah atap beranda.
“Kalau begitu ya sudah, aku langsung pulang,” katanya kembali dengan senyum manisnya.
“Eh? Loh? Tunggu sebentar! Masuklah dulu,” pintaku. “Aku akan buatkan teh atau—”
“Tidak usah repot-repot, Nda. Terima kasih. Ibuku akan marah lagi padaku kalau aku pulang terlambat.”
“B-Begitu, ya?” Aku sedih mendengarnya. “T-Terima kasih sudah mengantarku dan maaf jadi membuat repot.”
“Ya sudahlah, lupakan saja. Lagi pula, aku yang mau, kok. Kalau begitu, aku pamit, Nda.”
Lalu dia pun beranjak pergi. Setelah menutup gerbang, dia sempat memamerkan senyuman dan lambaian padaku sebelum akhirnya dia menjauh dan hilang dari pandangan.
Aku tidak mengerti, tapi aku merasa sangat ingin menangis. Aku tidak rela dia pergi, karena didekatnya aku merasa begitu nyaman. Namun apa yang bisa kuperbuat?
Hujan turun semakin deras ketika aku memandang langit kelabu itu. Entah sebab apa, aku terbayang bagaimana jika kami tidak pernah berjumpa lagi setelah ini.
Meskipun demikian, aku berharap dan percaya Aldi akan baik-baik saja. Walaupun pada akhirnya, aku tidak bisa berhenti mencemaskannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Nur Rachmawati
hmm yang...hujan turunn lagiii
seperti lagu berjalan berdua saat hujannn...hehe
2020-11-24
1
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
isssshhh lanjut
2020-11-15
1
Anne Huttonburg
"kuraih dan kupeluk guling kesayanganku, aku anggap sebagai Aldi"
k mirip ak, ya? bedanya, ak sambil cium2 guling
2019-06-05
1