Aku lebih memilih duduk untuk mencari napas di tepian lapangan dan menyaksikan teman-teman sekelasku bertanding sepak bola. Sebenarnya mereka mengajakku, tapi aku lelah setelah sesi pengambilan nilai olahraga tadi. Karena sudah selesai, guruku membebaskan kami untuk melakukan apapun yang kami mau di sisa mata pelajarannya.
Kutebar pandangan ke sekitar, rupanya banyak juga murid dari kelas lain yang ada di luar kelasnya. Aku tidak tahu apakah mereka bolos pelajaran atau apa, tapi sebagian dari mereka, kebanyakan perempuan, menatap ke arahku seraya berbisik. Membuatku jadi tidak nyaman.
Sebagian teman-temanku, terutama yang perempuan, kebanyakan memilih untuk kembali ke kelas atau mampir ke kantin. Sementara di sisi seberang lapangan agak dipojok, aku melihat Amanda dan Sarah bermain bulutangkis sambil tertawa-tawa.
Melihat Amanda dengan rambut panjangnya yang kini dikucir membuatnya tampak anggun. Bahkan aku sendiri merasa rugi kalau berpindah pandangan. Tidak heran sih, karena pada dasarnya dia memang menawan.
Amanda memiliki postur yang ramping, berkulit putih, dan yang paling aku sukai darinya adalah matanya yang cerah. Hidungnya mancung tapi mungil dengan bibir tipis yang kalau sedang tersenyum, mustahil bagi yang melihatnya untuk tidak tersenyum juga. Bagiku, sekilas dia mirip dengan seorang artis yang populer sewaktu aku kecil, tapi entah siapa, aku lupa namanya.
Tanpa sengaja, kami saling bertemu pandang, tapi dia langsung mengalihkan tatapannya, bahkan hingga lupa mengembalikan servis dari Sarah dan berakhir ditertawakan oleh temannya itu. Aku heran, apakah Amanda orang yang pemalu? Soalnya sebelum ini pun, dia selalu terlihat grogi dan seolah kesulitan kalau bertemu denganku.
Tapi aku senang, sih. Soalnya dia jadi kelihatan lucu walau aku tahu tidak baik bagiku untuk bersikap demikian karena sama saja aku telah menjelekkannya sebab dia pemalu.
“Hei, sendirian saja?” Seru seseorang dari arah kanan yang ketika kutoleh ternyata adalah Sandi, teman sekelasku yang tengah berjalan ke arahku dengan dua botol air mineral di tangannya.
Aku hanya tersenyum saja. Kemudian dia duduk di sebelahku dan menawarkan botol di tangan kanannya padaku. Aku sempat menolak, tapi dia mendesak dan akhirnya kuterima.
“Tidak ikutan?” Tanya anak berambut cepak ini.
“Tidak. Lagi mau menonton saja,” jawabku seraya meletakkan botol pemberian Sandi di celah antara kami. “Kau sendiri tidak ikut?”
Dia tertawa sembari membuka tutup botol air mineralnya. “Ah, malas!” Lalu menenggak sedikit isinya.
Aku mengangguk mengerti.
“Omong-omong, Di. Kau betah di sini?” Lanjutnya lagi.
Aku melirik langit, bingung apa yang harus kukatakan. Betah atau tidaknya aku di sini memang belum kelihatan karena baru dua hari. Tapi kupikir dengan semua perlakuan yang kudapat dari teman-teman baruku, aku merasa nyaman bergabung di sekolah ini.
“Bagaimana, ya? Aku tidak yakin tapi kurasa aku nyaman di sini,” jawabku.
Sandi kelihatan senang mendengarnya. “Oh, bagus deh kalau begitu.”
Obrolan kami pun berakhir. Masing-masing dari kami sibuk dengan fokus sendiri-sendiri. Sandi asyik menyaksikan teman-teman yang lain bertanding, sementara aku kembali mengalihkan pandangan pada Amanda dan Sarah yang sekarang beranjak pergi.
Aku agak terkejut melihat kedua gadis itu, terutama Amanda, dikerubungi oleh sekelompok gadis-gadis tahun pertama yang berpapasan dengan mereka berdua dan para siswi itu tampak antusias ketika berbicara dengan Amanda dan Sarah. Rupanya kedua gadis itu lebih populer dari yang kukira.
“Amanda itu populer, ya?” Tanyaku pada Sandi tanpa melepas pandanganku dari gadis-gadis itu.
“Oh, jelas.” Sandi ikut menilik ke arah aku memandang. “Amanda kan mantan anggota OSIS, sedangkan Sarah ketuanya. Jadi wajar kalau mereka populer, sih.”
“Amanda mantan OSIS?”
“Ya. Tapi bukan itu sih yang bikin dia terkenal. Anak-anak kelas sepuluh, terutama yang perempuan suka dengannya karena saat masa orientasi mereka, Amanda tidak seperti anggota OSIS kebanyakan. Yah, kau tahu, sok tegas, sok tinggi, pokoknya menyebalkan, deh.
“Malahan ada beberapa dari siswa baru itu yang terpincut padanya. Terus saat hari terakhir orientasi, Amanda terpilih jadi kakak kelas terfavorit mengalahkan Sarah. Hebat, kan?”
“Tapi ... kenapa dia berhenti jadi anggota? Sayang banget kalau dilihat dari ceritamu tadi.”
“Tidak tahu. Tidak lama habis orientasi, dia berhenti begitu saja. Pas kutanya pun, dia ogah cerita.”
Apa yang kudengar dari Sandi jadi membuatku penasaran pada Amanda. Dalam hidupku, ada satu kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan—keingintahuan berlebihan pada orang yang menarik bagiku.
Amanda dan Sarah tampak selesai bersua dengan para penggemarnya lalu pergi menuju lantai dua dan masuk ke kelas. Sejenak aku berpikir, mencari tahu lebih dalam tentangnya sepertinya menyenangkan. Tapi itu memalukan, karena membuat diriku terlihat seperti penguntit.
***
Sandi mengajakku bersamanya untuk makan siang di kantin. Kami tidak hanya berdua, tapi ada dua orang lain yang ikut bersama kami. Mereka adalah siswa kelas sebelah kenalannya Sandi, Chandra dan Eko alias Gipong.
Kami duduk bersama di salah satu meja yang tersedia di kantin, agak dipojok. Aku duduk bersebelahan dengan Eko, sementara Chandra yang berhadapan denganku, berdampingan dengan Sandi. Kalau diperhatikan lebih detil, tempat ini lebih besar dari yang kuduga, bahkan di sekolahku yang sebelumnya kantinnya tidak seluas ini. Aku sudah ke sini kemarin, tapi tetap saja membuatku terkesan.
Sekarang hari kamis, dan semua murid mengenakan seragam batik sekolah bercorak hijau-kuning dan bawahan hitam. Melihat mereka semua membuatku merasa sedang berada di sebuah acara pesta pernikahan.
Karena makanan kami semua sudah habis, yang kami lakukan selanjutnya adalah berbicara mengenai hal-hal ringan, walau utamanya tetap ada pada diriku. Alamatku, asalku, dan keluargaku, sekitaran itu yang paling sering dibicarakan.
Selagi kami asyik bercengkerama, Chandra lalu pergi ke salah satu penjual dan kembali dengan membawa serencengan panjang kuaci. Ketiga teman baruku ini langsung mengupas beberapa bungkus kudapan itu, menuangkannya di meja dan segera menyambarnya tanpa ampun. Melihatnya membuatku tersenyum-senyum sendiri.
“Kau suka kuaci, Di?” Tanya Chandra sambil mengupas dan melahap biji-bijian itu.
Aku tidak menjawab melainkan ikut mengambil beberapa kudapan itu dan memakannya. Gurih dan sedikit manis.
“Betah di sini?” Tambah Chandra lagi sembari menggaruki kepalanya yang ditumbuhi rambut jabrik.
“Lumayan,” jawabku.
“Bagus, deh.”
Sementara Eko dan Sandi asyik mengobrol sendiri, aku dan Chandra hanya diam, fokus untuk menghabiskan kuaci yang kelewat banyak ini.
Sesekali kupandang sekitar. Aku penasaran karena tidak menemukan Amanda sejak tadi. Kemarin pun sama. Apa mungkin dia bawa bekal sendiri, ya?
“Cari siapa, Di?” Celetuk Chandra tiba-tiba, membuatku kaget.
“Tidak, kok. Aku cuma ingin lihat-lihat saja,” kataku seraya lanjut memakan kuaci lagi.
Lalu Chandra tersenyum. “Kalau kau mau cari pacar, tidak usah jauh-jauh, Di. Di kelasmu saja ada dua, Amanda dan Sarah, tinggal pilih yang sesuai selera.”
“Jangan dengarkan dia, Di. Sesat!” Sandi menyerobot dengan mata menyorot jijik Chandra.
“Enak saja!” Chandra melempar sebuah kuaci ke muka Sandi, namun berhasil di hindari dengan menunduk. “Kau pikir aku ini dukun cabul apa?”
“Habisnya mukamu itu muka kriminal, Ndra. Makanya orang susah percaya padamu,” Eko ikut menimpali. Gigi geraham ruas atas kanannya yang ompong terlihat ketika dia tertawa. Jadi itu alasan dia dipanggil Gipong.
Sambil menatapku, Sandi mengarahkan telunjuknya pada Chandra yang tampak jengkel. “Bukan orang namanya kalau sampai percaya sama pemimpin sekte pemuja buah dada ini. Apapun yang dia katakan, jangan sampai kau percaya, Di.”
“Bohong, Di. Jangan percaya,” Chandra mencoba membela diri dengan menggeleng dan menggoyangkan kedua tangannya padaku.
“Apa-apaan!” Sekarang giliran Eko yang menatapku. “Minggu lalu, Di. Waktu itu ada ulangan matematika dan sebelum mulai, dia berdoa.” Kemudian dia menengadahkan kedua tangannya. “ ‘Wahai buah dada, berkatilah aku dengan kekenyalan dan kelembutanmu yang tiada hilang ditelan zaman'. Begitu doanya masa?”
Setelahnya Sandi dan Eko menertawai Chandra yang hanya diam seraya kembali memakan kuaci dengan wajah kusut. Aku ikut tertawa saja, karena aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi teman-temanku ini.
Namun kalau dipikir lebih dalam lagi, aku jadi penasaran mengapa Chandra disebut sebagai pemimpin sekte aneh itu. Aku ingin menanyakannya langsung, tapi kurasa Chandra atau dua yang lain tidak akan mau memberitahu, lagi pula aku juga tidak enak dan malu menyampaikannya.
Tidak terasa bel tanda berakhirnya istirahat menggema. Sambil menggerutu, Sandi menyeru kami untuk segera kembali ke kelas.
***
“H-Hei,” sapa seseorang dari arah pintu saat aku tengah memasukkan barang-barangku ke tas untuk pulang yang ketika kutengok rupanya adalah Amanda yang berdiri memandangku dengan wajah tegang dan senyum kecut yang tampak dipaksakan.
Aneh, mengapa dia kembali lagi?
“Oh, Amanda. Ada apa?” Tanyaku memastikan apa maksud dia memanggilku.
Alih-alih menjawab, dia justru menunduk. Kedua tangannya disembunyikan dibalik ransel di punggungnya. Aku heran, apakah sebegitu pemalunya dia sehingga untuk bicara denganku saja harus menunggu sepi karena sekarang, hanya tinggal kami berdua saja yang masih ada di kelas.
“I-Ini, emm ... aku ... b-boleh tidak aku minta nomor kontakmu? Cuma buat jaga-jaga saja kalau ada sesuatu!” Ucapnya dengan cepat pada kalimat kedua.
Nomor kontak, ya? Aku sih tidak masalah. Lagi pula, kebetulan aku belum punya kontak teman-teman baruku di sini. Rasanya tenang kalau punya orang lain yang bisa dihubungi.
“Sebentar.” Kurogoh saku celana untuk mengambil ponselku. Kubuka menu kontak, dan setelah ketemu, aku mendekatinya dan menunjukkannya padanya. “Ini.”
Pelan-pelan, dia menampakkan lagi wajahnya yang kini tersenyum lebar. Tangannya yang sedari tadi bersembunyi di balik punggung, dengan sekejap muncul, sudah siap dengan ponselnya pula. Jari-jari lentiknya yang gemetaran bergerak cepat di atas layar ketika mencoba memasukkan nomor kontakku ke memori ponselnya hingga dia sempat salah beberapa kali. Sekali lagi aku berpikir, apakah sebegitu sulitnya bagi dia untuk bicara dengan orang lain?
Amanda mundur dua langkah. “T-Terima kasih, ya?” Katanya dengan tertunduk lagi seraya merengkuh ponselnya dengan kedua tangan.
“Sama-sama,” balasku seraya menahan tawa.
Kemudian dia beranjak pergi dengan langkah cepat. Sekilas, aku melihat wajahnya yang merah ketika dia menoleh padaku sambil tersenyum sebelum menuruni tangga dan hilang dari pandangan. Aku cuma geleng-geleng saja sembari tertawa sebentar. Sudah sering aku berjumpa dengan orang pemalu, tapi tidak ada yang separah Amanda.
“Melihat dia aku jadi ingat ibu,” gumamku, walau aku sendiri sebenarnya bingung karena merasa dia punya kemiripan dengan ibuku. Entah dalam hal apa. “Tapi omong-omong ... untuk apa ya dia meminta kontakku?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
nyimaks
2020-11-15
2
Ayunina Sharlyn
nyimak lagi
2020-07-12
1
Sisilia Jho
welcom ponsel ku..siap2 gadang nih
2019-09-15
0