Cintaku, Pahlawanku!

Cintaku, Pahlawanku!

Chapter 1: Amanda

Pagi ini mungkin menjadi yang terberat dalam hidupku karena beberapa saat lalu, dengan berat hati, aku harus menolak perasaan Andi, si siswa populer yang juga merupakan kakak kelasku. Harusnya aku bisa tenang, karena dia pun menerimanya dengan lapang dada sehingga tidak ada masalah apapun di antara kami, malah dia memastikan bahwa hubungan aku dan dia akan baik-baik saja.

Tapi tetap saja, aku tidak bisa berhenti cemas. Bukannya apa-apa, aku takut aku baru saja mencoreng reputasinya. Yah, kalian tahu, beban terberat dari seorang populer adalah kegagalan.

Namun, apa yang bisa aku lakukan? Aku memang tidak punya perasaan suka padanya. Tapi bagaimanapun, rasa bersalah dalam dadaku tetap hinggap, tidak peduli sekeras apapun aku berusaha mengeyahkannya.

Tapi, kalau boleh aku jujur, selain karena aku tidak ada rasa padanya, ada satu hal lagi yang menjadi alasan kuatku untuk menolak Andi.

Alasan itu adalah, karena aku telah menyimpan cintaku untuk seseorang. Sesosok penyelamat yang tidak sempat kukenal. Seorang pahlawan.

Sekarang, aku di kelas, membaringkan kepala di atas meja. Memikirkan segala yang telah terjadi antara aku dan Andi membuatku mengantuk padahal jam belajar bahkan belum dimulai. Sungguh, jika bisa, aku ingin tidur.

Kemudian, seseorang menepuk bahuku dari belakang berbarengan dengan diriku yang menghela napas.

Aku menoleh dan mendapati Sarah, teman sekelasku yang juga primadona sekolah yang sering dikira pedagang sawo karena warna kulitnya yang sama dan semanis seperti buah itu. Memandangku sambil tersenyum, memperlihatkan sedikit deretan giginya yang putih sekali.

“Ada apa, sih? Kok, lesu begitu?” Dia bertanya dengan suara halus yang terdengar menggemaskan bagi sebagian kalangan. Tentu saja aku tidak termasuk.

“Tidak ada, cuma mengantuk,” kilahku padanya seraya menegakkan kembali badanku. Tentu saja aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya karena Andi adalah kenalannya yang cukup akrab.

“Aku sudah tahu, kok. Kau baru menolak Andi, kan?”

Aku mengerjap. Bagaimana bisa dia tahu soal itu?

“Tidak apa-apa lagi.” Dia tertawa sambil membenarkan kacamata ovalnya. “Lagian, dia sendiri kok, yang cerita padaku.”

“Syukur deh, kalau begitu.” Kuhela napas lega.

“Hei, Nda.” Sarah membungkukkan badan sehingga wajah kami saling berhadapan dekat sekali. “Aku minta tolong padamu boleh tidak?”

“Hm? Minta tolong apa?”

“Hari ini kakakku ulang tahun. Aku ingin ke toko buku untuk membeli hadiah untuknya. Aku ingin kau menemaniku.”

“Wah, hebat. Keturunan keluarga cendekiawan memang beda. Sampai ulang tahun saja kadonya buku.”

Aku pun tertawa. Sarah tersenyum sipu, sampai-sampai dia harus mengusap kepalanya yang dihiasi oleh rambut bergelombang bergaya bob dengan poni menutupi sebagian besar dahinya yang kalau dilihat sekilas tampak seperti wig karena terawat sekali.

Di samping itu, yang aku katakan tentang keluarganya memang benar. Ayahnya seorang pakar astronomi dan ibunya adalah dosen sastra di sebuah universitas ternama. Belum lagi kakak laki-lakinya yang baru saja kembali dari Inggris setelah menyelesaikan studinya dan sekarang menjadi penggelut dunia teknologi informasi.

Sarah sendiri merupakan siswi yang paling berprestasi di sekolah. Kerap dia diisukan memiliki kecerdasan super oleh para murid di sini. Yah, walau berlebihan, tapi sepertinya itu memang benar adanya.

“Bagaimana, mau tidak?” Sambung Sarah lagi.

“Emm ... bagaimana, ya?” Aku mengerling ke atas. Memastikan kalau aku tidak memiliki jadwal lain. Oh, ternyata tidak ada! Bagus! “Oke, deh. Deal!” kataku spontan yang sukses mengundang tawa Sarah.

***

Selepas dari toko buku, Sarah mengajakku untuk santai sebentar sebelum pulang. Menikmati sore di pinggir jalan raya kota sambil duduk-duduk ditemani es kelapa dan berbagai pedagang kaki lima yang ada di sini.

Hempasan angin dari lesatan kendaraan yang lewat menampar mukaku dengan polusinya yang pengap. Belum lagi rambutku yang panjang ini kerap ikut tertiup hingga menghalangi pandangan yang membuatku sewot sendiri. Tapi tidak apalah, yang penting aku bisa minum es kelapa yang enak. Gratis! Hehe ....

Kami berbicara mengenai banyak hal, namun yang menjadi fokus utama adalah Andi. Yah, sebetulnya aku merasa tidak nyaman membahas tentang apa yang telah terjadi di antara aku dan dia, tapi kupikir lebih baik mengesampingkan perasaanku ketimbang kami hanya diam-diaman saja.

Obrolan kami pun menemui akhirnya setelah aku, atau mungkin juga Sarah, sudah kehabisan topik yang bisa digoreng. Tapi, kupikir tidak apa-apa. Lagian, minuman kami sudah nyaris habis dan sebentar lagi juga Sarah pasti akan mengajak pulang.

Sambil menunggu, kurasa asyik kalau aku menebar pandangan ke sekitar. Barangkali ada sesuatu yang menarik yang bisa kutemukan. Atau mungkin, ada dompet jatuh. Siapa yang tahu, ya, kan?

Karena tidak mendapati apapun yang menarik, kupindahkan perhatianku ke trotoar di seberang. Beda dengan di tempatku berada sekarang, trotoar sana banjir dengan manusia. Saking penuhnya, kadang beberapa dari mereka harus bersenggolan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku berada di dalam aliran orang-orang itu. Melihatnya saja sudah terasa sangat pengapnya. Apalagi di tangga jembatan penyeberangan, yang saking ramainya membuatku ngeri sendiri karena terbayang dalam benakku bagaimana kalau tempat itu runtuh.

Ketika kulihat Sarah lagi, dia sedang sibuk mengetik di ponselnya sambil cekikikan sendiri. Dasar gila! Pikirku. Dan saat aku kembali ke seberang sana, aku melihat ada sepasang anak SMA sepantaranku berjalan beriringan, sambil bergandengan tangan pula. Mereka tampaknya tidak terganggu dengan arus manusia yang banyak sekali di sana. Sepertinya ungkapan ‘dunia milik berdua, yang lain cuma mengontrak' kalau sedang jatuh cinta ada benarnya juga.

Aku mengerjap. Menyadari bahwa pasangan yang tengah kuperhatikan itu telah membangkitkan lagi sebuah rasa dalam dadaku. Ah, sepertinya aku teringat lagi dengan orang itu. Orang yang demi dia, sampai aku dengan berani menolak Andi.

Kuletakkan tangan kananku di tempat hatiku berada. Rasanya hangat. Andai saja waktu itu aku sempat menanyakan namanya, mungkin aku tidak perlu berharap sangat lama seperti sekarang. Atau mungkin, aku bisa seperti pasangan tadi. Berjalan dengannya sambil bergandengan tangan dengan mesra.

Sadarku pun kembali dan dengan segera aku menggelengkan kepala dan menutupi mukaku yang panas dengan kedua tangan. Ah, sial! Apa sih yang aku pikirkan! Astaga Amanda! Apakah sebegini ngenesnya dirimu ini sampai berkhayal yang aneh-aneh?

“Hei!” Aku melonjak sampai setengah berteriak ketika Sarah tiba-tiba saja menepuk bahuku. “Kau kenapa, sih?”

Akibatnya aku pun jadi kelabakan. “A-Aku ... aku ... ah, tidak ada, kok! Suer!” Kataku sambil menyengir kuda dan memamerkan peace di kedua tanganku padanya.

“Dasar! Kau berkhayal lagi, kan?”

“Tidak, kok! Mana ada?!”

“Maaf saja, Nda. Tapi aku pernah melihatmu tidur di kelas sambil senyum-senyum sendiri.”

Apa? Aku? Jadi aku pernah mengigau di muka umum? Tidak! Itu tidak mungkin! Pasti Sarah cuma membual saja.

“Aku tidak ingat, tuh!” Protesku. Aku memang benar-benar tidak ingat, sungguh demi Tuhan, deh!

“Tentu saja!” Balasnya. “Mana ada orang mengigau yang sadar?”

Kata-kata itu, melayang bagai tinjunya Muhammad Ali. Mengenaiku telak sekali, membuatku diam seketika.

Panas di wajahku yang sempat hilang, kembali lagi, dan aku yakin pipiku sudah merah sekarang. Membayangkan bagaimana diriku tidur sambil senyum-senyum layaknya orang sinting ... Ahhhh! Ingin sekali aku lari ke tengah jalan dan membiarkan diri ditabrak sampai mati.

“K-Kalaupun benar, itu adalah hal normal ketika orang bermimpi indah!” Aku terus berusaha membela diriku meski aku sudah tahu kalau harga diriku sudah jatuh sampai dibawah nol dan Sarah tidak akan berhenti begitu saja.

“Normal katamu?” Sarah terkekeh. Entah kenapa perasaanku semakin tidak enak. “Kau itu kelihatan seperti orang mesum, tahu!”

Aku tersentak dan terdiam, lagi, kala hatiku tertusuk sesuatu yang tidak terlihat hingga tembus ke punggung. Aku sudah mati sekarang, serius. Dibunuh oleh ucapan temanku sendiri. Mesum ... tidak pernah kusangka aku akan disebut begitu.

Semua sudah berakhir. Harga diriku, benar-benar musnah tidak bersisa. Bahkan jiwaku pun pergi meninggalkanku.

“Amanda! Halo! Kau baik-baik saja, kan?” Sarah melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku tidak melihatnya sebab dalam pandangan mataku sekarang, hanya terlihat arwahku yang terbang menjauh sambil menangis tersedu-sedu.

Dengan segenap harapan hidup yang tersisa, aku mengangguk. Kemudian aku berdiri, mengenakan ranselku yang aku sandarkan di kaki bangku lalu berjalan lunglai meninggalkan Sarah sembari menatap kosong lintasan semen yang kupijak.

“Hei, Amanda! Apa yang kau lakukan?! Kau mau ke mana?!” Serunya dari belakang.

Aku berhenti dan menoleh lemas padanya. “Tidak ada. Aku cuma mau mati.”

***

Tidak seperti biasanya, malam ini aku lebih memilih berbaring di kasur setelah menyelesaikan semua tugas-tugas sekolah. Biasanya sih, aku akan bergabung bersama ibu dan kakakku menonton televisi sambil makan kuaci, tapi entah kenapa aku merasa lelah, jadi kuurungkan niatku.

Bahkan aku sudah siap dengan seragam alam mimpiku—piyama merah muda dengan totol-totol telapak kaki kucing. Ditemani guling kesayangan yang kini ada dalam pelukanku, kubiarkan letihku menghilang, dilarutkan oleh kelembutan seprei yang membalut pulau empuk ini. Hembusan angin sejuk yang berasal dari kipas angin ikut membantu diriku untuk segera menutup mata.

Mataku mulai berat dan ingin segera kupejam. Tapi sesuatu menghalangiku. Bayangan masa lalu tentang orang itu sekelebat muncul begitu saja, mengusir kantuk yang sudah bergelayutan di kelopak mataku dan membangkitkan lagi rasa yang sudah nyaris tidak bisa kutahan lagi.

Ah, andai saja aku bisa menemukan benda ajaib yang bisa mengabulkan keinginan, aku akan meminta untuk segera bertemu dengannya lagi. Melihat lagi rupa dan senyumnya yang manis, lalu kucurahkan semua perasaanku padanya.

Lagi-lagi aku tersenyum sendiri ketika tiduran. Kurasa aku memang mesum seperti yang Sarah bilang. Tapi aku tidak perlu khawatir dicap begitu karena orang-orang disekitarku mengenal diriku dengan baik , meski ya ... itu juga membuatku malu bukan main sebenarnya.

Omong-omong, kisah bagaimana aku bisa sampai jatuh cinta pada orang itu klise sebetulnya. Waktu itu aku masih seorang siswi SMP tahun ketiga. Sama halnya seperti remaja tanggung lainnya, aku terjebak dalam yang namanya cinta monyet dengan teman sekelasku.

Suatu hari, dia menyatakan cintanya padaku. Jelas, aku senang bukan kepalang, malah aku sampai dikira gila karena senyum-senyum dan tertawa-tawa kecil sepanjang perjalananku pulang ke rumah. Lagian, gadis mana yang akan tetap waras kalau ada laki-laki ganteng bak pangeran berkuda putih dari negeri dongeng yang mengungkapkan cinta pada perempuan jelata sepertiku? Untuk ukuran mimpi saja sudah kejauhan.

Sayang, semuanya tidak berlangsung lama. Meski bertampang pangeran, rupanya dia memiliki hati yang tidak lebih baik dari bangkai. Saat itu adalah hari ulang tahunnya dan aku berinisiatif untuk memberikan hadiah. Namun apa yang kudapat? Rupanya dia tengah bermesraan dengan gadis lain dan malah menyatakan perasaannya pada gadis itu!

Itu adalah saat pertama aku merasakan patah kaki, eh, maksudku hati. Rasanya sakit sekali, tidak bisa dijabarkan hanya dengan kata. Padahal cintaku tulus padanya, tapi dia malah mengkhianatinya. Seperti pepatah, air susu dibalas oli bekas.

Aku merasa gila sekali waktu itu, serius. Aku berlari menjauh dari tempat mereka berada sambil menangis seperti anak hilang malah tanpa segan aku membuang hadiah berupa coklat berbentuk hati yang harganya bisa dibilang cukup tidak masuk akal untuk anak seumuranku saat itu. Tidak ada yang bisa kupikirkan ketika itu karena akal sehatku sudah tertutup oleh emosi yang sudah diluar kendali.

Di momen inilah aku bertemu dengan orang itu.

Karena kegilaanku, aku nyaris mati ditabrak pemotor karena berlari menyebrang jalan tanpa lihat-lihat. Aku selamat karena dia menarikku sehingga kami jadi bertukar posisi dan akhirnya bisa ditebak, dia terserempet sampai kakinya terluka.

Dari sinilah, awal perasaanku mulai tumbuh.

Ketika kutanyai keadaannya dan meminta maaf, dia tersenyum dan tertawa pendek padahal saat itu dia tengah berada dalam rasa sakit yang teramat sangat. 'Tidak apa-apa, yang penting kau selamat', begitu ucapnya. Senyumannya sungguh manis, malah dengan melihatnya saja langsung membuatku merasa lebih baik.

Namun aku tidak pernah sempat mengenalnya lebih jauh, karena warga sekitar yang berkerumun untuk melihat apa gerangan yang terjadi, segera membawanya pergi untuk diobati. Ingin kususul dia, tapi sayangnya aku terjebak oleh sebagian dari orang-orang tersebut yang meminta penjelasanku soal peristiwa yang hampir membunuhku itu.

Sejak kejadian itu, aku merasakan perasaan aneh bergetar dalam hatiku. Setiap aku mengingatnya, wajah dan hati terasa hangat. Bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku sampai aku akhirnya menyadarinya.

Aku mencintainya.

Kuselipkan tangan kananku di bawah guling, lebih tepatnya kuletakkan di tempat hatiku berada. Ya Tuhan, aku benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan rasaku ini. Aku ingin meledak.

“Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?”

Aku berjanji, ketika saat itu tiba, akan kukatakan semua padanya. Aku tidak akan bilang ‘aku menyukaimu' atau ‘aku mencintaimu'. Tapi, aku akan berkata ‘aku sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat mencintaimu’.

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

lanjut tor

2020-11-14

3

lia

lia

sepertinya menarik😍

2020-08-05

0

Ayunina Sharlyn

Ayunina Sharlyn

next

2020-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!