Chapter 14: Amanda

Aku sadar aku sudah keterlaluan padanya, tapi itu pun juga karena ulahnya yang telah membicarakan yang tidak-tidak tentangku.

Sekarang, aku berhadapan dengannya. Di kelas, hanya berdua, karena yang lain sudah pulang. Memohon maaf karena telah menampar mukanya di depan umum.

“Sudah, lupakan saja, Nda.”

Begitu jawabannya. Bagaimanapun, dia tidak bisa menyembunyikan raut kesal di wajahnya yang bahkan tidak memandangku. Hanya itu, dan dia terus merapikan barang-barang di tas selempangnya.

“Aku tahu aku keterlaluan, tapi, apakah sebegitu marahnya kau padaku?”

“Kau juga pasti akan marah, Nda, kalau wajahmu ditampar di depan umum atas sesuatu yang tidak kau lakukan.”

Dia pun berdiri dari tempatnya duduk dan langsung pergi saja. Aku yang masih ingin mencoba, menahan tangannya hanya demi sebuah maaf.

“Kenapa lagi, Nda?” Dia menolehku. “Sudah kubilang tidak apa-apa.”

“Sekali lagi aku minta maaf, Di,” pintaku.

Namun, dia hanya bergeming. Melepaskan tangannya dariku lalu pergi begitu saja.

Tidak pernah kusangka dia akan sangat marah padaku. Aku takut, dia jadi membenciku.

Aku bahkan belum bisa berbaikan dengan kakakku, dan sekarang aku sudah membuat orang lain marah. Sambil tertunduk, aku berjalan keluar dari kelas. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kuperbuat untuk memperbaiki keadaanku sekarang. Pasrah, satu-satunya hal yang mungkin bisa kulakukan.

Menuruni tangga, melewati lobi, dan aku pun tiba di halaman depan sekolah. Dari belakang, aku mendengar langkah kaki yang berlari ke arahku dan tidak lama kemudian, bahuku ditepuk sehingga aku berhenti untuk menoleh yang rupanya adalah Sarah.

“Ada apa?” Tanyaku langsung. Aku sedang tidak ingin bicara, jadi aku ingin segera tahu apa yang dia inginkan.

“Kau kenapa, Nda?” Dia menatapku lekat-lekat.

“Tidak apa-apa, kok. Cuma masalah kecil saja.”

“Kecil? Aku tahu persis bagaimana kau ini, Nda. Kalau kau suram begini, berarti masalahmu berat.”

Kuhela napas saat aku menyadari aku tidak bisa berbohong darinya. Lalu, Sarah meraih tangan kananku sambil memamerkan senyum.

“Ikut denganku.” Dia membawaku pergi ke ... entahlah, aku ikut saja.

***

Perasaanku jadi tidak enak karena membuat Sarah repot. Karena sekarang, kami berada di sebuah kedai roti bakar kekinian tidak jauh dari sekolah, dan dia tanpa ragu mentraktirku padahal tidak kuminta.

Di satu meja bundar berpayung di luar kedai, aku dan dia duduk di kursi yang saling berhadapan. Ditemani masing-masing sepiring kecil yang berisi potongan roti bakar berbalut parutan keju dengan garpu yang menancap di atasnya yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk membuat liurku menetes. Kuharap aku bisa seperti Sarah yang bisa memakannya tanpa terbebani.

“Makan, Nda.” Sarah menunjuk roti bakarku selagi dia memasukkan secolok roti bakarnya ke mulut dan mengunyahnya.

Aku hanya mengangguk saja dan menatap kosong kudapan di hadapanku ini. Suasana hatiku terlalu buruk untuk bisa menikmati hidup di hari ini.

“Cerita dong, Nda. Aku akan bantu semampuku.”

Sejujurnya, aku tidak ingin ada orang lain mengusikku, bahkan tidak terkecuali Sarah yang merupakan sahabat dekatku. Tapi aku pun tahu, kalau aku cuma diam, Sarah mungkin akan marah juga dan masalahku pun semakin bertambah. Lagi pula, harusnya dia sudah tahu apa yang kualami karena Sandi dan dua manusia amoral lainnya harusnya sudah bercerita padanya.

Ya sudahlah, kurasa aku harus rela terganggu demi hubungan baikku dengan Sarah.

“Aldi, marah padaku.”

Aku tidak heran melihat Sarah begitu terkejut sampai berhenti menguyah. Dan setelah dia menelan makanannya, dia meletakkan garpunya di meja, melipat kedua tangannya, dan memandangku dengan mengerutkan alis.

“Marah? Maksudmu bagaimana?” Tanyanya.

Kuturunkan kedua tanganku yang terlipat di atas meja ke paha lalu kujalin. Kutatap dia sebentar, lalu menunduk lagi.

“Ya, aku menampar dia tadi pagi.”

“Hah? Kok bisa?”

“Ya, aku salah paham karena kukira dia membicarakan yang tidak-tidak tentangku pas aku mendatangi dia di kelasnya Chandra untuk minta maaf karena sudah kasar padanya pagi tadi, yah kau tahu, suasana hatiku sedang buruk. Aku sudah mencoba minta maaf padanya tadi di kelas sebelum pulang karena sudah menamparnya, tapi sepertinya dia sangat marah sekali.”

“Aduh, Nda, Nda. Makanya, jadi orang jangan suka khilaf kenapa?”

“Lagian, siapa juga yang mau khilaf? Memangnya aku bisa mengira-ngira aku bakalan begitu?”

Sarah pun tertawa. Ketika kulihat, dia masih tetap memandangku hanya saja sekarang sambil memangku sebelah pipinya. Dia sempat menggeleng. Tampaknya aku sudah kelewat konyol di matanya.

“Yah, mau bagaimana lagi, Nda. Sudah kejadian,” katanya. “Tapi tenang saja, kok. Aku yakin Aldi pasti akan baik lagi padamu.”

“Tapi tetap saja, aku takut dia jadi tidak suka padaku.”

“Tidak akan, Nda. Percaya, deh. Lagian, mengapa juga kau sampai sebegitunya sama dia? Kau kan biasanya cuek-cuek saja sama orang lain.”

Aku tidak menjawab pertanyaannya itu karena tentu saja, tidak mungkin aku mengatakan alasan sebenarnya kepada Sarah. Namun, aku juga tidak bisa selamanya menyembunyikan itu darinya.

Aku menunduk, mencoba menguatkan diriku. Kuputuskan untuk mengatakannya padanya.

“Karena, aku suka sama dia.”

“Hah?!”

Aku tersentak sampai mengerjap ketika Sarah berteriak cukup keras. Sudah kukira dia pasti akan sangat kaget mendengarnya.

“Kau suka ... astaga! Sejak kapan, Nda?” Katanya dengan senyum yang lebarnya hampir mencapai kedua telinganya ketika kupandang. Aneh, mengapa jadi dia yang kesenangan begitu?

“A-Anu ... entahlah.” Kupalingkan lagi tatapanku.

Entah kenapa, mukaku jadi hangat dan dadaku berdebar-debar.

Tapi tunggu, mengapa aku jadi gugup begini? Padahal tadi aku merasa biasa saja.

“Cieee ... ihiy!” Sarah bersorak, membuat wajahku serasa dibakar sampai-sampai harus kututup dengan tangan. “Akhirnya, Amanda suka dengan seseorang.”

“Diamlah! Aku malu, tahu!” Protesku, tapi tidak didengarkan.

“Akhirnya. Setelah sekian lama, sahabatku telah kembali ke jalan yang benar.”

“Dasar! Memangnya kau pikir aku ini apa?!”

“Lagian, kau selalu menolak setiap laki-laki yang menyatakan cinta padamu jadi kupikir kau punya kelainan.”

“Berisik!”

Sekarang dia malah membuat telingaku ikutan panas. Apalagi tertawaannya, mendengarnya membuat hati serasa ditaruh di atas api.

Ketika kubuka tanganku, dia beranjak mendekatiku dan mengunci leherku dengan lengannya seraya mengacak-acak rambutku dengan kasar. Aku yang merasa kalau itu memalukan berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu kuat. Sial! Mengapa aku jadi lemah banget, sih?

“Selamat ya, Nda! Akhirnya kau menemukan cinta pertamamu juga!” Katanya sambil tertawa-tawa.

“Lepaskan!” Rutukku sambil terus berusaha lepas darinya. Aku memberontak semakin keras saat melihat orang-orang yang ada di dalam kedai memandang ke arahku.

“Tenang saja, Nda. Nanti kubantu kau untuk mendapatkannya! Aku janji!”

“Masa bodoh! Lepaskan aku! Aduh ... ugh ... napasku sesak!”

Dasar gadis terkutuk! Dia malah semakin mencekik leherku dan membuatku tidak bisa bernapas.

“Nah, begini dong! Ini baru Amanda yang aku kenal! Tidak loyo dan suram seperti yang tadi!”

Ya Tuhan, aku akan mati! Aku kehabisan napas!

Siapa pun, tolong aku!

***

Dari ruang tengah, aku segera berlari menuju pintu ketika seseorang mengetuknya. Huh, padahal aku sedang asyik-asyiknya berbaring di sofa.

“Ya, sebentar!” Aku menyeru ke luar.

Kubuka pintu. Melihat siapa yang ada di baliknya, langsung membuat jantungku serasa lompat hingga ke tenggorokan.

Kak Dian yang menatapku tajam dengan ekspresi sedingin es.

Buru-buru aku menyingkir untuk memberinya jalan. Ketika dia melangkah masuk, bahkan tidak sedikit pun dia menaruh peduli padaku hingga dia sampai ke dalam kamarnya.

Sambil menutup pintu kembali, aku menghela napas pasrah. Tidak kusangka kakakku begitu marah padaku sampai enggan hanya untuk sekadar menoleh adiknya ini.

Kembali ke ruang tengah, aku yang telah kehilangan suasana hati yang baik, memilih beranjak menuju lantai atas tempat kamarku berada. Langsung kujatuhkan tubuhku di kasur, dan berharap aku bisa tertidur secepatnya.

Sudah dua hari sejak malam itu, kami, lebih tepatnya kakakku, tidak ada bicara sama sekali. Bahkan tidak satu kali pun dia menolehku ketika aku berada di dekatnya. Saat ibu menasihatinya pun, dia hanya diam.

Aku tidak suka suasana seperti ini. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Meminta maaf? Sudah kulakukan, dan hanya ditanggapi dingin olehnya.

“Seandainya aku bisa meminta bantuan—”

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan saat kulihat, ternyata Kak Dian sudah berdiri di sana. Menyorotku dingin.

Aku langsung terduduk dan beringsut dengan jantung berdebar-debar. “Kakak? A-Ada apa?”

Tidak ada tanggapan, melainkan dia malah mendekatiku dan duduk di sebelahku. Kutundukkan kepala, sebab pemandangan di depanku terlalu menakutkan untuk dilihat mata.

Eh? Loh? Kenapa ini?

Kak Dian ... memelukku?

“Eh? Kak, a-ada apa ini?” Aku bertanya-tanya dalam kebingungan sekaligus tidak percaya dengan apa yang aku alami.

“Kakak minta maaf, ya? Waktu itu kakak sudah keterlaluan sama kamu, Nda.”

Kak Dian minta maaf? Tidak, tidak mungkin. Ini pasti mimpi. Sekarang di dunia nyata, aku pasti tengah terbaring tidak sadarkan diri di suatu tempat dengan luka parah di kepala dan yang kualami sekarang hanyalah gambaran dari keinginanku untuk berbaikan lagi dengan Kak Dian yang belum sempat terwujud.

Tapi waktu kucoba mencubit pipiku, rasanya sakit. Dan ketika kugelitiki telapak kakiku pun, rasanya geli. Berarti, yang aku alami sekarang itu nyata, dong? Benar tidak, sih?

“Kamu diam saja, kamu tidak mau memaafkan kakak, ya?” Renunganku terpecah dengan ucapan Kak Dian yang terdengar lemas itu.

Aku pun buru-buru menyanggah yang dia katakan. “E-Eh tunggu dulu. Bukan begitu, hanya saja, Amanda kaget karena ini tiba-tiba banget. Lagian, Amanda sudah memaafkan kakak, kok.”

“Benarkah? Terima kasih, ya?” Balasnya yang terdengar begitu lega.

“Sama-sama, Kak. Amanda juga minta maaf ya, karena tidak menuruti Kak Dian waktu itu.”

“Iya, kakak sudah maafkan, kok.”

Bahkan setelah habis kata dari mulut kami, dia tidak kunjung juga melepaskanku. Tapi tidak apa-apa, deh. Rasanya hangat dan nyaman, kalau boleh mungkin, selamanya seperti ini juga aku tidak keberatan.

Tapi yah, akhirnya dia melepaskanku juga. Selanjutnya, dia mencubit kedua pipiku lalu mengecup keningku. Aku tidak terkejut karena selagi kami masih kecil dulu pun, dia selalu melakukannya padaku sebelum aku pergi ke alam mimpi.

“Eh ... Kak?” Aku penasaran dengan sesuatu, jadi aku ingin bertanya padanya.

“Ada apa, Karlina sayang?”

“Ih, apa-apaan, sih?! Amanda serius, nih!”

Kakakku tertawa sementara aku cemberut menahan hawa panas di hati. Kalau kalian tanya kenapa, aku sendiri juga bingung mengapa aku selalu merasa gerah ketika nama tengahku itu dipakai untuk memanggilku.

“Ya, ya, ada apa?” Sambungnya dengan masih tertawa-tawa pelan.

“Kenapa sih, kakak melarang Amanda keluar malam?”

Seketika tawanya berhenti, menyisakan sebuah senyum kecil yang penuh makna.

“Karena kakak takut kamu kenapa-kenapa, Nda.” Tangan kanannya mengusap-usap kepalaku. “Kamu itu adik satu-satunya, jadinya kakak tidak mau adik kesayangan kakak diapa-apakan orang.”

Diapa-apakan orang? Aku tidak mengerti.

“Maksudnya?” Rasa penasaranku semakin memuncak sampai alisku berkerut secara otomatis.

Sebelum dia melanjutkan, Kak Dian menarik napas dan membuangnya perlahan. Lalu, dia melirik langit-langit sebelum kembali menatapku.

“Ada teman kuliah kakak yang juga punya adik perempuan. Dia sepantaran sama kamu hanya dia lebih muda setahun. Kalau melihat dia tuh, kakak teringat kamu terus, Nda.

“Suatu malam, teman kakak itu mendapat kabar kalau adiknya ada di rumah sakit karena diserang oleh penjahat yang mencoba merampas barang-barang miliknya. Dia ditusuk, namun untungnya dia masih bisa diselamatkan.”

Aku sontak terdiam tanpa bisa berkata apapun. Lebih tepatnya, aku kaget karena ceritanya berubah menyeramkan.

Jadi, selama ini Kak Dian bersikeras mengurungku setiap malam karena khawatir aku akan bernasib sama seperti adik dari temannya itu. Sebuah fakta yang membuatku jadi ingin menangis haru.

“Makanya, kakak harap kamu mengerti mengapa kamu tidak boleh keluar malam, Nda. Bukan cuma kakak, tapi ayah dan ibu juga sama-sama khawatir,” lanjutnya. “Sewaktu kamu kakak kasih pergi pas itu saja, ayah menelepon ke rumah dan ingin bicara sama kamu, terus dia marah-marah karena tahu kakak mengizinkan kamu pergi.”

“Amanda mengerti, kok. Jadi, kakak tidak usah cemas lagi, ya?” Kupasang senyum untuk membuatnya yakin.

Senyum samar yang begitu manis mengembang di bibirnya. Kembali dia memelukku, dan entah mengapa, kali ini lebih hangat dari yang sebelumnya.

“Tapi waktu itu, Amanda ketemu sama Aldi, loh.”

Setelah kuberkata begitu, Kak Dian langsung melepas pelukannya. Matanya yang berbinar membulat, membuatku jadi gemas sendiri.

“Kamu ... ketemu sama Aldi?”

“Ya. Memangnya kenapa, Kak?”

Alih-alih menjawab, dia malah mencubit hidungku sampai sakit dan membuatku meradang.

“Apa-apaan sih, Kak? Sakit tahu!” Gerutuku seraya mengusap-usap batang hidungku.

“Cieee! Sekarang kamu sudah besar, nih! Nanti cerita sama ibu, ah.”

“Terserah, deh.”

“Kamu benar suka sama dia, Nda?”

Aku mengangguk. Aku lega, karena aku sudah bisa lebih bebas mengakui perasaanku pada Aldi ke orang terdekatku meski yah, hubunganku sedang tidak baik dengannya.

“Kenalkan sama kakak, dong! Bawa dia ke sini, biar kakak lihat langsung,” pintanya penuh harap.

“Mana mungkin? Memangnya kakak mau kita di amuk sama ayah?”

Dia pun menyengir. Huh, mau meminta sesuatu tapi tidak kira-kira dulu. Kakakku belum tahu rupanya Aldi seperti apa karena di profil akun WhatsApp-nya, dia menggunakan gambar dinosaurus kartun yang lucu.

“Alasan kamu suka sama dia apa? Kakak boleh tahu, kan?” Tanya Kak Dian lagi dengan antusiasme yang tinggi. Kelihatannya dia sangat tertarik pada Aldi.

“Kakak ingat saat Amanda dulu hampir di tabrak di jalan tapi ditolong seseorang?” Tanyaku, dan dia pun mengangguk. “Yang menolong Amanda adalah Aldi.”

Bisa ditebak, Kak Dian langsung membelalak. Tidak bisa aku menahan tawa melihat tingkah kakakku yang lucu ini.

“Sungguh?! Yang benar kamu, Nda?!” Bahkan dia sampai menggenggam kedua bahuku erat-erat.

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, kalian langsung menikah saja! Kakak rela!”

“Hah?! Kakak gila, ya?!”

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

lanjut

2020-11-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!