Chapter 17: Aldi

Seperti yang sudah kujanjikan, aku akan mengantar Rina pergi mencari hadiah kejutan untuk kakaknya. Saat ini, aku telah tiba di depan rumahnya, menunggunya selesai mempersiapkan diri.

Omong-omong, aku mengantarnya tidak dengan motorku. Aku belum punya SIM, dan ibuku juga melarang. Awalnya aku ragu Rina akan mau naik kendaraan umum, tapi saat kuberitahu soal itu tadi pagi, dia bilang tidak apa-apa.

Selagi menunggu, kutebar pandangan ke sekitar untuk beberapa saat. Ketika aku berbalik, kudapati dia sudah berdiri di ambang pintu rumahnya seraya mengenakan sepatu kets warna putih.

Kemudian dia berlari kecil dan berhenti di hadapanku. Melenggak-lenggokkan sedikit tubuhnya sambil tersenyum. “Bagaimana? Bagus tidak penampilanku?” Tanyanya dengan tatapan penuh pengharapan.

“Bagus, kok,” balasku. Senyumannya lantas berubah menjadi tawa kecil penuh kebanggaan.

Hari ini dia mengenakan kaus polo warna biru muda, celana panjang putih, dan tas selempang kulit berukuran mini. Aku sedikit terkejut karena kupikir dia akan mengenakan sesuatu yang mencolok atau semacamnya. Meski begitu, penampilan sederhananya itulah yang membuat dia jadi terlihat menawan.

“Mau berangkat sekarang atau bagaimana?” Tanyaku memastikan.

“Umm ... bagaimana, ya? Aku juga bingung. Hehehe,” katanya sambil menggaruk rambutnya yang tetap ditata dengan gaya favoritnya, kepang dua.

“Sekarang baru jam delapan, masih terlalu pagi memang sih, Rin ....”

“Makanya. Tapi kalau nanti-nanti pun keburu siang dan panas. Kurasa kita berangkat sekarang saja deh, Di.”

“Kalau begitu ya sudah, kita jalan sekarang saja.”

Rina mengangguk setuju dan kami pun berangkat.

“Omong-omong, kau mau beli apa, Rin?” Tanyaku.

“Sebenarnya sih aku mau beli barang kayak ... emm ... suvenir begitu.” Dia menolehku. “Tapi berhubung kakakku doyan jajan, jadi rasanya makanan lebih oke.”

“Lantas kenapa tidak belikan dia nasi gorengnya Mang Ujang saja?”

“Ya, sih. Tapi kan aku ingin memberikan dia sesuatu yang ‘wah’, jadinya ya ... begitu, deh.”

“Terus, memangnya kau sudah tahu mau pergi ke mana?”

Rina tersenyum, meringis. Tanda bahwa dia mengajakku pergi tanpa menentukan tujuannya lebih dulu.

“Ah, bagaimana kalau kita pergi ke toko lapis legit Dennisa saja. Tidak jauh, kok. Ada di daerah Kampung Delima,” saranku padanya ketika kami berbelok ke sebuah jalan.

“Lapis legit, ya? Hmm ....” Dia memegangi dagu seraya mengerling ke atas. “Boleh, saja.”

“Jadi bagaimana, mau ke sana?” Tanyaku lagi untuk memastikan.

“Boleh, deh!” Serunya dengan senyum penuh antusias.

Setelahnya kami hanya berjalan tanpa bicara. Tidak lama kemudian, tibalah kami di tepi jalan besar dan langsung ambil tempat di halte bus. Rina duduk bersama dua orang wanita sementara aku memilih berdiri di samping seorang remaja yang berpakaian seperti orang kantoran dengan ransel yang terlihat begitu berat. Di tangan kirinya, terselip amplop coklat. Tampaknya dia adalah anak muda yang belum lama lulus dari sekolahnya dan hendak mencari pekerjaan.

Entah mengapa, melihatnya membuatku sedikit cemas akan masa depanku.

Kudengar dari banyak omongan orang dewasa, mencari pekerjaan itu sangat sulit. Ungkapan itu jugalah yang sering dipakai kedua orang tuaku untuk menasihatiku agar katanya, supaya aku tidak jadi orang yang gagal.

Namun di samping itu semua, aku merasa agak tidak setuju dengan ungkapan tersebut.

Di hadapanku sekarang, bepuluh-puluh kendaraan malang melintang tanpa ada putus sama sekali. Kalau memang mencari pekerjaan itu sulit, kurasa tidak akan mungkin jalan raya ini akan padat.

Mencoba untuk mengesampingkan pikiranku, aku menebar pandangan. Tatapanku berhenti pada Rina yang kini melihatku sambil senyum-senyum.

“Kenapa?” Tanyaku ingin tahu.

“Tidak ada, kok,” balasnya. Kemudian, dia menunjukku. “Kau kelihatan keren kalau pakai setelan serba hitam begitu.”

“Benarkah?” Kuperhatikan diriku sendiri yang mengenakan kemeja lengan pendek, celana panjang, dan sandal yang kesemuanya berwarna hitam.

“Tentu saja,” jawabnya.

Rasanya menyenangkan, jika ada orang lain yang suka dengan penampilanku. Aku pun balas tersenyum padanya, sebagai isyarat terima kasihku karena sudah memuji.

Lalu sewaktu aku kembali mengarahkan perhatianku ke jalan, dari kejauhan aku melihat bus dengan trayek yang sama dengan yang kutuju mendekat dengan kernetnya yang bergelantungan di pintu belakang. Bus pun berhenti dan baru saja aku hendak memanggil Rina, dia sudah ada di sebelahku.

“Kau duluan,” pintaku padanya selagi sejumlah penumpang naik dan turun.

“Oke,” katanya.

Setelah dia, aku menjadi yang paling terakhir naik. Karena kursinya penuh, aku terpaksa berdiri sementara Rina sedikit beruntung dapat duduk di sebelahku. Setelah memastikan tidak ada orang lain yang akan naik atau turun, si kernet mengetuk jendela dengan koin lalu bus pun kembali melaju.

***

Aku dan Rina sudah kembali tepat saat tengah hari. Sebenarnya aku mau langsung pulang, tapi dia memintaku untuk singgah sebentar di rumahnya. Rina membeli dua kotak lapis legit, dan yang satunya diberikan untukku. Sebagai bayaranku, katanya.

Setelah melihat bagaimana dia repot-repot menyuguhkanku teh hangat, aku pun akhirnya memilih untuk singgah. Di samping itu, entah cuma perasaanku saja, tapi dia seolah tidak rela aku pergi karena ketika aku bilang ingin pulang, dia terus melontarkan berbagai bujukan padaku.

Sekarang kami duduk bersama di kursi panjang depan etalase warung miliknya. Karena ada teh, kupikir akan lebih lengkap jika di tambah kue pemberian Rina, jadi kuputuskan untuk memakannya di sini. Tentu saja, setelah perdebatan sengit karena dia terus menolak sebab dia sudah memberikan kuenya padaku.

Rina duduk bersila menghadapku sambil memakan potongan lapis legitnya di tangan. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum, karena tadi dia bersikeras tidak mau memakan kuenya, tapi sekarang, dia yang makan paling banyak.

“Dasar, tadi tidak mau. Tapi sekarang makannya paling banyak,” sindirku.

“Habisnya enak, sih! Hehe ...,” katanya.

Memang sih, rasanya enak. Kuenya manis dan lembut, tapi aku hanya sanggup memakan beberapa potong karena perutku sudah terasa penuh sekali.

“Oh, ya.” Rina mengambil salah satu dari dua cangkir teh yang ada di atas etalase dan menyesapnya sedikit setelah menelan gigitan terakhir kuenya. “Amanda, bagaimana kabarnya?” Tanyanya kemudian sambil tersenyum.

“Dia baik-baik saja, kok. Lagian, mengapa kau bertanya padaku? Kau kan kenal sama dia.”

“Aku cuma mau tahu saja. Ya, kali saja begitu aku akan dengar kalau kalian sudah jadi pasangan.”

Aku memilih bergeming, sementara Rina tertawa pendek seraya meletakkan kembali cangkirnya di tempat semula.

“Lagi pula, kenapa sih kau sepertinya ingin sekali agar aku jadi pacarnya?” Tanyaku penasaran.

Rina pun mengangkat bahu. “Entahlah, aku merasa kau cocok dengannya.”

“Itu saja? Temanku juga bilang kalau aku cocok dengannya. Alasannya tidak logis.”

“Aku juga tahu soal itu. Tapi ya ... entah mengapa aku punya firasat begitu.”

Kala aku hendak menanggapi, Rina lebih dulu mengangkat telapak tangan kanannya, meminta jeda untuk membalas sebuah pesan yang dia terima di ponselnya. Selagi dia sibuk, aku memperhatikannya sedikit lebih lekat.

Rasanya aneh. Maksudku, aku sudah mengenal Rina sejak lama, dan aku tahu dia adalah tipe orang yang selalu terbuka. Namun kali ini, dia seperti tengah memendam sesuatu.

Satu lagi yang menjadi batu ganjalan untukku adalah, mengapa Rina sebegitu sering membahas Amanda?

Aku tahu dari cerita Rina kalau dia dan Amanda juga teman masa kecil, hanya di waktu dan tempat yang berbeda denganku. Namun seingatku, dia tidak terlalu suka membicarakan seseorang baik dalam hal positif atau sebaliknya.

Namun sekarang, dia seperti terobsesi dengan Amanda. Tapi ah, tidak mungkin. Kurasa aku terlalu berlebihan.

“Menurutmu, bagaimana jika ada dua orang yang menyukai satu orang yang sama?”

Aku mengerjap ketika Rina bertanya seperti itu. Lalu dia yang masih menatap layar ponselnya, kembali memandangku setelah meletakkan ponselnya di atas etalase

“Memangnya kenapa kau bertanya begitu? Kau sedang bersaing mendapatkan seseorang?” Tanyaku.

“Sembarangan!” Rina mengibaskan tangan kanannya di depan wajahku seraya tertawa. “Mana ada? Tadi temanku bertanya padaku begitu. Dia meminta pendapatku jadi aku mau tahu pendapatmu juga, ya ... barangkali lebih baik.”

“Aku saja belum pernah punya pacar, Rin,” balasku sambil terkekeh. “Salah orang.”

“Tidak mesti punya pengalaman juga, tuh. Aku tahu kau pasti punya tanggapan sendiri, jadi aku mau dengar.”

“Yah, kalau aku sih sederhana saja. Kalau kau memang suka, ya bilang saja.”

“Cuma itu?”

“Ya. Memangnya ada lagi?”

“Kau itu dari dulu sama saja, Di.”

“Sama kenapa?”

“Kau itu pikirannya sederhana banget. Tapi, itulah yang membuatku suka padamu. Bicara denganmu tidak bikin kepala meledak.”

Aku menanggapi dengan tertawa. Menyenangkan mengetahui bagaimana diriku di matanya.

Namun sesaat kemudian, entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang tidak mengenakkan.

Dari belakang, dari kejauhan, terasa seperti ada yang memperhatikanku.

Aku menoleh ke belakang, tapi tidak kudapati orang di sana. Kupindahkan perhatianku ke tempat lain, hasilnya sama.

“Kenapa, Di?” Tanya Rina menyelidik.

“Ah, tidak ada,” kilahku. “Oh ya, habiskan kuenya, Rin. Masih banyak.” Kugeser kotak kuenya kepadanya.

“Sudah, ah. Aku kenyang!” Dia malah mendorong kotaknya lagi kepadaku. “Nanti aku gemuk!”

“Kau kan memang sudah gemuk, Rin.”

Dalam sekejap, Rina jadi cemberut. Matanya menyorotku tajam. Aku lupa kalau kata ‘gemuk’ sangat sensitif bagi perempuan.

“Enak saja! Kau sudah bosan hidup?!” Sergahnya.

Kemudian dia menodongkan pisau yang kami pakai untuk memotong-motong kuenya langsung ke hadapan wajahku. Kupikir dia hanya bercanda namun setelah kuperhatikan lagi sedikit lebih teliti, aku menelan ludah.

Sepertinya ... tidak ada ampun untukku.

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

hmmmn peniairin tor

2020-11-17

1

someone

someone

yah sepertinya dia juga sukak sama Aldi 😳

2019-07-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!