Malam minggu ....
Duh, aku harus bagaimana?
Di malam yang sakral ini, yang aku lakukan cuma duduk di pojokan kasur. Melihat kumpulan status dan foto-foto temanku bersama pacarnya, sambil makan hati.
Bukannya aku iri atau apa, tapi ... ya, baiklah, aku akui aku sedikit berharap bisa seperti mereka.
“Kapaaan ya, aku bisa pacaran sama Aldi?”
Tanpa menunggu lagi, kutampar diriku sendiri. Apa sih yang aku pikirkan?
Dari bersila, aku menarik dan mendekap kedua kakiku. Dalam hati pun, aku merutuki diri sendiri, seperti yang biasa dilakukan pecundang kalau gagal dalam melakukan sesuatu.
Selama ini aku cuma sanggup berangan kosong tanpa mampu melakukan apapun. Rasanya menyebalkan, sungguh. Tapi, mengutuk diri sendiri pun tidak ada gunanya dan justru membuatku merasa jenuh. Aku ingin melakukan sesuatu tapi, apa?
Jam dinding sudah menunjuk pukul setengah delapan ketika kutengok. Menonton televisi? Ah, acaranya 90% sampah. Bermain gim? Aku saja bahkan tidak tahu apa-apa tentang begituan, dan kurang tertarik juga.
Atau mungkin, aku bisa jalan-jalan sebentar di luar.
Hanya saja, aku ragu. Maksudku, berjalan sendirian mengelilingi komplek saat malam hari tanpa tujuan? Bisa-bisa nanti aku dibilang aneh, dan lagi pula, kakak atau ibuku belum tentu mengizinkanku keluar.
Aagh! Aku bingung!
“Kalau begini terus, aku bisa mati berdiri.” Kujambak rambutku karena tidak tahan dengan kepala yang terasa panas dan penuh.
Di tengah kegalauanku, pintu kamarku berderit terbuka dan Kak Dian yang ada di baliknya tanpa ragu masuk begitu saja dan langsung duduk di tepian ranjang. Menatapku sambil tertawa-tawa kecil layaknya orang sinting.
“Kenapa sih, Nda? Marahan sama Aldi?” Tanyanya enteng bagai tidak berdosa.
“Bisa tidak sih kakak tidak meledek Amanda terus?” Balasku ketus.
“Kakak tidak meledek, tuh.” Telunjuknya lantas mengarah kepadaku. “Habisnya muka kamu kusut begitu kayak benang layangan, jadi kakak penasaran.”
“Terserah kakak saja, deh,” sahutku pasrah. Suasana hatiku terlalu buruk bagiku untuk bisa berdebat dengannya. “Bilang saja kalau kakak senang melihat muka Amanda kusut.”
Lantas Kak Dian beringsut mendekatiku. “Ada apa, hmm? Bicara saja, tidak apa-apa.”
Bilangnya sih begitu, tapi tetap saja aku ragu. Terakhir kali aku minta izin keluar rumah padanya saat malam, hasilnya aku malah langsung digiring ke kamarku. Namun, kalau dilihat dari wajah kakakku yang cerah, tampaknya dia sedang berada dalam mood yang bagus dan mungkin saja dia akan sedikit lunak kali ini.
Dari pada mati penasaran, kucoba saja, deh.
“Amanda ... mau jalan-jalan keluar sebentar, boleh tidak?”
Dalam sekejap, wajah manis kakakku berubah datar. Sudah kuduga aku tidak seharusnya melakukan itu.
“Kakak sih sebetulnya tidak masalah membolehkan kamu keluar, tapi alasannya harus jelas dan masuk akal,” katanya, meski tetap saja aku merasakan aura ketidaksenangan darinya. “Kamu mau apa memangnya?”
“Tidak ada, sih. Amanda cuma bosan saja.” Aku langsung jujur karena berbohong pun akan sia-sia. Lagian, sejak awal aku sendiri sudah kehilangan keyakinan kalau ini akan berhasil.
Akhirnya karena satu-satunya kesempatanku sudah lenyap, aku pun memilih membaringkan diri seraya menunggu kantuk datang dan tertidur lalu bangun dengan kesal di hati. Tuhan telah mentakdirkanku sebagai anak yang penurut, jadi sudah tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.
“Kakak masih di situ? Tidak apa-apa, kok. Amanda tidak akan ke mana-mana,” kataku. Entah dia sadar atau tidak, sebenarnya aku tengah mengusirnya.
Sudah cukup malam ini untukku. Kucoba untuk menghela napas, menahan hawa panas di hati yang begitu mengganggu.
“Baiklah, kakak akan izinkan kamu keluar.”
Mendengar ucapan yang hampir mustahil keluar dari mulut kakakku membuatku terlonjak bangun. “Kakak serius?” Aku tidak kuasa menyembunyikan senyum karena saking senangnya. Jantungku berdebar, berharap kalau yang dia katakan tadi bukan sekadar candaan.
“Memangnya kakak pernah bohong sama kamu?” Segaris senyuman kecil mengembang di bibir Kak Dian.
Saat itu juga aku langsung memeluk kakakku. Aku senang sekali, dan omong-omong, ini adalah pertama kalinya aku begitu menyayanginya dan beruntung punya saudari seperti dia. Jahat? Tidak, tuh!
“Dasar, kalau ada maunya baru peluk-peluk,” sindirnya. Tapi maaf, aku tidak peduli. “Kalau di waktu lain, mana mau.”
Kulepaskan dekapanku darinya dan bermaksud untuk mengungkapkan terima kasihku padanya. Tapi, dia langsung mencegahku dengan meletakkan telunjuknya di bibirku.
“Tapi ingat, kamu harus sudah kembali sebelum jam sembilan. Dan juga, jangan jauh-jauh,” dia memperingatkanku. “Kalau kamu belum kembali juga setelah lewat jam sembilan, kakak akan kunci kamu di luar. Paham?”
Tanpa menunggu lagi aku langsung mengangguk. Sudah tidak sabar aku melihat dunia malam.
***
Sambil tersenyum, kakakku terus memperhatikanku saat aku menginjakkan kaki di luar dari daun pintu. Entah mengapa, aku jadi agak ragu melanjutkan langkahku lebih jauh.
“Kenapa? Takut, ya?” Ledeknya sambil cekikikan.
“E-Enak saja! Mana mungkin!” Sahutku. Meski bagaimanapun, aku akui aku sedikit takut karena ini adalah kali pertamaku pergi malam-malam seorang diri.
Tapi aku terus meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Pasti, tidak akan terjadi apa-apa kepadaku.
Akhirnya sebuah langkah kecil dan ragu menjadi awal petualanganku, namun perlahan aku bisa berjalan seperti biasa. Setelah melewati gerbang, aku berhenti dan menoleh kakakku yang tengah melambai padaku untuk sesaat. Kuteruskan kembali perjalananku sampai akhirnya rumahku tidak terlihat lagi.
Ini dia, akhirnya aku bisa melakukannya.
Kutebar pandangan ke sekitar, mencoba untuk menikmati suasana sekitar. Rumah-rumah tertutup rapat tanpa ada celah sedikitpun yang terbuka. Lampu-lampu jalan bersama bintang di langit, memancarkan cahayanya yang entah kenapa, bagiku terlihat indah. Apakah ini karena aku terlalu lama dikurung dalam rumah saat malam?
Daun-daun pepohonan bergoyang ditiup angin dingin. Untung saja kakakku memperingatkanku kalau malam ini agak dingin dan memakaikanku kardigan merah muda miliknya ini, jadinya tidak terlalu berasa. Kebetulan juga aku mengenakan rok panjang, jadinya aku semakin kebal.
Sepanjang aku berjalan, rasanya begitu menyenangkan. Aku merasa begitu bebas, seolah semua rantai pengekang yang membelengguku selama ini hilang. Apalagi dengan semua pemandangan penuh cahaya yang kulihat, membuatku sempat berharap kalau sebaiknya dunia ini dibuat malam terus saja.
Namun, ada satu masalah yang sebenarnya telah sedari tadi ada tapi baru kusadari. Aku tidak tahu harus menuju ke mana.
“Ke mana, ya?” Gumamku kebingungan.
Aku pun lantas berhenti dan celingukan karena tidak bisa menemukan tujuan. Namun, sepertinya keberuntungan masih ada di pihakku karena tanpa sengaja aku melihat brosur tempel di tiang listrik di sebelahku yang mengumumkan kalau malam ini ada pasar malam di lapangan blok Cemara.
“Waah! Kebetulan sekali, blok Cemara dekat dari sini.”
Kupercepat langkahku demi bisa segera sampai di sana. Bertemu sebuah perempatan, aku ambil kanan dan tidak perlu lama, aku sudah tiba di tempat yang kutuju.
“Waah! Ramai banget!”
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku melihat apa yang ada di depanku. Orang-orang sangat banyak sekali, berbaur menjadi satu bersama para penjual dadakan itu.
Tapi dari semua itu, yang paling membuatku terkesan adalah bianglala besar bercahaya warna-warni yang ada di tengah lapangan yang berputar dengan indahnya. Aku sempat berkeinginan untuk naik, tapi aku baru ingat aku tidak bawa uang sama sekali.
Sudah lama sejak aku mendatangi tempat-tempat seperti ini.
Aku tersentak saat aku teringat kalau waktuku tidaklah banyak. Lantas aku pun berlari kecil dan masuk ke dalam kerumunan pengunjung.
Seruan para penjual yang saling bersaing sengit menawarkan dagangannya bercampur dengan alunan musik-musik pop yang juga tidak mau kalah. Tidak bisa aku tidak menganga kegirangan melihat semuanya. Bahkan anak-anak kecil yang sangat gembira saja pun kalah riangnya denganku.
Lantas, perhatianku tertuju ke tengah-tengah lapangan tempat berbagai wahana bermain berada. Aku berlari ke sana dan disambut dengan suara bising mesin-mesin yang memekakkan telinga.
Namun dari semua wahana yang ada, rumah hantu dan bianglala lah yang antriannya paling panjang. Ah, seandainya aku ada uang, aku akan naik bianglala itu.
“Sayang banget,” gumamku sambil tersenyum kecut melihat bianglala itu berputar menghibur orang-orang.
Kurogoh saku blusku untuk melihat jam di ponselku. Sudah jam delapan.
“Cepat banget ya waktu berjalan kalau sedang senang.”
Belum sempat aku memikirkan langkah selanjutnya, aku mendengar samar suara anak kecil menangis. “Jangan-jangan tertinggal dari orangtuanya lagi.” Aku celingukan mencari sumber suara itu hingga aku melihat seorang gadis cilik berkucir dua dan bergaun merah menangis di dekat sebuah pohon imitasi sambil memegang sebuah permen kapas.
Langsung saja aku berlari menghampirinya. Dasar, padahal banyak orang yang lewat tapi tidak ada satu pun yang menaruh peduli. Tidak punya hati!
“Loh, kamu kenapa menangis?” Tanyaku seraya berlutut di depannya. Kupegang kedua bahunya untuk menenangkannya dan kucoba menyeka air matanya. Aku merasa iba karena dia tampak ketakutan sekali.
“Ibu! I-Ibu hilang!” Jawabnya dengan terbata-bata.
Benar kan tebakanku, dia terpisah dari orangtuanya.
“Kamu bisa kasih tahu ciri-cirinya? Nanti kita cari bersama.”
“I-Ibu punya rambut panjang dan pakai kemeja biru terang dan celana panjang putih,” ujarnya.
Aduh, cirinya terlalu umum. Maksudku, aku sih maklum anak ini tidak bisa menjabarkan secara spesifik karena masih kecil. Tapi tempat ini lumayan luas, apalagi pengunjungnya terlalu banyak. Kalau aku keliling mencari, sampai subuh pun aku yakin tidak akan ketemu karena pasti ibunya juga akan mencari.
Tapi kalau diam di sini pun, aku setidaknya harus menunggu sampai si ibu yang lalai ini sadar putrinya hilang yang entah berapa lama. Waktuku juga terbatas.
Lalu sebuah ide pun muncul.
Kurasa, jika aku membawa gadis ini ke tempat yang paling menonjol, kemungkinan ibunya akan mencari ke sana sangat besar. Tempat itu, tidak lain adalah bianglala.
“Ayo, ikut sama kakak.” Aku pun lantas menggandengnya pergi menuju bianglala dan ambil tempat di dekat loket karcis.
Sepanjang kami menunggu, tangan gadis yang kupegang ini menggenggam tanganku dengan kuat. Dia pasti sangat ketakutan. Aku pun berjongkok di depannya, bermaksud menghiburnya.
“Tenang, kok. Nanti ibu kamu pasti ke sini,” kataku penuh keyakinan meski hatiku tidak.
Dia cuma bergeming dan menunduk. Aku gagal.
“Oh ya, nama kamu siapa?”
“W-Wanda.”
“Wanda? Wah, namanya bagus!”
Meskipun dia tetap tertunduk, tapi kulihat raut wajahnya telah menampilkan ekspresi yang lebih baik. Entah kenapa, memperhatikan mukanya membuatku geregetan karena imut.
“K-Kalau kakak, namanya siapa?” Akhirnya, dia menatapku dan mengajakku bicara.
“Amanda.” Kucubit kedua pipinya yang tembem. Ih, kalau saja aku tidak kuat iman, akan kubungkus anak ini dan kubawa pulang lalu kujadikan adikku. Lucu banget soalnya.
“Sakit tahu!” protesnya. Apalagi mata bulatnya yang menatap marah padaku, aaagh ... imut banget sih ini anak? Hehe ....
Aku tertawa. “Ya deh, maaf.”
“Wanda!” Seseorang meneriaki namanya dari belakangku dan saat kutoleh, sesosok wanita berkemeja biru berlari ke arah kami dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu!” Wanda tersenyum lebar sambil menunjuk-nunjuk wanita itu. Ah, akhirnya ketemu juga.
Ibunya langsung menarik Wanda dalam pelukannya. Lalu dia melepaskan dekapannya dan memandangi anaknya dari atas ke bawah seraya meraba-raba badannya. “Kamu tidak kenapa-kenapa, kan? Maafkan ibu ya karena meninggalkan kamu.”
“Tidak apa-apa kok,” kata Wanda dengan suaranya yang ahahh ... imut! “Tadi aku ketemu sama Kak Amanda dan aku ditemani sama dia.” Dia menunjukku, membuatku kaget.
Si ibu lantas berdiri dan meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. “Terima kasih sudah menjaga Wanda,” katanya dengan haru. “Sekali lagi saya berterima kasih.”
“A-Ah, tidak perlu, Bu,” kataku gugup. Aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi ini.
“Saya tidak tahu harus bagaimana untuk membalas kamu—”
“Sudah, Bu. Tidak perlu. Yang penting Wanda sudah ketemu dan tidak kenapa-kenapa.”
Kulihat dia ingin menyanggah tapi langsung kuyakinkan lagi bahwa tidak perlu ada balasan apapun untukku. “Sudah, tidak apa-apa, kok. Lagian, saya juga ikut senang karena Wanda ketemu lagi.”
“Kak Amanda, ini,” tiba-tiba Wanda ikut masuk dalam pembicaraan dan saat kulihat dia menyodorkan permen kapasnya padaku, sambil tersenyum polos. “Buat kakak.”
“Benarkah? Buat kakak?” Aku berlutut di depannya sambil mengusap-usap kepalanya. Hihi ... rasanya menyenangkan.
Wanda mengangguk membuat dua kuciran rambutnya berayun. Ugh ... aku jadi semakin ingin menculiknya.
Setelah kuterima permen kapasnya, ibunya mengajak Wanda pergi setelah sekali lagi berterima kasih padaku. Sepanjang jalan, gadis lucu itu terus menatap dan melambai padaku hingga akhirnya masuk dan hilang ke dalam kerumunan.
Kejadian ini membuat hatiku terisi penuh dengan kepuasan, padahal aku masih ingin melihat-lihat lebih lama lagi. Tapi mau bagaimana? Gairahku sudah hilang dan kurasa, sebaiknya aku segera pulang atau Kak Dian marah padaku.
Saat aku beranjak pergi meninggalkan tempat itu, aku menebar pandangan. Mungkin saja aku bisa melihat Wanda lagi, habis wajahnya imut banget. Namun sampai aku ke luar dari area itu, aku tidak mendapatinya.
Aku pun kembali masuk ke dalam sunyi dan dinginnya malam. Meninggalkan bising kebahagiaan di belakang yang semakin samar dan akhirnya tidak terdengar sama sekali. Namun, kucoba untuk tetap menikmati setiap langkahku seraya mencicipi permen kapas pemberian Wanda.
Umm ... rasanya manis-manis gurih. Aku jadi ingin tambah lagi.
Dari kejauhan di belakangku, terdengar suara laju sepeda motor ke arahku. Hanya saja entah karena apa, setelah melewatiku, pengendara motor itu berhenti tidak jauh di depanku, membuatku berhenti juga.
Tapi tunggu ... aku merasa motor itu tidak asing bagiku.
“Hei, Nda!” Seru si pengendara itu seraya melepas helmnya yang rupanya adalah Aldi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
tambah menarik
2020-11-15
1
Ema Mahfudiansyah
😄1. makin Bagus, aja💕
2019-06-05
1
Ema Mahfudiansyah
😄1. makin Bagus, aja💕 😉😗😗😙😚😒🤓
2019-06-05
2