Pukul 10:11 pagi menuju siang, udara sejuk mengalun menjamah kulit senantanku, setiap pakaian yang telah aku lipat, aku taruh dalam keranjang kayu di sampingku.
“Oh ... sayangku.”
Tiba-tiba muncul suara Harfa dari belakangku, suara yang begitu lembut, membuyarkan fokusku pada pakaian, dia sudah bangun dari tidur lelapnya. Tanpa segan, Harfa duduk bersila di samping kananku, bukan itu saja, tangan kiri kokohnya merangkul bahu kiriku, jemari tangannya mencengkram erat bahuku, sampai-sampai aku harus tersandar ke dada tegapnya. Lebih-lebih suamiku sudah mandi, dia mengenakan kaus polo nuansa merah, lengkap dengan celana denim pendek nuansa biru gelap, bonusnya dia wangi bunga mawar hingga begitu menyengat.
“Hari ini, aku ingin ikut ke mana pun kamu pergi.” suamiku berusaha merayuku, bahkan nada bicaranya bagaikan anak manja.
Sepertinya dia merasa kalau aku masih marah soal kejadian kemarin, aku sih memang marah, dan hari ini memang masih marah.
Aku memasang muka biasa saja, mataku pun tetap fokus pada pakaian yang kulipat, sambil terus jemari lihaiku melipat serapinya baju-baju kami.
“Aku juga ingin sarapan nih ....” suamiku tiba-tiba membeberkan fakta laparnya. Dan aku menerka jika suara manjanya tadi hanyalah kedok untuk dapat menundukkan aku, sebenarnya aku tetap akan luluh juga tanpa perlu ada kosa kata atau nada suara merayu, toh aku tetaplah istrinya.
Sialnya, aku lupa memasak. Meski hari ini libur, jadwal masak untuk sarapan harusnya tetap terjadi, ya, kendati hanya roti yang menjadi bahannya, sarapan tetap harus ada. Akibatnya membuatku beringsut, hingga tangan kokoh suamiku lepas dari bahuku, sedangkan wajahku kuarahkan pada roman tampan suamiku, kupasang raut serius. Dan kami saling bersirobok.
“Eh, itu belanjaan, apa sudah sampai?” tanyaku serius mengingat aku sudah memesan banyak bahan pokok.
Suamiku mengurai senyuman hangat.
“Iya, semuanya sudah kutaruh ditempatnya,” ungkapnya dengan santai.
Setelah mengetahui kebenarannya, aku kembali ke posisi dudukku semula, dan empat pakaian lagi tugasku selesai.
“Nah ... kamu bisa masakkan?” aku bertanya dan lebih menjurus memintanya untuk masak sendiri.
“Ahk ... tapi sayang, aku ingin kamu yang masak,” jawab suamiku dengan menginding dan nada bicaranya masih lembut, memberi tanda dia tak mau memasak, atau mungkin dia menggodaku.
“Ya sudah, nanti setelah ini aku masak,” balasku tanpa banyak alasan, tentunya aku malas kalau suamiku mendeklamasikan puisi lagi, betapa tidak, puisinya aneh, mengerikan dan hanya sedikit yang bagus, sisanya jelek.
“Baguslah ...,” kata suamiku yang tiba-tiba nada bicaranya kembali normal.
“... aku tidur dulu, kalau sudah jadi, bangunkan aku ...,” lanjutnya dengan polos dan ia mulai berbaring dengan kepala yang ditumpukan pada pahaku.
Refleksnya aku langsung menaruh baju di sampingku.
“Eh! Kalau begini bagaimana aku melipat?” aku memprotes sembari menunduk memandang roman kaku suamiku, di sana, kelopak mata suamiku telah terpejam.
“Gampang, kamu gendong dulu aku ke kamar ... bereskan?” kata suamiku berkelakar.
”Wah kurang sehat kamu ...,“ balasku bergurau juga.
Suamiku lantas kembali bangkit, duduk bersila menghadapku, agak mengejutkan kala nyatanya kini dia malah bersikap serius, mata hitamnya memandang wajahku begitu dalam, seakan jiwanya menelusuk tubuhku. Jelas aku memandangnya juga, mengangkat kedua alisku karena agak aneh. Dua jengkal adalah jarak suamiku untuk dapat mengecupku kalau dia mau.
”Laisa ...,“ serunya dengan sungguh-sungguh.
Aku bergeming, jemariku ikut bergeming. Suasana mulai berubah senyap, angin terasa mengalun lembut, membelai pipiku dengan halus. Sepertinya ada yang akan suamiku lakukan. Benar saja! Secara impulsif wajah suamiku mendekat pada wajahku, dan suara 'cup' menjadi tanda bibir tipis kecokelatannya telah mengecup keningku. Mungkin ada tiga detik bibir cokelatnya itu melekat di keningku, meski rasanya, seperti sedetik dia mengecupku.
Sontak! Aku terpaku kaget tak menyangka, suamiku benar-benar mengecupku!
Lantas buru-buru Harfa bangkit berdiri, dan berlari masuk ke dalam rumah.
”Biar aku saja yang masak!“ seru suamiku dengan antusias.
Dan aku, masih termangu seperti orang dungu, kinerja otakku seperti redam, darahku terasa menghangat, hanya saja, aku kembali buru-buru melipat pakaianku, menelan salivaku, dan berusaha fokus kembali.
Itu memang hanya kecupan biasa di kening, sekali lagi! Itu kecupan biasa di kening!
Tapi kenapa jantungku terasa berdegup impulsif? Atau pipiku terasa merona, atau jemariku yang malah terasa bergetar, lebih dari itu, aku merasa senang.
Agak sulit untuk menceritakan detilnya perasaanku saat ini, karena, sudah satu tahun lebih suamiku belum pernah mengecupku, sehingga saat tadi ia mengecup keningku, perasaanku terasa berkantaran, menghangat seperti membutuhkannya.
Hanya saja, cukup bodoh kala nyatanya aku malah bertanya-tanya, apakah kecupannya tadi hanyalah sekadar formalitas semata, demi merayuku? Atau dia memang melakukannya karena dia memang menaruh kasih sayang padaku?
Kurengkepkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kananku, kusentuh keningku, mengira-ngira apa tadi Harfa benar-benar mengecupku.
Harfa memang mengecupku, aku bisa merasakan kehangatan bekas bibirnya.
Tetapi, buru-buru aku mengalihkan perhatianku, membuyarkan pertanyaan anehku, tak mau menganggap hal ini terkesan berlebihan, sampai tak terasa, seluruh baju telah rapi tersimpan di keranjang, maka buru-buru aku bereskan tikar sekaligus kembali ke dalam rumah.
Setiap langkah yang diambil kakiku, setiap itu pula pikiranku melambung dalam angan kecupan suamiku, kausa itu masih terpikirkan.
Karena terlalu malas untuk menaruh pakaian di lemari baju, tumpukkan baju di keranjang ini aku taruh di samping pintu kamar mandi kamarku, memang belum di-setrika, bahkan tak akan di-setrika. Baju terlihat rapi, itulah alasannya.
Hidungku telah menyenguk aroma wangi masakan suamiku, tetapi aku masih belum tahu apa yang tengah dimasaknya.
Dan detik ini juga, aku sudah duduk di kursi meja makan.
• • •
Piring sudah aku cuci, baju sudah dilipat, dan kini aku tinggal bersantap ria, membayar kelelahanku dengan masakan dari suamiku.
Ponsel pintarku menjadi temanku dalam menunggu suamiku selesai, kutatap layar ponsel dalam jarak sejengkal, jari jemariku bergerak teratur, mengetik autobiografiku, ya, aku melanjutkan autobiografiku, mengerjakannya dengan kesungguhan penuh.
Kata perkata yang diketik oleh kegesitan jariku telah mengantarku pada waktu yang lama, memakan waktu satu jam lebih di ruang makan, dan sekarang tulisanku sempat kujeda, membiarkan bola biru mataku menatap hidangan yang telah usai dimasak oleh suamiku. Salivaku tertelan, betapa tergiurnya aku pada santapan yang tersaji, membuat perutku berontak menjadi lapar.
Tepat, di atas meja kayu, telah tersaji tiga santapan yang menggoda batinku sekaligus menggugah seleraku. Dan Harfa berdiri di sampingku layaknya seorang koki yang hendak memperkenalkan masakan terbaik restorannya.
”Ini, Tempura Noodles ...,“ kata suamiku mengenalkan semangkuk tempura berkuah.
“... nah ini ... Chirashi Sushi,” lanjut suamiku mengenalkan semangkuk udang dengan jamur dan sebagainya.
“... dan terakhir Miso Sup,” imbuhnya mengenalkan semangkuk tahu berkuah keruh.
“Tiga masakan Jepang inilah yang akan kita nikmati,” pungkasnya
“Wah ... kamu tahu juga ya tentang masakan,” sanjungku menatap lekat-lakat pada tiga santapan di depanku.
“Ya, aku kan kerja di perpustakaan, jadi sekalinya lapar, buku-buku di sana menjadi pengganjal laparku,” balas Harfa dengan nenganalogikan.
Sebenarnya aku ragu kalau dia membaca buku, tetapi kalau membaca lewat internet, aku baru percaya.
Harfa lantas duduk di kursi di depanku. Tetapi entah seperti apa raut mukanya, aku terlalu fokus pada masakan Harfa, aroma masakannyalah yang membuatku betah memandang dengan lapar pada masakannya.
“Nah, sini biar aku membaginya,” kata Harfa berinisiatif, yang memang nyatanya aku agak bingung mulai dari mana aku menyantap hidangannya.
Mula-mula, aku diberinya setengah mangkuk Tempura Noodles, suamiku juga menyantap setengah mangkuk. Setelah berdo'a agak khidmat, aku mencoba menyesap kuah dengan sendok. Berusaha menereka rasa masakan suamiku lewat sesendok kuah.
“Bagaimana rasanya?” tanya Harfa memastikan.
Harus kuakui, suamiku jago masak, setiap paduan rasa yang melintas di lidahku, terasa begitu melekat, cita rasa gurih dan segar, membentuk kelezatan yang hangat di mulutku, rasanya sangat enak!
“Hem, seperti biasa, sekali masak langsung enak.” aku memujinya dan mengangguk sebagai penegasan bahwa tak ada keraguan sama sekali.
Bibir tipis kecokelatan suamiku mengurai senyuman simpul, ia bersyukur, dan tentunya bangga sebagai pria yang bisa masak. Hingga mulailah dia menyantap hidangannya.
Ya, aku menikmati sarapan yang terlewati dan telah menjadi makan siang ini, makan berdua seperti biasanya, tak ada yang bicara selama adat bersantap tengah berlangsung.
Hatiku dan pikirku, menggumam-kan betapa beruntungnya aku memiliki suami seperti Harfa, hingga jiwaku rela bertekad, akan tetap mempertahankan hubunganku dengan Harfa, tak akan aku lepaskan begitu saja, tak rela untuk ditinggalkan, dan akan aku perjuangkan dengan segenap hati agar dia selalu jatuh cinta padaku.
Waktu berbeleng seperti biasanya, mengganti angka dengan waktu yang seharusnya, ini adalah pukul 13:46 siang hari nan cerah, suhu agak hangat, dan seluruh santapan telah habis tak bersisa, perut telah terisi oleh santapan lezat ala suamiku tercinta, bahkan dengan inisiatifnya wadah bekas masakan kami, langsung dicuci olehnya.
Untuk saat ini, menonton film di ruang bioskop rumahku adalah hal yang selanjutnya akan aku lakukan, aku bangkit dari kursi, dengan menggenggam ponselku.
“Laisa, tunggu!” suamiku tiba-tiba memanggilku.
Aku berdiri memandangnya, mengangkat kedua alis, memasang raut muka tanya.
“Ayo kita duduk santai di teras belakang rumah, kita ngopi-ngopi santai.” suamiku bicara sambil mencuci kedua tangannya di wastafel cuci piring dan dia mengajak penuh antusias.
“Aku mau nonton film, malam saja ngopinya.” aku menolak mentah-mentah ajakan suamiku, lebih memilih menonton film.
Hingga saat aku hendak pergi, saat pandanganku telah beralih dari wajah suamiku, langkahku tersekat, terhenti karena suara perintah dari suamiku.
“Tunggu!”
Akibatnya, aku kembali menghadap padanya, dan kudapati Harfa tengah berjalan menghampiriku, raut mukanya hingga tatapannya tertuju tajam pada mataku.
“Apa kamu marah soal kemarin?” suamiku akhirnya bertanya dan telah berdiri tepat di depanku.
Sejengkal saja ia sisakan jaraknya denganku, tinggiku hanya sehidung suamiku, tetapi aku agak mendongak memandang durja eloknya, mata elangnya seperti memaksaku untuk jatuh cinta lagi, hingga saking dekatnya aku seperti merasakan aroma napasnya yang bercampur bersama parfum mawar-nya.
Kenapa lagi ini? Aku malah kembali teringat kecupannya di keningku. Kenapa juga aku harus teringat kecupan itu? Aku ini istrinya, jadi seharusnya tak layak aku seheboh ini.
“Aku memang marah, cuman, sekarang sudah nggak.” aku menjawab sejujurnya, lebih-lebih tatapanku masih melekat pada mata hitam suamiku.
Mata suamiku mengerjap, fokus bola matanya tetap pada bola mataku, raut mukanya serius, bibir cokelatnya terkatup rapat-rapat, dalam waktu lima detik dia menganalisis ucapanku, suamiku tak suka mendengar kebohonganku, dia bisa membaca kebenaran perkataanku. Itulah sebabnya, saat hendak mabal, aku akan bicara secara jujur. Untuk itu, aku juga tidak tahu mengapa suamiku bisa membaca pikiranku, atau mungkin hanya keberuntungan menerka-nerka yang dia dapat?
Namun jelasnya, dia mulai berkacak pinggang, bola matanya mengerling ke atas kanan pelupuk matanya -ada isyarat yang tidak aku tahu- Harfa seperti merenungi sesuatu hal, suamiku bahkan belum bicara sedikit pun.
Sepuluh detik telah aku rasakan kebungkaman ini, mungkin lebih dari sepuluh detik, sampai-sampai aku terlena pada pesona durja suamiku, memandangnya tak bosan, pikiranku membisikkan tentang Harfa yang sangat seksi dan gagah. Ya, aku sudah tahu itu!
Tetapi, untuk kali ini, rasa cintaku semakin bergema, betapa aku ingin memeluk tubuh bedegapnya, mendekapnya erat merasakan sensasi kehangatan tubuhnya, entah mengapa perasaan aneh itu muncul menjadi sesuatu keinginan.
Namun segenap perasaan itu diredam, oleh perasaan lain yang kekuatannya saling bersinggunggan dengan harga diri, yaitu gengsi, gengsilah yang membuatku meredam keinginanku.
Aku dan Harfa memang pasutri, kalau memang hanya ingin sebuah pelukan, apa susahnya untuk dilakukan, toh kita memang sudah saling cinta, kendati demikian, aku tetaplah anak muda yang terkadang merasa ingin diakui mudanya dan ingin menikmati hidup mudanya. Kesadaran akan 'ke-gadisan-ku' dan gengsi telah membuatku cukup kuat untuk tidak memeluknya. Pikiran dan perasaanku telah berlebihan, semuanya wajib aku bendung, sebab, itu hanyalah bukti, tentang secercah cinta yang tersimpan di dalam diriku, dan tak perlu diambil pusing begini.
Masih belum ada kata-kata yang mencuat dari mulut Harfa, menjadikan kakiku untuk bergerak karena mulai lelah, perhatian mataku mulai teralihkan, diriku hendak berpaling pergi. Tapi nyatanya, kala segenap tubuhku hendak meninggalkan suamiku. Aku terhenti oleh suara suamiku yang akhirnya bicara.
“Laisa, aku ikut.” hanya tiga penggal kata yang terucap, bahkan untuk permintaan itu suamiku harus memanggil namaku.
Tak ada komentar apapun tentang amarahku yang redam, dan itu tak masalah. Aku membiarkan dia ikut bersamaku, dan di sana, di wajah suamiku, mengembang senyuman profesional, sebagai tanda terima kasih karena sudah kuterima untuk ikut, tentu dia harus bersyukur untuk itu, karena niat awalnya aku hendak nonton film sendirian.
Hari Minggu ini, seperti hari minggu biasanya, aku dan suamiku menghabiskan waktu hanya berdua, menyaksikan film, karaokean, mengaji dan malamnya duduk berdua menatap layar kaca televisi, hanya menyaksikan acara TV yang difavoritkan oleh kami. Dan tidak jadi ngopi di teras karena kemalasan tengah melanda kami.
Memang seperti inilah kami yang selalu berdua, untuk perasaan jenuh, tak pernah sekali pun mencuat, karena bagaimana pun, duduk bersama orang yang dicintai, bagiku susah untuk mengalami kejenuhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments