Sekarang, aku bersama Aldi. Dia membawaku ke sebuah taman bermain kecil yang entah ada di mana tepatnya. Aku dan dia duduk berdampingan di salah satu kursi yang ada di tepian tempat ini, dekat pagar pembatas.
Kedua tanganku terjalin di atas paha. Kepalaku tertunduk. Tidak kuasa menahan hawa panas di wajah, apalagi ini terlalu tiba-tiba maksudku, siapa yang menyangka aku bisa bertemu dengannya?
“Aku tidak tahu rupanya kau boleh keluar malam-malam, Nda,” katanya diiringi kekehan. “Soalnya aku dengar dari Sarah kemarin, kata dia kau dilarang keluar malam, ya?”
Kuanggukkan kepala sebagai jawaban karena canggung yang menahan suaraku dan seolah melarang mulutku berucap. Ayolah Amanda, tenangkan dirimu!
“Tapi tidak apa kok, Nda,” katanya lagi. “Tahu tidak, gadis sepertimu itu punya nilai lebih di mata lelaki, loh.”
Aku tersentak mendengar pujiannya itu. Jantungku berdebar, menambah hawa panas di wajah, membuatku ingin lari. Ya Tuhan, bisa tidak sih dia berhenti bersikap manis padaku?
“Kau dari mana, Di?” Kucoba untuk mengalihkan pembicaraan.
“Oh, aku habis dari perayaan ulang tahun sepupuku. Kupikir acaranya akan menyenangkan tapi ternyata malah membuatku bosan.”
“B-Bosan?”
“Yah, begitu kira-kira. Makanya sekarang aku senang karena tidak disangka bisa bertemu denganmu di jalan. Menurutku, bicara denganmu lebih asyik.”
“B-Benarkah?”
“Tentu saja.”
Perasaan dalam hatiku meletup-letup bagai berondong jagung mendengar perkataannya. Sesekali kucoba untuk meliriknya, namun matanya yang indah dan senyumannya yang manis membuat mataku tidak sanggup berlama-lama berjumpa dengannya.
Jantungku semakin berdebar kala perasaanku padanya yang kupendam lama terus mendesakku, meminta untuk diungkapkan. Menimbulkan kehangatan yang bahkan angin dingin malam tidak sanggup melawannya.
“Oh ya, Nda,” sambungnya lagi. “Kau sudah punya pacar?”
“A-Ah, tidak kok! M-Maksudku belum!” Dengan cepat kujawab pertanyannya.
Tapi tunggu, kenapa aku merasa panik?
Sementara aku mencoba mencerna apa yang tengah terjadi, Aldi melongo di tempatnya ketika kupandang dan beberapa detik kemudian, alisnya mengerut. Sebenarnya ada apa ini?
Lalu, aku merasakan sesuatu dalam otakku baru saja terpasang dengan benar yang lantas membuatku berharap kalau yang kualami sekarang hanyalah mimpi.
Jangan-jangan aku ... ge-er?
“Jangan melihatku!” Sergahku sambil berpaling muka ketika Aldi hendak mengatakan sesuatu lagi padaku. Aku tidak mau dia melihat wajahku yang pasti sudah merah seperti kepiting kukus.
Mengapa aku bisa-bisanya berpikir kalau Aldi bertanya begitu karena dia suka padaku dan ingin aku jadi pacarnya? Aku tahu aku sudah lama menjomblo dan sangat menyukainya tapi, mengapa harus begini?
Ya Tuhan, kenapa aku jadi kelihatan ngenes begini, sih?
Akibat kekonyolanku, aku pun berubah jadi bahan tertawaannya Aldi. “Kau kenapa sih, Nda?”
Yang bisa kulakukan hanya bergeming dan menunduk. Berharap semua ini segera berakhir lalu pulang, mengambil sekop, dan mengubur diri sendiri dalam-dalam. Aku tidak mengerti mengapa setiap aku ada di dekatnya aku merasa seperti bukan diriku, melainkan badut konyol.
Tawa Aldi yang geli itu perlahan mereda dan akhirnya berhenti. “Masa sih, Nda? Rasanya tidak mungkin kau tidak punya pacar. Jangan merendah begitu,” katanya masih dengan terkekeh.
“Kalau aku bilang tidak ya tidak!”
Aku gerah karena dia seolah sengaja menggangguku dan menjadikanku bahan guyonan pribadinya. Harapanku dia berhenti menertawaiku, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aldi malah tergelak lagi, membuatku semakin merasa konyol.
“Sudahlah, berhenti menertawaiku,” pintaku.
“Hm? Ya, deh. Aku berhenti.”
Tawanya pun berhenti meski hanya sekejap karena kemudian dia melakukannya lagi dengan tertahan-tahan.
Kucoba untuk menaruh perhatian padanya, dan sebuah senyuman yang begitu manis menyambutku. Aku pun ikut membentuk senyum sebelum kembali tertunduk sipu.
Aku berpikir, andai saat-saat seperti ini bisa terjadi setiap hari, pastilah aku tidak perlu merasakan yang namanya bosan dan sebagainya. Bisa berada di sampingnya, membuat hatiku nyaman dan hangat.
Saat kulihat dia lagi, dia tengah memandang langit penuh kerlap-kerlip bintang. Tidak lama berselang, perhatiannya berpindah padaku bersama dengan senyum, lagi.
“Kalau melihatmu, aku jadi ingat dengan gadis yang kuselamatkan dulu.”
Deg.
Napas dan jantungku seolah berhenti. Tidak pernah dalam pikiranku terkira kalau aku akan mendengar tentang peristiwa itu langsung dari mulutnya. Namun aku sedih, karena dia tidak mengenali gadis yang sudah diselamatkannya itu.
“B-Benarkah?” Aku menunduk lagi.
“Ya.”
“Memangnya, dia kenapa, sampai harus diselamatkan?” Aku terkekeh, berpura-pura tidak mengetahui apapun meski perasaanku terus berteriak supaya aku mengatakan yang sebenarnya padanya.
“Aku tidak tahu,” jawabnya. “Waktu itu aku melihat dia berlari ke tengah jalan begitu saja dan hampir tertabrak motor. Aku berhasil menolongnya namun karena ceroboh, malah aku yang akhirnya celaka.”
Terdengar tawa pendek darinya. Tapi selanjutnya, entah mengapa, aku merasa bersyukur dia tidak mengetahui bahwa gadis bodoh yang sudah diselamatkannya itu ada tepat di sebelahnya. Karena perasaanku yang awalnya mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya, bilang kalau sebaiknya aku menyimpannya sebagai kejutan untuknya kelak, sampai saat aku mengungkapkan perasaanku padanya.
“Oh ya, Nda,” lanjutnya tiba-tiba yang memecah lamunanku. “Apa kau pernah suka dengan seseorang?”
Aku mengerdip, kaget.
Awalnya aku hanya mencoba cengar-cengir saja karena selain aku tidak sanggup menjawabnya, kupikir itu hanya ulah isengnya saja. Namun semua sirna ketika aku melihat caranya menatapku yang serius dan seolah penuh harap.
Aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan padanya. Tidak mungkin aku bohong apalagi jujur padanya. Astaga, mengapa aku sangat sering terjebak dalam situasi seperti ini?
Sepanjang hidup, aku sudah dua kali jatuh cinta. Yang pertama telah kuceritakan dulu, di mana aku berakhir dikhianati dan nyaris mati ditabrak pemotor. Kedua, dengan Aldi namun masih belum jelas bagaimana ujungnya.
“Nda?” Aku tersentak saat dia menegurku.
“A-Ada apa? Oh, tidak kok. Maksudku belum.” Aku pun berbohong pada akhirnya.
Sesaat ada sedikit ketidakpuasan di wajahnya, tapi segera berganti dengan raut datar. Dia menunduk sebentar, celingukan beberapa kali lalu kembali memandangku. Aku penasaran dengan hal yang tengah dia pikirkan sekarang.
“Menurutmu, Nda, cinta itu bagaimana?”
“Hah?”
Aku termangu tanpa bisa berkata-kata. Ya Tuhan, mengapa urusannya jadi runyam begini?
Kalau boleh aku jujur, serius, dia salah orang. Maksudku, aku tidak pernah mengerti tentang sesuatu yang ‘dalam’ seperti itu. Aku tahunya Sarah pernah bilang padaku kalau sebetulnya cinta itu cuma sekadar aktivitas kimiawi dalam otak yang membuat yang mengalaminya jadi lupa daratan dan tenggelam dalam lautan kebinasaan jika tidak bijak menyikapinya.
“M-Menurutmu sendiri, bagaimana?” Karena tidak mampu menjawab, aku malah balik bertanya dan merasa tidak berguna setelahnya.
Aku sempat takut dia mungkin akan kecewa, tapi ternyata aku salah. Senyumannya yang manis kembali mekar di bibirnya, membuatku tersipu.
“Entahlah, Nda. Aku juga belum pernah merasakannya.”
Sebuah pengakuan yang begitu mengejutkanku. Jadi selama ini, dia belum pernah suka dengan gadis mana pun? Tapi bagaimana bisa maksudku, Aldi orang baik. Pasti, di sebuah tempat dan di suatu masa, dia pernah mencintai seseorang.
Hanya saja mungkin, dia tidak menyadarinya, atau bahkan, tidak tahu apa yang sedang dia rasakan.
“Kau bohong, kan?” Tanyaku memastikan. Yang kudapat? Sebuah gelengan.
“Aku tahu orang sering bilang kalau cinta itu terasa indah, tapi aku tidak yakin sampai aku merasakannya sendiri,” ujarnya.
Orang-orang itu benar tapi, aku agak sedih mendengarnya namun di sisi lain, aku juga lega. Dengan begitu, aku tidak perlu cemas ada gadis lain yang mendekatinya.
Namun aku langsung menggeleng untuk mengeyahkan pikiran tersebut. Itu jahat.
“Tidak apa-apa kok, Di. Laki-laki sepertimu punya nilai lebih di mata perempuan, loh.”
Aldi mengerjap dan kemudian tertawa ketika aku meniru ucapannya. “Peniru,” katanya yang membuatku ikut tertawa. Bisa seperti ini, rasanya sungguh menyenangkan.
Lagi pula, memang benar, kok. Teman-temanku dulu sering bilang kalau anak lelaki yang mantannya sedikit, apalagi tidak ada sama sekali, itu spesies langka dan orang yang berhasil mendapatkannya, bahkan dianggap lebih beruntung dari pada menemukan tumpukan emas di dalam tanah. Namun aku sadar itu cuma hiperbola saja karena yah, orang banyak yang sampai rela menjual ibunya demi harta.
Tapi, kebahagiaanku harus rusak setelah aku teringat sesuatu yang kulupakan sejak tadi. Jam malamku.
Buru-buru kutengok ponselku yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan yang terburuk, tiga pemberitahuan panggilan tidak terjawab juga pesan WhatsApp yang ketika kuperiksa ternyata dari kakakku. Aku lupa aku mensunyikan ponselku. Ya Tuhan, bagaimana ini? Kakak pasti akan sangat marah ketika aku pulang nanti.
“Ada apa, Nda?” Tanya Aldi seraya memandangku dengan serius.
“Ah, t-tidak! Tidak ada apa-apa, kok,” kilahku seraya tertawa palsu. Walau dalam benakku, aku mengharapkan pertolongannya.
Aldi tersenyum seraya mengatakan ‘oh’ tanpa suara. Sebetulnya bisa saja aku langsung pergi demi menghindari masalah dengan kakakku, tapi masalahnya ... aku tidak bisa. Dia masih tampak ingin bersama denganku dan yang terpenting, aku juga merasa begitu.
Namun sepertinya Tuhan tidak membiarkanku mendapat masalah dari Kak Dian karena kemudian Aldi berdiri dari duduknya. “Sudah malam. Ayo, Nda, kita pulang,” ajaknya. “Aku akan mengantarmu.”
Aku sungguh bersyukur. “Y-Ya, ayo.”
Lalu setelah perbincangan singkat tentang alamat rumahku, dia menyuruhku naik ke motor lalu kami pun pergi.
***
Sebelum pergi, Aldi memberikanku sebuah bingkisan yang katanya sih, dia dapat dari pesta ulang tahun sepupunya. Dia bilang mendapat lebih karena ada yang tidak bisa hadir, jadi si tuan pestanya menyerahkannya pada Aldi.
Aku sempat menolak, tapi dia memaksaku. Di rumahnya hanya ada dia dan ibunya, jadi takut tidak termakan. Mubazir. Begitu kira-kira katanya.
Senang rasanya aku akhirnya bisa sedikit terbiasa dengannya, apalagi setelah yang kami lakukan tadi di taman, rasanya sungguh spesial. Namun tetap, aku masih harus menghadapi kakakku yang membuatku tidak bisa menghayati bahagia yang kualami sejak beberapa waktu lalu.
Di depan pintu, aku berdiri, mengumpulkan keberanian untuk mengetuknya. Namun semakin aku melakukannya, hawa dingin di sekitarku semakin menusuk. Terbayang bagaimana saat aku bertemu kakakku nanti membuatku gentar. Tapi, aku pun tidak bisa selamanya berdiri di sini.
Akhirnya dengan ragu, kuketuk pintu rumahku. Apapun yang terjadi nanti, biarlah. Yang penting aku bisa masuk dulu.
Setelah beberapa waktu menunggu dengan sedikit gemetaran, tidak ada sedikit pun tanda kalau pintu ini akan terbuka. Kalian mungkin menganggapku bodoh karena tidak langsung masuk saja, menyelinap, dan masalah selesai. Pintunya memang tidak dikunci ketika kucoba membukanya, tapi aku tidak berani macam-macam dengan kakakku.
Ketika aku menunduk pasrah, pintunya terbuka. Senyumku yang muncul karena lega, lenyap seketika saat aku melihat sorot tajam mata kakakku yang ada tepat di hadapanku.
Kak Dian menyandarkan sebelah bahunya di ambang pintu dan melipat kedua tangannya di dada. “Dari mana saja kamu?” Aku tersentak dan langsung tertunduk. Padahal suaranya biasa saja, tapi seolah sambaran petir bagiku.
“T-Tadi Amanda—”
“Masuk.”
Kuturuti perintahnya tanpa perlawanan. Kali ini memang aku yang salah jadi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku merinding ketika melewatinya, karena aura kakakku begitu menakutkan.
Aku berhenti dengan membelakanginya selagi kakakku menutup pintu. Lantas, dia menuntunku ke kamarku dengan kasar, membawaku duduk di ranjang, dan bersandar di pintu kamar setelah dia menutupnya dengan sedikit keras. Kedua tangannya kembali dia lipat di dada.
Kembali aku menunduk. Kulihat jari-jari tanganku gemetaran di atas bingkisan yang kuletakkan di atas paha, rasanya juga dingin.
“Dari mana saja kamu, Nda? Jawab.”
Bagaimana bisa aku menjawab sementara dia bertanya dengan nada yang begitu mengancam? Jangankan berucap, menggerakkan bibir saja aku tidak mampu.
“Lihat kakak, Nda.”
Sebenarnya aku tidak mau memandangnya karena terbayang bagaimana seramnya dia. Tapi aku tahu kakakku akan tambah marah, dan aku tidak mau masalah ini jadi memanjang. Perlahan, kuangkat kepalaku dan kulihat sebuah wajah yang penuh kekecewaan dengan sepasang mata yang memamerkan tatapan tajam yang begitu menusuk.
Aku tersentak sampai hampir melompat saat dia memukul pintu ketika aku mengalihkan tatapanku darinya. Penglihatanku mulai buram oleh air mata yang mulai menumpuk karena dipaksa untuk melihat sesuatu yang menakutkan.
“Kamu sudah janji akan kembali tepat waktu, tapi kamu membohongi kakak,” suaranya meninggi. “Bahkan kakak tidak bisa menghubungi kamu.”
Dia menggeleng, dan beberapa saat mengedarkan pandangannya. Samar-samar, aku mendengar kakakku menggumamkan ‘ya Tuhan' berkali-kali. Tanda bahwa dia sudah mencapai ambang batas kesabarannya.
“Amanda minta maaf—”
Bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan.
“Tidak perlu minta maaf. Tidak berguna, Nda.” Sebuah ucapan datar yang sangat menusuk hati terlontar dari mulutnya.
Aku menunduk. Kurapatkan bibir dan tanganku mengepal dengan air mata yang bercucuran di pipi hingga menetes satu persatu ke punggung tanganku.
Rasanya sakit, sakit sekali. Ingin aku berdiri lalu berteriak padanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku cuma adik, yang dipaksa untuk tetap menaruh hormat pada yang lebih tua, sejelek apapun sikap mereka.
“Ingat, Nda. Setelah ini, tidak ada lagi kamu keluar dari rumah ini saat malam. Kakak sudah kasih kamu kepercayaan, tapi seperti ini balasannya.”
Biarlah, aku tidak peduli. Yang aku inginkan hanya dia cepat enyah dari hadapanku.
“Mengerti?” Tanyanya, yang tidak kujawab. “Mengerti?!” Tanyanya lagi dengan membentak.
Aku mengangguk, dan suasana pun hening. Air mataku semakin deras karena aku sudah tidak kuat lagi menahan perih di hati.
Lalu, dia pergi meninggalkanku begitu saja tanpa berkata apapun. Kujatuhkan diri ke kasur, dan menghabiskan sisa malam mingguku dengan menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
lanjut
2020-11-15
1
Fair_y_tale
kata2 keras, walaupun niat baik, tetap menyakiti Hari yang dikerasi.
kita aja yang musti baik2 memilahnya dan menemukan niat baiknya
2019-07-27
1
Arif Nasfri
lebay Ah. baru dimarahin pake kata2, dan itupun oleh kakaknya. ga tau aja Lo banyak kehidupan yg lebih menyeramkan di luar sana. hidup ini kejam bro. itulah yg membuat kita lebih cepat dewasa dibandingkan anak yg selalu dimanjakan dan disuapi dgn sendok emas di Istana Ortu nya....
2019-05-26
3