Begitu aku memasuki rumah dan menjejakkan kaki di ruang tengah, ibuku langsung mematikan televisi yang sedang dia tonton lalu berdiri dari sofa dan menatapku dengan wajah masam. Ini aneh, karena tidak biasanya ibu seperti itu.
“Kamu janji akan pulang jam delapan, tapi kenapa baru sampai sekarang?” Tanyanya dengan nada tinggi yang ditahan.
Jadi, itu masalahnya.
“Tadi Aldi memang ingin langsung pulang, tapi di jalan Aldi bertemu teman jadi ya, mengobrol dulu sebentar,” ujarku.
“Lantas, mengapa ibu tidak bisa menghubungi kamu?!” Dia mulai agak membentak.
“Ponsel Aldi tadi mati, dan baru sadar pas dekat rumah.”
Ibuku cuma bergeming, menatapku tajam tanpa berkedip. Sepertinya, dia tidak puas dengan penjelasanku.
Aku tidak tahu harus bagaimana karena jujur, belum pernah aku melihat ibu marah. Melihat dia tiba-tiba bersikap seperti ini padaku sangat mengejutkan.
“Ibu khawatir karena takut kamu kenapa-kenapa. Apa kamu tidak memikirkan perasaan ibu?!” Sergahnya seraya menepuk-nepuk pelan di tempat hatinya berada. Membuatku sampai mengerjap kaget.
Sekejap kemudian, raut kekecewaan memenuhi wajahnya. Firasat buruk pun muncul dalam benakku.
Apa yang mesti kulakukan?
“Aldi paham tapi—”
“Masuk ke kamarmu, sekarang!” Dia menunjuk kamarku. Aku ingin memberi penjelasan lagi tapi, kurasa akan lebih baik jika aku menurutinya.
Bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk meluruskan dan meminta maaf. Apa sebegitu marahnya ibu padaku?
Sebelum kututup pintu kamarku, aku menoleh dan kulihat tatapan penuh amarah ibu yang tidak juga lepas dariku. Lalu seraya berbaring, aku memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk menenangkannya.
Kuhela napas karena aku merasa ini akan jadi hal sulit sebab aku tidak pernah melihat ibuku marah dan juga cara untuk menenangkannya. Apakah aku harus menghubungi ayah?
Ide bagus, tapi aku ragu ayah akan meladeniku. Maksudku, dia orang yang selalu sibuk. Malah, seingatku hanya dua kali semenjak dia pindah ke luar kota dia mau menanggapi telepon atau pesan dariku.
“Kenapa jadi begini, ya?” Kuusap wajah seraya mendengus pasrah.
Aku belum siap dengan suasana yang berubah begitu cepatnya. Mulai dari hura-hura pesta, asyiknya mengobrol dengan Amanda, dan beberapa menit kemudian berantakan karena ibu marah padaku. Ah, tapi biarlah, aku tidak mau memikirkannya.
Amanda ... aku jadi teringat lagi dengannya.
Aku lantas mengambil charger ponselku di atas lemari pakaian dan kemudian memasangkannya di terminal listrik di bawah ranjang. Setelah terhubung dengan ponsel dan mulai mengisi baterainya, kuhidupkan lagi ponselku. Aku mendengus, ketika melihat ada lima pemberitahuan panggilan tidak terjawab dan pesan WhatsApp berisi pertanyaan tentang keberadaanku yang kesemuanya datang dari ibuku.
“Pantas saja dia marah padaku,” gumamku.
Sesaat kemudian, ponselku berdering panjang.
“Ayah?” Gumamku heran saat melihat nama kontak yang mencoba meneleponku. “Halo?” Langsung saja kujawab tanpa menunggu lagi. Karena kabel charger-nya pendek, jadi aku harus duduk di lantai.
“Halo, Di!” Sahut suara dari seberang itu dengan girang. “Bagaimana kabarmu?”
“Aldi baik-baik saja, kok. Ayah sendiri, bagaimana?”
“Sama, kok. Oh ya, barusan ayah coba telepon ibumu tapi kok tidak dijawab. Tiga kali dicoba sama saja hasilnya. Dia tidak kenapa-kenapa kan, Di?”
Ibu mengabaikan ayah? Aku tidak percaya sampai terngaga.
Ini aneh, karena biasanya ibuku sangat girang kalau ayah meneleponnya. Malah dia pernah sampai meninggalkan masakannya hingga gosong demi bisa berbicara dengan belahan jiwanya itu.
Tapi apa yang membuat dia marah? Ah, atau mungkin ....
Aku mendesah sewaktu menyadari bahwa akulah yang jadi sebab kemarahan ibuku. “Ibu tidak apa-apa kok. Dia hanya sedang marah.”
“Marah?” Ayahku terdengar sangat kaget. “Marah sama siapa? Kok bisa?”
“Sama Aldi.”
“Sama kamu? Bagaimana ceritanya?”
“Jadi tadi habis maghrib Aldi pergi ke perayaan ulang tahunnya Raka, dan bilang kalau Aldi akan pulang jam delapan karena memang ibu tidak membolehkan Aldi pulang terlalu malam.
“Tapi saat pulang, di jalan Aldi bertemu sama teman sekelas dan Aldi pikir, ingin mengobrol dengannya dan ya, ternyata kelewatan dan baru sampai rumah jam setengah sepuluh. Ibu marah karena kata dia sih, takut Aldi kenapa-kenapa. Sudah begitu ponsel Aldi mati jadi tidak bisa dihubungi olehnya.”
Ayahku bergeming. Cukup lama, hingga aku berpikir mungkin dia marah juga padaku. Tapi ternyata aku salah.
Sesaat kemudian, dia tertawa. Seolah ada hal konyol yang telah kulakukan.
“Jadi begitu,” katanya dengan begitu santai. “Ah, dasar si Maya, dari zaman pacaran sampai punya anak remaja masih sama saja tingkahnya.”
“Sama? Maksudnya?” Tanyaku heran sekaligus penasaran.
“Begini, Di. Ibumu itu ya ... kamu tahu, lah. Dia orangnya lembut banget. Malah kalau dilihat sekilas, dia itu sudah seperti manusia yang seolah tidak punya kemampuan buat marah. Tapi kalau sudah marah, aduh ... seram deh pokoknya. Malah ayah dulu pernah bertengkar dengannya dan baru bisa akur lagi sebulan kemudian.”
“Terus, bagaimana caranya ayah bisa akur lagi sama ibu?”
“Gampang! Gombali saja dia dan bersikap lembut padanya, nanti juga dia luluh sendiri. Hahahaha!”
Jelas aku kaget mendengarnya. Aku, menggombali ibuku sendiri? Bahkan aku tidak bisa membayangkan diriku melakukan itu.
“Ayah jangan bercanda,” kataku sedikit kesal. “Lagi pula, ayah saja butuh sebulan agar berhasil lantas bagaimana dengan Aldi?”
“Ayah dulu kesulitan karena waktu itu ayah masih pacar saja. Kamu kan anak, maksudnya, orang tua mana sih yang tidak senang dipuji dan diperlakukan baik sama anaknya?”
“Y-Ya sih, tapi—”
“Sudah, kamu coba saja dulu. Ibumu itu sangat sayang padamu, Di, makanya dia sampai marah sama kamu. Pasti berhasil, percaya deh sama ayah. Lagian, Di, ibumu itu orangnya pemalu, jadi kalau dipuji ya begitu, lucu deh pokoknya.”
Apa yang ayah katakan mungkin benar tapi tetap saja, membayangkannya saja sudah membuatku ingin lompat ke sumur. Tapi aku juga tidak mau ibuku berlama-lama marah padaku.
“Kalau begitu, y-ya sudah, deh. Nanti Aldi coba.”
“Bagus! Itu baru namanya gentlemen! Ya sudah, ayah sampai di sini saja dulu. Sampaikan salam ayah pada ibu, ya? Dah!”
Panggilan terputus.
Kuhela napas panjang seraya meletakkan ponselku di dekat terminal. Tidak kusangka aku harus melakukan sesuatu yang mungkin terlihat menjijikkan. Namun, yang menjadi masalahku adalah, aku tidak tahu bagaimana caranya memuji perempuan dengan benar.
Apa aku harus minta tolong Amanda? Ah, tapi kalau melihat waktu sekarang, mungkin dia sudah tidur. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya.
Atau mungkin Sarah? Ah, aku terlalu malu mengatakannya. Rina? Bisa-bisa aku ditertawakan olehnya kalau aku bilang padanya.
Setelah semua yang kupikirkan, kurasa aku memang harus melakukannya sendiri. Baiklah kalau harus begitu. Akan kulakukan malam ini juga.
Semoga aku berhasil.
Aku pun beranjak keluar dari kamar. Ternyata ibuku sudah tidak lagi menonton televisi dan entah di mana dia berada sekarang.
“Apa mungkin di kamarnya?”
Aku berjalan menuju kamarnya yang ada tepat di sebelah kamarku. Namun, pintunya sudah tertutup. Ingin kuketuk, tapi aku ragu.
Akhirnya aku hanya berdiri diam di depan kamarnya tanpa dapat melakukan apapun. Namun kuputuskan untuk memberanikan diri mengetuk pintunya. Kuharap ibu belum tidur.
“Masuk,” sahutnya dari dalam.
Syukurlah dia belum tidur. “Aldi masuk, ya?”
Kubuka pintunya perlahan, dan kulihat ibu tengah duduk di tepi ranjang sembari melipat beberapa pakaian. Sempat dia melirikku dan menunjukkan wajahnya yang masih masam sebelum kembali berfokus pada kegiatannya.
“Kenapa?” Aku semakin ragu karena dia bertanya dengan nada dingin. Juga, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan.
“Anu ... eh ... Tidak ada, kok. Aldi cuma mau melihat ibu saja.”
“Kenapa memangnya?”
“Engg ... habisnya, Aldi senang lihat wajah ibu yang cantik.”
Aku langsung meletakkan kedua telapak tanganku di wajah sambil geleng-geleng. Sudah kuduga, ini konyol. Lagi pula, aku juga tidak yakin ibu akan terlena begitu saja.
Tapi aku penasaran dengan hasilnya, jadi kubuat celah kecil di jari-jariku dan mengintip.
Samar-samar, aku melihat ibuku tersenyum. Tidak kusangka cara ini berhasil namun, dia seolah tidak mau menerima kenyataan dan kembali memasang ekspresi masamnya.
Begitu rupanya, bahkan aku jadi ikut tersenyum sendiri melihatnya. Persis seperti yang aku kira, Amanda dan ibu punya sedikit kemiripan.
Lalu aku mendekatinya dan duduk tepat di sampingnya. Dari dekat, aku bisa melihat dengan jelas kalau ibu berusaha keras untuk mempertahankan citra dinginnya dengan terus melakukan pekerjaannya tanpa menolehku.
“Aldi minta maaf ya?” Kataku selembut mungkin, persis seperti yang diberitahu ayah. Tidak lupa juga dengan senyuman. “Aldi tidak bermaksud membuat ibu marah. Jangan marah lagi, ya?”
Ibu mengangguk pelan, namun tidak ada apapun lagi setelahnya. Kelihatannya aku memang benar-benar harus melakukan saran ayah.
“Ibu tahu tidak, Aldi paling suka kalau lihat ibu senyum. Karena kalau sedang begitu, ibu jadi kelihatan manis.”
Setelah aku berkata seperti itu, kulihat ibu mempercepat pekerjaannya. Lalu, entah cuma perasaanku saja, dia menunduk, seperti hendak menyembunyikan wajahnya dariku.
“Ibu kenapa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Tidak kok, ibu tidak apa-apa.” Dia menggeleng dan mengerlingku sesaat sambil tersenyum khas orang canggung.
Aku tidak bisa menahan untuk ikut tersenyum. Ibu tersipu? Sungguh, aku tidak menyangka kalau perkataan ayah tentang ibu itu benar.
“Kamu kenapa, sih?” Ibu tampak risih sekali.
“Sudah Aldi bilang, kan? Aldi mau melihat ibu.”
Tangan-tangan ibuku semakin cepat bergerak dengan tawa kecil malu-malu yang mulai terdengar. Kutangkap kedua tangannya tanpa peringatan, membuatnya tersentak dan lantas menolehku.
Aku tertawa, mendapati pipi ibuku yang memerah.
“Ibu kenapa? Kok pipinya merah?” Tanyaku sok polos.
“Eh? M-Masa, sih? Mana ada?!” Ibu meraba pipinya dengan tingkah yang aneh.
Lalu kutidurkan kepalaku di bahunya sambil kulingkarkan kedua tanganku di tubuhnya. Kuharap aku bisa melihat bagaimana ekspresinya sekarang, namun sayangnya, kehangatan dan kenyamanan yang kudapatkan darinya terlalu berharga untuk dilewatkan.
“S-Sebenarnya ada apa, sih?” Gumamnya kebingungan.
“Tidak ada apa-apa, kok. Aldi cuma mau memeluk ibu saja,” kataku sambil terkekeh.
Pada akhirnya, aku malah bermanja-manja pada ibuku padahal niatan awalnya hanya ingin agar dia tidak lagi marah padaku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sangat menyayangi ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Umi Umaroh
mau dong di gembelin....
eh gombalin😁
2019-06-27
0
Ardha Wahyuni
aku jg kalo di gombal gelabakan gak tau harus gi mna malu2 kucing.....
2019-06-01
0
Fair_y_tale
wanita....🤦♀️
2019-05-08
4