Aku tiba di rumah dengan masih membawa syok yang kudapat setelah Aldi menyentuh dahiku di sekolah tadi pagi. Karena sore ini kakakku ada di rumah, rencananya aku akan langsung mandi, makan, lalu ikut menimbrung bersamanya menonton film di komputer tentengnya dengan akun berbayar miliknya. Tapi untuk hari ini aku lebih memilih berbaring saja di kamarku, masih dengan mengenakan seragam.
Memangnya kalian, yang doyannya menonton film-film gratisan versi Pak Tani. Huuuuuu!
Kuraba-raba jidatku ini. Serius, aku masih tidak percaya dengan apa yang aku alami ini. Sepanjang di sekolah tadi saja, aku hanya diam, tanpa ada bicara sama sekali kepada siapa pun. Aku terlalu terkejut dengan apa yang telah Aldi lakukan padaku.
Untuk sesaat, aku sempat berpikir betapa agak kurang ajarnya dia menyentuhku begitu saja. Namun setelah aku mengingat bagaimana cara dia berbicara dan memandangku, aku pun tahu kalau dia hanya mencemaskanku.
“Dia bahkan peduli padaku padahal dia tidak ingat siapa aku ini.”
Aku tersenyum. Setelah sekian lama menanti dan berharap, akhirnya mata ini bisa melihatnya lagi. Ah, coba saja tadi aku tidak salah tingkah saat bertatapan dengannya dan berbicara layaknya orang normal, pasti menyenangkan.
Memikirkan indahnya momen itu kalau benar-benar terjadi membuatku tertawa sendiri. Dan saat aku tengah melakukannya, tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka lalu ketika kulirik, rupanya kakakku datang mengunjungiku.
“Dih, tertawa sendiri. Sableng, ih!” Begitulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya ketika melihatku dengan tatapan jijik.
Sudah main asal masuk kamar orang, masih juga meledek. Dasar menyebalkan!
“Sudah berapa kali Amanda bilang sih kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu?” Langsung saja kucecar dia karena hati sudah terlanjur gerah.
Inilah dia, kakak perempuanku, Dian. Soal penampakan fisik, tidak perlu kujelaskan secara rinci karena sebagai saudari kandung, wujudnya tidak jauh-jauh dariku. Hanya saja mungkin, kakakku berkulit dan bermata lebih cerah, rambut yang menggantung di atas bahu, dan posturnya yang bisa dibilang ideal.
Dia punya hobi mengenakan kaus polos persis seperti yang sedang dia pakai sekarang ditambah dengan celana denim sebetis yang jadi setelan rumahnya. Kalau menggunakan pakaian yang bergambar atau bercorak kurang nyaman, katanya.
Sayangnya, kepribadiannya tidaklah seindah wujud fisiknya. Kumiringkan badanku dan kutimpa wajahku dengan bantal. Kalau sudah ribut, aku enggan untuk bicara atau mendengar apapun darinya. Apalagi melihat mukanya, malas!
Tapi tumben, dia tidak membalas celotehanku tadi. Biasanya setiap aku menanggapi ocehannya, dia akan langsung merespon. Ah, biarkan saja, deh.
Beginilah hari-hariku bersama Kak Dian. Ribut, akur, ribut, akur, dan ribut lagi. Begitu terus sejak zaman kuda gigit besi.
“Ganti baju dulu orang mah, jangan kayak kerbau ketemu lumpur begitu,” ledeknya lagi. Baru juga kubilang.
“Malas!” Sahutku ketus.
“Lagian tumben banget langsung tiduran. Biasanya kan, kamu mandi dulu, makan dulu, baru molor, deh. Kok, sekarang aneh. Ada apa, sih? Cerita dong sama kakak!”
“Mau tahu saja urusan orang.”
Setelah kuberkata begitu, tidak ada lagi balasan darinya. Kurasa ini adalah kemenanganku. Tidak ada yang lebih kusenangi selain membuat Kak Dian yang nyinyir itu bungkam. Puas banget rasanya.
“Ah, kakak tahu!” Rupanya dugaanku meleset. Entah apa yang tengah dipikirkannya, tapi dia terdengar girang. Ih, dasar! Mengapa sih dia tidak pergi saja? “Kamu langsung masuk ke kamar habis pulang sekolah, tidak ganti seragam dan lupa makan juga. Terus senyum-senyum sendiri lagi. Kamu ... kamu sudah punya pacar, Nda?”
Aku tidak tahu apa itu, tapi sesuatu tombol dalam benakku terpicu. Membangunkanku dan langsung menghadapkanku kepada Kak Dian. Kutatap wajahnya yang sekarang dihiasi senyum usil lekat-lekat.
Kesabaranku sudah habis.
“Tolong deh, Kak. Kalau bicara hati-hati,” ucapku dengan penekanan di setiap katanya.
Persis seperti yang kuharapkan. Senyum menyebalkan itu lenyap dari wajahnya. Sekilas dia tampak memikirkan sesuatu sebelum mendekat dan duduk tepat di sebelahku.
“Kamu kenapa sih, Nda? Judes banget jadi orang?” Dia terkekeh, yang membuat kedua telingaku jadi panas.
“Bukan Amanda yang judes, tapi kakak yang menyebalkan banget jadi orang!”
Sama seperti biasa, dia cuma tertawa-tawa saja sambil mengusap-usap kepalaku. Huuh ... jangan harap apa yang kakak lakukan akan membuatku jadi jinak mendadak. Tidak akan!
Omong-omong, kalian pasti bingung mengapa aku marah, kan? Alasan aku emosi adalah karena ayahku.
Ayahku, mentang-mentang aku perempuan dan terlebih bungsu, dia cukup overprotektif padaku. Entah sudah berapa kali dia mewanti-wanti diriku agar aku membatasi pergaulan, terutama dengan anak laki-laki.
Karena aturannya inilah aku kerap dimarahi olehnya sebab kakakku sering salah memahami diriku dengan menganggap aku punya pacar atau tengah dekat dengan laki-laki kalau aku sedang terlihat cerah di matanya dan dengan lugunya menceritakannya ke ayah.
Aku paham apa yang dilakukan ayah adalah demi kebaikanku. Aku mengerti itu dan tidak ada niat untuk memberontak. Tapi, tidak bisakah dia mempercayakan hidupku ini kepada diriku sendiri? Maksudku astaga, aku sudah enam belas tahun, bukan gadis balita yang mesti diawasi ke mana pun perginya.
“Ya, deh. Kakak minta maaf.” Kakakku tertawa-tawa pendek.
Sebagai adik yang baik, aku mengangguk meski masih terbesit rasa sebal di benakku. Lantas Kak Dian berdiri dan beranjak meninggalkanku. Namun ketika tangannya meraih gagang pintu, dia berhenti dan menolehku.
“Apa lagi?” Kutanya dia sambil kulipat tanganku di dada.
Dasar separuh sinting, dia terkekeh lagi. “Kamu mandi sana, terus makan. Jangan sampai kamu kayak dulu lagi, Nda.”
Aku mengerjap saat kakakku mengatakan itu. Lebih tepatnya, karena Kak Dian si manusia tukang tertawa itu berubah sendu raut wajahnya. Setelah aku mengangguk, dia pun pergi.
Seraya menggeleng, aku mendengus. Kenapa sih, kakak harus membuatku jadi ingat lagi dengan momen paling buruk dalam hidupku?
***
Seperti masa lalu, malam ini aku kembali duduk di meja belajarku yang telah lama kutinggalkan. Kalau bukan karena tugas rumah dari guru bahasa Inggris, aku juga tidak akan mau menempati benda ini lagi.
Menjawab setiap soal satu persatu di buku catatan, ah, rasanya seperti membawaku ke masa-masa itu.
Masa kala aku masih seperti robot.
Aku menggeleng, berusaha mengeyahkan ingatan konyol itu. Tidak ada gunanya juga aku mengenangnya.
“Aldi sedang apa sekarang, ya?”Gumamku guna mengalihkan pikiranku ke arah yang lebih baik.
Sesaat aku berhenti dan melirik ponselku yang tergeletak di tepian meja, memberinya senyum lalu kembali lagi pada pekerjaanku. Ah, kalau saja aku punya kontaknya, pasti malam ini akan sangat menyenangkan.
Nnnngggg ....
Ponselku bergetar, dan kuraih untuk melihat ada apa gerangan.
WhatsApp ... dari Sarah? Ada apa, ya? “Tumben. Tidak biasanya dia menghubungiku.”
Kubuka pesan itu, dan seperti ini isinya:
[Hei, Nda.]
[Maaf ya, aku mengganggu malam-malam begini. Aku mau minta tolong padamu, boleh tidak?]
Membacanya membuat alisku berkerut.
Kuketikkan pesan balasan untuknya. [Minta tolong? Minta tolong apa? Rumahmu kebakaran?]
Kukirimkan sambil tertawa-tawa. Sekitar empat detik kemudian ponselku bergetar lagi.
[Dasar!]
[Aku serius, Nda. Jangan main-main, deh!]
“Ih, sensitif banget sih ini orang,” gumamku. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat betapa lucunya sikap temanku ini. [Ya, ya. Aku kan cuma bercanda, Sar. Mau minta tolong apa padaku?]
Setelah kutunggu beberapa waktu, tidak ada balasan lain yang datang. Ya sudahlah, mungkin memang hanya itu saja yang ingin dia sampaikan jadi kulempar saja ponselku ke ranjang dan lanjut pada tugas bahasa Inggrisku.
Nnnggg ... ponselku bergetar panjang.
Baru juga ujung pulpenku menyentuh kertas, sudah diganggu lagi. Sambil berdecak aku bangkit dan terpaksa keluar dari posisi nyaman untuk menjemput ponselku.
Sekalian saja kulemparkan tubuhku ke ranjang. Aku sudah malas. Saat kutatap layar ponsel, rupanya Sarah meneleponku.
“Kenapa tidak sekalian saja, sih?” gerutuku.
Dengan ogah-ogahan, kujawab panggilannya.
“Halo? Niat banget isengnya!” Aku langsung menyerocos bahkan sebelum Sarah bicara.
Bukannya menyesal atau apa, dia malah tertawa.
Aku berdecak. “Cepat bicara, aku sibuk!”
“Ya, ya, deh. Maaf,” kata Sarah sambil cekikikan. “Begini, Nda. Aku mau minta kau buat menemani aku ke toko buku besok habis pulang sekolah. Bisa tidak?”
“Toko buku? Bukannya sudah waktu itu?”
“Ya. Bahan bacaan di rumahku sudah habis. Eh, omong-omong, si Aldi ganteng juga, ya? Hehe ....”
Mendengar itu aku jadi tersenyum. Tentu saja, pujaan hatiku mana mungkin tidak tampan?
Sebelum aku jawab permintaan Sarah, aku berpikir sesaat. Memastikan apakah aku ada waktu luang untuknya. Rupanya tidak ada dan kuputuskan untuk menemaninya besok.
“Dasar! Ingat pacarmu!” sindirku. Kukira dia akan sewot, eh, nyatanya dia malah tertawa. “Terus soal besok, aku bisa, kok. Tenang saja, aku temani kau.”
“Oh, oke! Terima kasih, Nda. Maaf ya, aku mengganggu malam-malam begini. Sudah dulu, kutunggu besok.”
“Ya, sama-sama.”
Panggilan pun terputus.
Kuhela napas pendek, selagi kutaruh lengan kananku yang masih menggenggam ponsel di dahi. Jujur, aku malas sebenarnya memenuhi permintaan Sarah. Tapi yah, kurasa tidak apa-apa jalan-jalan sedikit.
Tersentuh empuknya kasur, seperti yang telah kuduga sebelumnya, membuatku mengantuk. Mataku sudah berat dan hampir tertutup, namun tugas sekolahku menghalangiku pergi ke alam mimpi.
Ah, biarkan saja, deh. Tugas bisa menunggu sampai besok. Aku mengantuk, aku mau tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Naoki Miki
Haaii mampir yuk ke krya q 'Rasa yang tak lagi sama'
cuss baca jan lupa tinggalkan jejaak🤗
tkn prfil q aja yaa😍
vielen danke😘
2020-10-17
1
Sisilia Jho
oke lanjut..
2019-09-15
1
Robiatul
x xisa di a2 " o
2019-06-29
0