Angin membelai pelan, menjamah kulit terasa dingin, suasana di depan SMA Pekerti masih diramaikan oleh manusia yang betah untuk tetap di sini. Dan betapa malasnya aku berhadapan dengan Kak Farka, menatapnya, bicara padanya, dua hal itu pun adalah sesuatu yang tak rela aku lakukan.
Tetapi dia malah melangkah mendekatiku, selain itu, seluruh pasang mata di sini masih menjadikan aku objek perhatian mereka, maka aku seketika bersedekap menyelingkan tangan, kubuat sikap sebongak mungkin, agar Kak Farka tahu, atau bahkan agar semua orang tahu, bahwa aku tak suka diganggu!
Saat jarak telah menyisakan satu meter untuk dapat bersentuhan, Kak Farka berdiri di sana, menatapku tapi aku memalingkan muka.
“Ayo kita bawa laki-laki itu ke mobil kakak, kita urus di sana.” tiba-tiba Kak Farka malah menawarkan sebuah bantuan untukku.
Jelas aku tak suka Kak Farka ikut campur, tahu apa memangnya dia soal masalah ini.
“Nggak perlu ikut campur!” tukasku tanpa memandangnya sedikit pun.
“Kakak ingin menawarkan kebebasan padamu ...,” balas Kak Farka menggantungkan kalimatnya sembari melangkah pergi.
“... kalau kau mau dapat menghukumnya sepuasmu, ikutlah kakak,” lanjutnya.
“Eh?” aku terperangah kaget dengan tawarannya.
Bahkan karena tawaran itu pula, yang tadinya aku muak dengan kehadirannya, justru kini kumulai merelakan mata biruku untuk menatapnya, Kak Farka melangkah ke samping sekolah, yaitu menuju tempat parkiran. Entah mengapa aku mulai merenungi perkataan Kak Farka, yang menurutku itu terasa adalah ide cemerlang, bagaimana tidak, jika aku hajar sang pelaku di sini, otomatis masyarakat pasti akan melerai, namun bila aku ikut saran Kak Farka, mungkin memang benar aku bisa menghukum sang pelaku sepuas mungkin. Niat awalku memang ingin menghajar pelaku di sini.
Butuh waktu lima detik untukku bisa menyetujui tawaran Kak Farka, ya, terlepas dari muaknya aku dengan Kak Farka, aku akan ikut dengannya.
Syukurnya sang pelaku tak menggunakan 'jurus seribu langkah,' yaitu kabur, dia masih berdiri di tempatnya semula dengan tangan kiri yang mengelus lehernya karena masih sakit, maka dengan geramnya, aku rengkuh bahu kiri sang pelaku, lalu kutarik dan kubawa ke tempat parkiran.
“He! Lo mau ke mana?” gadis teman sang pelaku telah berdiri dan berusaha menarik tangan kiri sang pelaku.
Tetapi dengan impulsif lengkap dengan kegusaranku, kurebut jus miliki sang pelaku, kemudian membanjurnya tepat ke arah gadis tersebut, bonusnya kulempar pula cangkir tepat ke kepala gadis itu.
“Sialan kau!”
Seragam gadis itu telah basah tercemari jus anggur yang keunguan, berdiri di sana dengan umpatan bertubi-tubi yang muncul dari mulutnya, kata-kata kasar pun tak luput untuk menjadi bagian umpatannya.
Aku membawa paksa sang pelaku secara kasar, sebab jelas orang ini tak mau ikut denganku, tepatnya tak mau dituduh.
Sedangkan orang-orang disekitar sekolah hanya terdiam bingung menatap ke arah kami tanpa bertindak apapun. Begitu pun dengan sisa murid-murid di sini, mereka menatap bingung pada kami.
“Lepasin gue!” sang pelaku mencoba melawan.
Namun tak semudah itu, meski secara realistis kekuatan laki-laki lebih besar daripada wanita, aku tetap mampu membuat laki-laki ini tak sanggup menunjukkan kekuatannya, dia meronta tetapi dengan kelihaian tanganku, dia tak bisa kabur.
Kak Farka telah masuk ke dalam mobil sedan hitam miliknya, kemudian aku buka pintu kedua mobil, dan kudorong masuk sang pelaku ke dalam mobil, disusul olehku yang buru-buru masuk ke dalam mobil.
Sedetik setelah pintu mobil ditutup, bahkan telah dikunci paten oleh Kak Farka, usaha kabur sang pelaku percuma belaka, maka tangan kananku langsung melayangkan tamparan keras ke pipi sang pelaku hingga berbunyi 'PLAK'.
“Laki-laki bedebah!” aku menghinanya.
Sang pelaku hanya tertunduk pasrah, tanpa ada balasan sedikit pun, hanya saja, kedua tangannya yang ditumpukan di pahanya tengah mengepalkan tinjuan geram.
“Untung lo cewek kalau bukan ...,” gumam sang pelaku yang jelas terdengar.
“Emangnya kalau aku perempuan kenapa ha?” selaku memandang jijik padanya.
Sang pelaku malah sengap, dia tertunduk pasrah.
Tiba-tiba mesin mobil menderu, betapa kagetnya aku kala mobil ternyata melaju, itu artinya aku harus meninggalkan Wisty sendirian di tempatnya, tetapi itu tak masalah, lagi pula aku bisa mengirim pesan lewat ponsel pada Wisty.
“Laisa, cepat selesaikan masalahmu, sebelum kita tiba di kantor polisi,” pinta Kak Farka.
Sontak sang pelaku langsung menghadapkan wajah ke depan pada Kak Farka, ia takut.
“Eh? Please jangan bawa gue ke polisi.” sang pelaku memelas.
“Aku mau dia dihukum di sini, terus nanti kita bawa ke orang tuanya!” tuturku menegaskan rencanaku yang sekaligus tak serius membawa pelaku ke orang tuanya, itu hanya sebatas gertakan saja.
“Jangan dong! Pleeease jangan bawa gue ke orang tua gue!” sang pelaku memohon dengan menginding.
Secara kesal kuarahkan jemari tangan kananku pada rambut sang pelaku lalu menjambaknya dengan gusar.
“Terus kenapa kau melecehkan temanku?!” usutku dengan menjambak rambut keriting sang pelaku.
“Adehduhduh ....” pelaku mengeluh kesakitan.
“Jawab bedebah!” desakku.
“Gue nggak tahu yang mana teman lo! Gue nggak melecehkan siapapun!” sang pelaku membela diri dan merasa tak berbuat kriminal.
Tetapi aku tahu, pancaran matanya telah menunjukkan kedustaan.
“Eh, jangan berbohong kau! Atau kau kubawa ke kantor polisi!” bentakku dengan niat terpendam memang akan membawa sang pelaku menuju kantor polisi.
Sang pelaku sengap, ia seperti menimbang-nimbang keputusan apa yang akan dilakukannya, ia bingung harus bicara apa, maka atas alasan itulah, kutarik lebih kuat lagi rambutnya.
“Adehdehdeh ....”
“JAWAB SEKARANG!” desakku.
“Iya! Iya! Tadi siang memang ada cewek yang gue mainin!” ungkap sang pelaku akhirnya berkata jujur.
Lalu aku lepaskan jambakkanku, memandangnya beberapa saat, karena agak terkejut dengan pengakuannya, keningku mengernyit tak menyangka, napasku naik turun secara impulsif, betapa teganya seorang anak muda seperti dia melakukan tindakan kriminal hanya untuk kesenangannya semata. Memang sih, aku pun pernah melakukan tindakan kriminal, tetapi tidak dengan segila itu, merusak kehormatan seseorang padahal orang itu baik-baik saja. Maka dengan begitu, jelas sudah, Wisty memang benar-benar dilecehkan.
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Sang pelaku tertunduk dengan raut muka serius, entah seperti apa pikirannya kini. Bahkan mobil terus melaju entah juga melaju ke mana.
“Kenapa kau berbuat begitu? Apa kau nggak malu dengan seragam sekolah yang meliputi tubuhmu?” tanyaku serius dengan pandangan tak menyangka.
“Gue nggak tahu harus ngomong apa, yang jelas, siang tadi gue emang niatnya minta tolong, kardus bekas itu dari SMA Pekerti untuk dibuat prakarya, kejadian itu berlangsung mendadak,” beber sang pelaku yang tertunduk.
Meski sang pelaku telah mengungkapkan kekejiannya, aku tidak serta merta mengampuninya, bahkan raut mukanya sama sekali tak menyiratkan penyesalan. Tetapi kini kedua tangannya mencengkram muka lututnya.
“Jadi semua berlalu begitu saja? Tanpa ada permintaan maaf, atau ganti rugi?” sindirku.
“Gue cuman meluk dia doang,” bela pelaku.
“Tanpa cinta dan kesiapan pelukanmu adalah pelecehan!” balasku membeberkan letak kesalahannya.
“Lagian ujungnya semua cewek itu pasti akan dipeluk juga kan?” pelaku lagi-lagi berusaha membela diri.
Sialan memang, semudah itukah lidah menciptakan kata-kata yang menyayat hati?
“Oh begitu ya ... lalu mengapa kau hidup kalau ujungnya mati juga? Apa jangan-jangan kau ingin aku membawamu menemui kematian?” aku membalas mengkritik keras cara berpikirnya.
Maka, kritikanku telah menyentuh pikirannya, sang pelaku langsung tertunduk merenung.
“He bedebah! Kau itu sudah mau memperkosa! Jangan membela diri kau! Dan berani-beraninya kau masih mau sekolah, kau nggak takut dengan polisi ya?”
Sang pelaku tertunduk sengap.
“Gue kira anak itu nggak berani ngomong masalahnya ...,” sangka sang pelaku.
Aku mengangguk-angguk paham. Beberapa orang memang akan memendam kejadian seperti ini sendirian, tanpa membicarakannya pada siapapun, karena mungkin kejadian seperti ini sangat memalukan.
“Oh, jadi kau kira, temanku akan diam memendam musibahnya, dan karena kau kira temanku akan diam jadi kau masih santai bersekolah ha?” tanyaku memastikan dengan alis terangkat.
Sang pelaku masih tertunduk sengap.
“Bedebah sialan kau!” ejekku.
Umpatan dan ejekkanku belum selesai, aku terus mencecarnya dengan ledekkan kasar, aku berusaha menyayat hatinya dengan kata-kata.
Tiba-tiba tangan kanan Kak Farka terangkat ke udara.
“Cepat selesaikan di sini, atau kakak bawa dia ke polisi,” pinta Kak Farka.
Bersamaan dengan perintahnya, mobil pun berhenti, dan dari pantauanku lewat jendela mobil, tempat ini ternyata adalah kebun belakang sekolah SMA Pekerti, kami berhenti di atas terotoar di depan kebun, kendati demikian, aku tak bertanya mengapa Kak Farka membawa kami ke sini, bahkan aku masih belum tahu apa yang tadi dilakukan Kak Farka di SMA Pekerti, yang jelas, ini kesempatanku untuk menegakkan hukum, karena bagaimana pun, balas dendam adalah bagian dari hukum.
“Oke, sekarang kau harus menerima ganjarannya,” kataku dengan menyeringai memandang sang pelaku.
“Sekarang kau pilih, mau aku gunting kedua telinga kau? Atau mau aku colok kedua mata kau?” sebuah tawaran hukuman pada sang pelaku yang terdengar mengerikan.
Sontak sang pelaku menoleh padaku dengan pandangan bergidik, ia bahkan berbuntang karenanya.
“Ta-ta ....” sang pelaku gelagapan begitu takut.
“Ya sudah kalau tidak mau,” kataku yang memang tawaranku tadi hanya untuk menakutinya saja.
Aku tidak akan menghajarnya, niatku sudah patah oleh rasa ibaku pada sang pelaku, tetapi, hukum harus tetap bekerja!
“Kak, tolong bawa anak ini ke polisi, dan buka kunci pintunya,” pintaku.
“Eh? Tolong jangan, gue nggak ma ....” meski sang pelaku memprotes keputusanku, aku tetap tak peduli.
Aku buru-buru keluar dari mobil, tak peduli dengan ocehan sang pelaku, syukur, dia wajib bersyukur, sebab aku tidak tega menggunting telinganya, tak tega pula mencolok matanya, kalimat pedas yang sempat muncul dari mulutku, bagiku sudah cukup, ditambah dirinya yang akan berhadapan dengan hukum, sehingga lengkap sudah manisnya menghakimi sang pelaku.
Aku lebih memilih membiarkan sang pelaku menghadap penegak hukum, ya, tak ada cara lain kecuali membawa masalah ini ke pengadilan.
Sebelum itu, aku mengetuk jendela kaca depan mobil sampai bersuara 'TUK-TUK-TUK'.
Jendela kaca pun perlahan turun terdedah, lantas aku agak membungkuk agar dapat menatap Kak Farka lebih jelas, dan kudapati Kak Farka masih duduk santai memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan.
“Kak, aku nggak mau tahu, anak itu harus masuk penjara, kalau nggak, proyek sekolah dihentikan,” pintaku dengan mengancam.
“Kalau begitu, siapkan temanmu untuk bersaksi,” balas Kak Farka dengan santai tanpa memandangku.
”Itu gampang, tapi aku ingin harga dirinya tetap terjaga,“ kataku mendesak.
”Iya ...,“ Kak Farka membalas dengan singkat dan tanpa memandangku.
Tepat, saat jendela kaca hendak ditutup lagi, saat mobil akan melaju, teringat ada hal lagi yang harus aku katakan, sehingga buru-buru kutangkupkan kedua tanganku di atas jendela kaca, mencegatnya.
”Tunggu Kak!“ desakku.
”Apa kakak bisa diandalkan?“ aku bertanya serius untuk memastikan.
”Sudah tenang, pokoknya kamu tahu beres,“ balas Kak Farka dengan yakin dan kali ini wajahnya menoleh padaku hingga kami saling bersirobok.
Kuturunkan tanganku, dengan jendela kaca mobil yang kembali tertutup, lantas mobil melaju pergi menuju kantor polisi terdekat. Selepas itu, Aku mengokohkan tas gendongku yang terasa longgar sembari menghirup udara segar penuh kedamaian. Benar, di daerah ini udara sangat segar dan pemandangan terlihat asri nan damai.
Kini aku hanya perlu menunggu tindakan Kak Farka, bahkan karena itulah, detik ini juga, aku justru bersyukur atas kehadirannya, Kak Farka bertindak cepat tanpa basa-basi, dia sudah mematahkan kegusaranku saat awal tadi bertemu, lebih-lebih dia cukup membantuku.
Aku telah berdiri di atas terotoar, mataku mengarah ke seberang jalan raya, tepatnya pada pemandangan persawahan yang terhampar luas, sedangkan di belakang tas gendongku adalah kebun yang rindangnya bukan karena pohon, melainkan rindang oleh semak belukar yang menyimpan kesan misterius dan menakutkan, dari ujung jalan hingga ke ujung jalan lagi, hanya kebun semak di belakangku ini menjadi pemandangan hijau penuh rahasia, suasana di sini sangat sepi nan dingin, oleh karena alasan itulah, tempat ini memang sangat rawan kejahatan.
Untuk saat ini, aku mengirim pesan pada Wisty agar menjemputku ke sini, dia membawa sepedaku jadi tak butuh waktu lama supaya kami bisa kembali bersua.
Tak menyangka bahwa masalah ini sudah menemukan titik terangnya, aku memang tak rela bila teman-temanku di sekolah terpuruk sendiri meratapi musibahnya, maka jelas sudah, aku siap turun tangan demi melayani temanku yang terkena musibah, hanya saja, aku tidak merasa ini sesuatu yang disebut tolong menolong atau sebatas kepedulian, aku lebih setuju jika apa yang aku lakukan hanyalah sebatas solidaritas sebagai murid kelas 12.
Selain daripada itu, banyak notifikasi pesan masuk yang kuterima dari ponselku, kebanyakan pesan adalah dari Anka yang merasa khawatir, lengkap bersama seluruh pesan dari murid-murid kelas 12, sedangkan pesan pun muncul dari suamiku, bahkan dengan tujuan yang sama, yaitu tentang kekhawatirannya, di sudut layar ponsel, waktu telah menunjukkan pukul lima tepat, betapa tak terasanya waktu telah berputar.
Aku berusaha membalas seluruh pesan masuk sebisaku, agar dengan begini mereka tidak khawatir. Di sini, di depan kebun yang tertutup semak-semak, aku masih berdiri sendirian, benar-benar sendirian, hanya pengendara bermotor saja yang sempat mataku lihat melintas di jalan, itu pun bisa dihitung oleh jari, bahkan tak ada siapa-siapa lagi yang melintas, pejalan kaki pun tak ada, tentu saja tak ada, jalan ini hanyalah jalan yang digunakan untuk alternatif saja, jadi bukan jalan utama menuju dua tempat, orang-orang akan berpikir dua kali untuk lewat sini, selain area yang sepi, jalan lurus ini memang terkesan angker bila malam tiba.
'KRING-KRING'.
Pada akhirnya, Wisty tiba di sini.
”Ketua, bagaimana?“ Wisty menyelidik masalah tadi sembari turun dari sepeda.
”Semuanya oke, pelaku akan di penjara,“ jawabku dengan serius sambil meraih setang sepeda.
Lalu aku menggantungkan tas gendongku ke setang sepeda, sekaligus mengambil alih kemudi sepeda, tepatnya menaiki sepeda.
”Eh?“ Wisty kaget mengetahui aku membawa masalah ini kejalur hukum.
”Sudah tenang, ayo naik, aku ceritakan di jalan,“ ujarku.
Wisty mengangguk paham, kemudian duduklah ia di jok penumpang, duduk menyamping.
'KRING-KRING-KRING'.
Bersama jingganya cahaya mentari yang menyorot, bel aku bunyikan tanda bahwa aku melaju pulang ke rumah, yang tentunya sekaligus mengantar Wisty ke kediamannya. Tapi antara penting tidak penting, aku baru tersadar, bahwa aku masih tak tahu siapa nama sang pelaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments