Chapter 9: Aldi

“Aduh. Dasar Amanda, dia membuat perutku sakit!”

Sejak kepergian Amanda beberapa saat lalu, Rina masih belum bisa berhenti tertawa. Saking gelinya bahkan wajahnya jadi merah dan sampai memegangi perutnya.

Berbeda dengannya, aku menyayangkan kepergian gadis itu. Padahal menurutku, berbicara dengannya terasa menyenangkan. Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkannya karena sifatnya yang memang begitu.

Kutenggak sedikit air mineral yang kubeli dari Rina. Siang ini panas sekali, membuatku hampir tidak bisa jauh-jauh dari air meski jam sudah menunjuk pukul dua yang harusnya sudah tidak sepanas ketika tengah hari.

Lalu Rina menghampiriku dan duduk bersamaku di bangku panjang depan etalase, masih dengan tertawa-tawa kecil. Aku takjub, melihat dia kini sudah sangat berbeda dari saat kami masih kecil dulu. Padahal waktu itu dia sering dibilang paling culun oleh teman-temanku yang lain karena badannya yang kecil dan tampangnya yang lugu.

Kecuali mungkin, keusilannya.

Hanya saja bagiku, dia malah terlihat lucu. Maksudku, rambut yang dikepang dua seperti anak-anak, mata yang bulat dan posturnya yang dapat dikatakan ideal dengan sepasang pipi tembem yang berlesung kalau sedang tersenyum.

“Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu,” katanya sambil tersenyum padaku.

Aku pun balas tersenyum. “Yah, aku juga tidak menyangka bisa kembali lagi ke sini.”

Aku dan Rina adalah teman semasa kecil. Kami sering bersama dulu, sampai akhirnya aku pindah ke luar kota. Sebenarnya aku sudah kembali ke kota ini sejak dua setengah tahun lalu, hanya saja sebelumnya aku tinggal di perumahan lain yang lumayan jauh dari sini.

Kalau teringat soal itu, rasanya menyenangkan, dan aku pun bersyukur bisa kembali lagi ke sini, lingkungan tempatku lahir. Bisa melihat teman-teman lama, seperti anugerah tersendiri untukku.

“Sekarang rumahmu di mana, Di? Kau tidak kembali ke rumah lamamu yang ada di samping rumah Pak RW, kan?” Tanya Rina.

“Bukan,” jawabku. “Rumahku sekarang ada di Jalan Kemiri Lima, di depan kantor pos.”

“Kalau begitu dekat dong dari sini?“ Matanya yang bulat membelalak bersama senyumnya yang makin lebar. Aku mengangguk dan hampir tertawa karena dia jadi lucu sekali. “Ah ya, kau sekarang sekolah di Madya, ya?” Imbuhnya kemudian.

“Ya,” jawabku. “Aku sudah bilang aku sekelas dengan Amanda tadi, kan?”

“Wiih!” Dia bertepuk tangan beberapa kali. “Kau beruntung banget bisa sekelas dengannya!”

“Beruntung bagaimana?”

“Amanda itu terkenal banget loh di sini! Malah dulu saja, warungku itu selalu ramai sama anak-anak dari sekolah lain karena waktu SMP, dia selalu lewat sini kalau pulang.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Belum lama ini pun, aku dengar dari anak-anak Madya yang bilang kalau Amanda sudah ditembak puluhan kali, tapi semuanya ditolak. Dia itu bagai artis lokal di sini.”

Mendengarnya mengejutkanku. Jujur, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku, aku mengenal orang biasa yang sangat populer. Kupikir sesuatu seperti itu hanya ada dalam fiksi, ternyata aku salah.

“Tapi sepertinya dia tidak nyaman dengan itu semua,” gumamku. Itu hanya sekadar pendapatku saja, melihat dari Amanda yang pemalu.

“Yah, kurasa juga begitu.”

Setelah tertawa pelan, Rina menengadahkan wajahnya ke langit. Dari tatapan matanya, seolah dia memiliki sesuatu yang ingin dikatakan, tapi enggan.

“Eh, Di,” panggilnya.

“Hmm?”

“Ini cuma pendapatku saja sih tapi, kayaknya Amanda suka denganmu, deh.”

Aku mengerjap. Memang dia bilang itu hanya pendapatnya saja, tapi tetap tidak pernah kusangka.

“Tidak mungkin, Rin,” balasku dengan iringan tawa pendek. “Aku baru kenal dia tiga hari, dan juga, mana mungkin gadis seperti Amanda suka denganku? Membayangkannya saja sudah tidak masuk akal.”

“Oh, ya?” Rina menolehku dengan tatapan dan seringai remeh. “Kau pikir kau Tuhan bisa tahu segalanya?”

“Aku tidak berpikir begitu.”

“Lantas, dari mana kau tahu kalau yang kubilang tadi tidak masuk akal?”

“Bukan berarti aku tahu. Aku hanya mengatakan berdasarkan fakta, dan pengalaman. Tidak pernah ada gadis yang benar-benar suka padaku.”

Setelah kuberkata begitu, Rina menghela napas dan ekspresinya berubah pasrah. Apakah aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah? Tapi rasanya tidak.

“Dasar!” Dia menggaruk kepalanya. “Dari dulu kau tidak ada perubahan sama sekali, Di.”

“Memang kenyataannya begitu, kan?” Kubalas sambil terkekeh. “Bahkan orang baik hati dan polos seperti Syifa saja tidak benar-benar suka padaku. Kau tahu, dia selalu menjauh kalau aku ada didekatnya.”

“Syifa begitu karena dia pemalu, bukan tidak suka padamu!” Rina tampak geregetan. “Aku suka padamu, lalu kau anggap apa aku ini? Kalau aku tidak menyukaimu, untuk apa juga aku bicara denganmu di sini atau menghabiskan umurku untuk bermain denganmu dulu? Kan konyol?”

Karena aku sudah tidak memiliki apapun sebagai jawaban, aku hanya bergeming.

“Sekarang begini saja, deh.” Rina memutar tubuhnya sehingga menghadap langsung padaku. “Kita taruhan.”

“Taruhan?” Tanyaku heran.

“Ya, taruhan,” katanya penuh antusias. “Kalau nanti Amanda benar menyukaimu dan akhirnya kalian berdua berpacaran atau minimal, dia menembakmu, kau harus mentraktirku nasi goreng Mang Ujang setiap malam seminggu penuh. Kalau ternyata tidak, aku yang akan mentraktirmu, bagaimana?”

Sejujurnya, aku tidak yakin soal ini. Aku tidak pernah bertaruh sebelumnya. Tapi, entah mengapa, yang satu ini terasa menantang. Kurasa aku harus mencobanya.

“Baiklah, setuju.” Kuulur tangan kananku pada Rina yang kemudian disambut dengan tangan mungilnya yang halus diiringi senyum lebar penuh percaya diri.

“Oke, deal!” Katanya, dan kami pun sepakat.

***

Setelah aku dan Rina bertukar nomor kontak dan lanjut mengobrol sebentar, aku pun pulang.

Setibanya di rumah, aku mendapati sepatu berhak tinggi milik ibuku di rak sepatu dekat pintu. Rupanya dia sudah pulang setelah sedari pagi pergi ke acara pernikahan putra bibiku.

Saat aku masuk, aku tidak melihat dia atau mendengar suaranya. Karena penasaran, kucoba untuk memeriksa kamarnya dan kudapati ibuku tertidur di sana. Dari wajahnya jelas tergambar betapa lelahnya dia jadi akan lebih baik kalau kutinggal saja.

Aku menuju kamarku dan segera berbaring. Memang tiada duanya memanjakan diri di atas pulau empuk setelah berkelana sambil panas-panasan hanya supaya aku tidak kebosanan di rumah.

Sesaat kemudian, aku terpikirkan kembali soal apa yang kubicarakan dengan Rina tadi. Tentang taruhan antara aku dan dia.

Sejujurnya aku yakin aku pasti menang, karena Amanda tidak akan mungkin suka padaku.

Memang, aku sudah banyak mendengar dari orang kalau yang namanya cinta itu bisa datang begitu saja tanpa harus diharap atau diinginkan. Tapi entahlah, aku tidak mengerti.

Memikirkannya membuatku sedikit cemas.

Maksudku, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan jika itu sampai terjadi. Bagaimana jika dia benar menyukaiku, tapi aku tidak punya rasa padanya? Aku tidak mau menyakiti seseorang.

Atau mungkin yang lebih buruk, aku menyukainya, dan dia tidak punya rasa padaku.

“Mengapa aku jadi berpikir ke sana?”

Pasti, semua itu tidak akan terjadi. Aku yakin.

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

like

2020-11-15

1

Ayunina Sharlyn

Ayunina Sharlyn

lanjut lagi Thor

feedback ya 😄😄

2020-07-12

0

🐒🐒🐒 monkey D Luffy

🐒🐒🐒 monkey D Luffy

bagaimana kalo kalian saling mencintai

2019-06-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!