Waktu pun memutar memberikan isyarat telah tiba saatnya jam pulang sekolah, pukul 14:14 siang hari nan cerah, awan layaknya kapas bertengger di langit biru, udara mengalun lembut membelai seluruh makhluk di kota Artana.
Bersekolah telah diselesaikan, murid-murid telah pulang.
Dan pada saat inilah, aku serta Wisty telah berdiri di seberang jalan di depan gerbang SMA Pekerti, menunggu seseorang yang diduga pelaku kejahatan yang bersekolah di SMA Pekerti. Aku sang ketua kelas akan membuat perhitungan pada sang pelaku hari ini juga, Wisty telah menjelaskan detil musibahnya lewat pesan ke ponselku, Wisty bercerita bahwa dirinya dipanggil oleh seorang laki-laki murid SMA Pekerti, -seragam serta logo menjadi sumber keyakinan Wisty bila anak laki-laki itu adalah murid SMA Pekerti- dengan alasan meminta tolong untuk membawakan beberapa kardus bekas menuju SMA Pekerti, dan dalam rayuan maut ditambah rasa empati Wisty yang tinggi, membuat Wisty mau membantu anak laki-laki itu, Wisty lalu dibawa ke belakang sekolah SMA Pekerti, ia dipeluk oleh laki-laki tersebut, bahkan hampir saja diperkosa, sebelum akhirnya Wisty berani melawan dan syukurnya ia lolos dari maut kejahatan sebelum kejahatan itu menemukan puncaknya.
Dan kali ini, sang pelaku akan mendapatkan ganjarannya!
Aku telah berdiri di depan Wisty, dan ia berdiri sembari memegang setang sepedaku, selain dia menjaga sepedaku, dia juga akan menunjukkan wajah sang pelaku. Suasana cukup ramai dengan para pedagang kaki lima yang berjejer rapi di depan sekolah, di SMA Pekerti memang membolehkan pedagang kecil untuk dapat menjemput rezeki di sini, berbeda dengan di sekolah SMA Lily Kasih yang tak segan-segan membawa para pedagang kejalur hukum bila mereka berani berdagang di area sekolah, kecuali bila adanya acara sekolah, hukum itu tidak berlaku.
Tetapi pemandangan hijau terhampar di belakang kami, pohon-pohon hijau rindang telah berjajar di belakang kami, dan kala angin bertiup, gemerisik dedaunan yang saling beradu seakan memberi kedamaian di sini, bahkan Wisty dengan sepedaku telah berteduh di bawah pohon bedaru, sesekali kendaran beroda menjadi pemandangan di jalan raya, dan mataku terpasang penuh waspada keseluruh penjuru area sekolah.
Murid-murid SMA Pekerti belum satu pun yang terlihat keluar sekolah, tentu saja belum, sekolah itu memiliki pelajaran tambahan atau kegiatan organisasi sekolah, yang acap kali mewajibkan mereka untuk tetap tinggal di sekolah, sehingga membuatku harus lebih bersabar menunggu kepulangan murid-murid itu, dan wajib aku syukuri jiwa marahku masih bisa diredam untuk bersabar.
Waktu pun berputar bersama kami yang berdiri tanpa pegal di sini, menunggu dan menunggu demi mendapat kesempatan bagus untukku menghajar sang pelaku, berkat kewaspadaanku ini, niatku untuk bermain gim ponsel menjadi sirna, bahkan aku telah siap bertahan di sini meski harus pulang larut malam.
Untuk suamiku belum tahu akan hal ini, lebih-lebih guru-guru di sekolah pun belum mengetahui musibah ini, aku memang ingin menutupinya sementara, hingga masalah ini tak sanggup aku atasi, tetapi aku cukup yakin aku bisa mengatasinya.
Angin mendadak berembus kencang, dedaunan berkerisik, rambut kremku tersibak tak beraturan diterpa angin, cukup membuatku harus menyiah rambutku agar tak mengganggu pandanganku, dan harus kembali bersabar menunggu kemunculan sang pelaku.
Maka terpaksa kami berdiri menanti bersama waktu yang lagi-lagi berputar menuju senja, memakan waktu satu jam lebih untuk kaki mulusku rela terpaku di sini hingga pegal, sampai kudapati Wisty mendeprok di rerumputan sambil fokus pada ponsel pintarnya, meski ia terlihat santai, wajah manisnya yang tanpa tangisan itu nampak masih terpampang kuyu, akibatnya rasa ibaku terasa melonjak kembali.
Aku tidak tahu persis bagaimana bentuk perasaan Wisty sekarang, tak tahu juga apa yang ada dalam alam pikirnya, bahkan niatnya sekarang pun aku tak tahu, hanya saja yang aku tahu adalah, Wisty berusaha kuat untuk tetap tegar menerima kenyataan pahit dihidupnya, itu semua terpancar dari mata hitamnya, ya aku yakin dengan itu!
Aku bisa saja merangsek masuk ke SMA Pekerti, atau bisa saja aku melapor pada para guru di sana, akan tetapi, aku tak mau membuang energi untuk itu, lebih-lebih murid itu pasti keluar juga dari sekolah, jadi lebih mudah untuk menghajarnya.
Terlebih notifikasi pesan masuk yang mencecar di ponselku sama sekali tak aku indahkan, sebab apapun yang terjadi aku wajib fokus membalas anak itu!
Aku berdiri berkacak pinggang, tak jenuhnya mata biruku mengawasi gerbang sekolah, berharap penuh, bahwa sang pelaku akan muncul.
Hingga langit mulai jingga, udara mulai mengalun dingin, kejenuhan mulai menjamah jiwaku, dan dipukul 14:20 sore hari, rasa jenuhku perlahan memudar, pandanganku mulai tajam, napasku mulai naik turun secara impulsif, emosi amarahku mulai bergelora. Ya, murid SMA Pekerti akhirnya mulai membubarkan diri, terbebar menuju kediaman mereka masing-masing.
“Wisty! Kemari cepat! Tunjukkan mana orangnya,” pintaku dengan tegas.
Tak butuh waktu lama, Wisty langsung buru-buru berdiri di samping kananku, ia mulai menyipitkan matanya, menatap lekat-lekat pada siapa saja murid yang muncul, dua puluh meter adalah jarak kami dengan gerbang sekolah untuk bisa mengacak-acak sekolah bila kami mau.
Manusia demi manusia telah melenggang pergi hilang dari pandangan kami, tetapi belum ada suara dari mulut Wisty yang menunjukkan batang hidung sang pelaku, aku pun terus memasang mata dan telinga penuh kesiapan, bahkan jemariku telah mengepalkan tinjuan.
“Itu anaknya!” kata Wisty tiba-tiba.
“... itu laki-laki yang pakai tas hitam, laki-laki tinggi, yang lagi beli jus ...,” lanjut Wisty dengan menunjuk-nunjuk sang pelaku yang masih ragu untuk aku pastikan.
“Yang mana sih?” aku benar-benar masih tak tahu.
“Itu, yang di tasnya ada tulisan Fak bich.” tegas Wisty.
Tepat! Aku sudah tahu mana orangnya! Seorang laki-laki yang sedang membeli jus anggur, malah, dia sepertinya tak sendirian, ada seorang wanita di sampingnya yang sama-sama membeli jus, kurasa dia kekasihnya, bisa terlihat dari keakraban mereka.
Dan laki-laki itu sepertinya tak menyadari kehadiran korbannya yang kini telah datang bersama orang yang akan menghukum sang pelaku.
“Wisty, tunggu di sini, biar aku yang menghukum laki-laki itu,” pintaku sembari melangkah menghampiri sang pelaku.
“Hem.” Wisty setuju disertai anggukkan mantap.
Aku melangkah buru-buru menuju sang pelaku, aku tak akan menghajarnya, sebab pepatah mengatakan bahwa 'lidah lebih tajam daripada pedang dan kata-kata bisa membunuh perasaan' maka mula-mula aku akan bermain sedikit dengan perasaannya, kata-kata akan aku gunakan menjadi senjataku.
Suasana masih diramaikan oleh para murid yang menyempatkan untuk berjajan.
“HEI TUNGGU!” seruku dengan selantang mungkin sampai-sampai seluruh mata manusia di sini memandangku.
Tetapi seruanku sama sekali tak menghentikan langkah kaki laki-laki itu, dia terus berjalan menuju arah jalan raya. Namun buru-buru aku tarik bahu kirinya sampai-sampai laki-laki tersebut memutar badan menghadapku, bonusnya perempuan yang jalan bersamanya, ikut juga memutar tubuhnya menghadapku.
Kini kami telah berdiri berhadapan dalam jarak satu meteran.
“Eh, apaan sih?” laki-laki itu mengeluh.
Wajah oval penuh jerawat dengan mata hitam belo lengkap dengan rambut pendek keriting, itulah gambaran penampakannya, dia bahkan memiliki tinggi yang setara dengan suamiku.
“Eh, ada bule,” ujarnya yang entah apa dia memujiku atau mengejekku.
Aku memang seperti orang luar negeri, tapi tidak tahu pasti apa ada garis keturunan orang luar atau tidak.
“Ada apa tadi lo narik bahu gue kasar banget?” usut laki-laki itu dengan nada santai.
Kami saling bersirobok, dan aku melangkah satu langkah ke belakang, sembari bersedekap menyilangkan tangan, kupasang raut muka jijik memandang laki-laki ini.
“Eh, lo dari SMA Pekerti ya?” tanya seorang wanita yang berdiri di samping kiri sang pelaku.
Dia gadis biasa, rambut hitam yang tergerai panjang hingga ke bahu, berkulit cokelat buah sawo, dan dia tidak lebih cantik ketimbang Wisty.
“Ya, aku adalah Laisa, ketua kelas dari kelas 12 datang kemari ingin bertanya,” ungkapku dengan memulai rencana.
Seragam SMA Pekerti dan SMA Lily Kasih hanya dibedakan lewat warna setelan bawah serta logo sekolah, SMA Pekerti memiliki warna setelan bawah berwarna biru pirus, sementara SMA Lily Kasih berwarna hitam, dan logo buku adalah milik SMA Pekerti, sedangkan pena bulu merak adalah logo SMA Lily Kasih.
”Tanya apa?“ balas wanita berambut hitam itu.
”Apa kau punya ibu?“ sebuah pertanyaan yang kulontarkan untuk sang pelaku, dan pandanganku begitu tajam pada wajah jerawat sang pelaku.
”Eh?“ Sang pelaku terkejut karena merasa aneh dengan pertanyaanku.
”Ya punya,“ lanjutnya menjawab pertanyaanku dengan tegas tetapi sikapnya masih santai belum sadar dengan berazam kehadiranku.
Aku tersenyum menyeringai, senang menyadari bahwa dia sudah masuk dalam perangkapku.
”Tolong katakan padanya, kalau dia sudah melahirkan kotoran ke muka bumi ini,“ sindirku tanpa segan.
Sontak sindiranku membuat dua manusia di depanku mengernyitkan kening memasang muka serius.
”Maksud lo apa?“ usut sang pelaku.
”Dengarkan dulu!“ sanggahku.
”Apa kau mau ibumu dilecehkan?“ kembali lagi aku gaungkan pertanyaan yang mengundang gejolak emosi, tetapi tujuanku adalah ingin melukai perasaannya.
”He, kenapa lo nanya aneh kayak gitu?“ wanita di samping pelaku mulai merasa ganjil.
”Jawab dulu, nanti aku kasih tau.“ aku bersikukuh untuk mendengar jawaban sang pelaku.
”Ya nggak maulah, aneh-aneh aja ....“ akhirnya sang pelaku bicara.
”Tapi apa ibumu tahu, kalau anaknya adalah seorang bedebah sialan?“ sekali lagi aku gaungkan kalimat paling menyayat hati dan semoga hatinya tersayat.
”He maksud lo apa sih ngomong kayak gitu? Lo cari masalah?“ sang pelaku telah tersindir.
”Nggak kok, tenang, tenang aja, aku cuman mau tanya ... apa ibumu itu setan sampai-sampai anaknya kok mirip banget kayak setan?“ lagi dan lagi sebuah kalimat paling menyayat hati aku gaungkan dan bahkan aku tetap bersikap santai dalam masalah ini.
Tiba-tiba si wanita mendorong bahu kananku merasa tak terima.
”He! Lo kalau punya mulut dijaga ya!“ hardiknya.
Aku bersyukur bahwa pepatah itu benar, kata-kataku dan lidahku telah berhasil bekerja sama dengan baik, hingga hasilnya cukup memuaskan. Ya, dua manusia di depanku mulai marah. Apa lagi si pelaku yang menunjukkan raut muka geramnya.
”Eh, kok pegang-pegang sih? Kamu temannya si setan ini ya?“ dengan santai dan senyuman di wajahku kusindir dua manusia itu di hadapanku, lebih-lebih aku menyapu-nyapu bahuku yang tadi sempat disentuh oleh gadis itu seolah-olah sentuhan gadis itu adalah kotoran.
”He! Apaan sih, lo emang cari masalah ya!“ hardik gadis itu kembali mendorong bahu kananku sampai aku mundur dua langkah ke belakang.
Beberapa manusia yang masih berada di sini mulai melirik ke arah kami, melirik penuh tanya dan masih belum tahu bahwa ada murid kurang ajar di depanku.
”HE! LAKI-LAKI INI SUDAH MELECEHKAN TEMANKU! DIA MELAKUKAN PELECEHAN SEKSUAL!“ aku menyentak gadis itu dengan mendorongnya pelan-pelan, tak lupa telunjuk tangan kiriku diarahkan pada sang pelaku demi menguatkan tuduhanku pada sang pelaku.
Dan berkat ucapanku itu, seluruh pasang mata milik manusia-manusia di area ini langsung mengarah pada kami.
”He! Dijaga ya kalau punya mulut! Lo jangan main fitnah gitu aja!“ bentak sang pelaku membela diri sembari mendorong bahu kiriku cukup keras, cukup membuatku mundur tiga langkah ke belakang.
Tetapi buru-buru aku melakukan jurus silatku, aku melayangkan satu pukulan mantap tepat pada tenggorokannya, sampai-sampai laki-laki itu membungkuk terbatuk-batuk mencengkram lehernya yang kesakitan. Dan secangkir jus anggur yang digenggam di tangan kanannya agak menciprat.
”Eh, sialan kau!“ umpat wanita itu tak menerima perlakuan kasarku pada sang pelaku.
Tetapi sayang, saat wanita itu hendak mendorongku lagi, secara refleks kutepis tangan kirinya dan secara impulsif kuarahkan kedua telapak tanganku pada dada gadis itu, membuat sebuah gaya dorong yang kuat, maka menyebabkan keadaan berbalik, justru gadis itulah yang terpental ke belakang hingga tersendam ke aspal. Doronganku yang ternyata seperti pukulan tak sanggup ditahan oleh kedua kakinya. Kini gadis itu terduduk di aspal dengan napas mendekus dan raut muka marah, bahkan lebih dari itu! Jus anggur miliknya telah tumpah semua.
”He kenapa itu kenapa?“
”Loh kenapa ini?“
Beberapa orang mulai mendatangiku, bahkan bertanya-tanya mengenai perbuatanku, kini kami menjadi pusat perhatian manusia-manusia yang hadir, namun masa bodoh dengan itu.
”LAKI-LAKI INI SEORANG BEDEBAH ....“ aku menunjuk sang pelaku namun teriakanku tersendat.
”CUKUP LAISA!“ tiba-tiba suara tegas seorang pria yang aku kenal memotong kalimatku.
Seorang pria yang sempat aku benci, seorang pria yang memintaku menulis autobiografi, Kak Farka telah berdiri di sampingku dalam jarak tiga meteran, penampilannya masih sama rapinya seperti pertama kali bertemu denganku mengenakan setelan formal nuansa hitam, rambutnya hitam klimis lengkap dengan pancaran karismatik yang terasa semakin cemerlang, dia berdiri menyelipkan tangan ke saku celana hitamnya, sembari memandangku dengan raut muka datar. Namun hal itu membuatku terperangah kaget menyadari kehadiran Kak Farka yang tiba-tiba.
Sialan, kenapa disaat begini orang itu muncul?
Ambil selembar uang dan biar kita bakar bersama
Makan sepotong keju dan kita muntahkan bersama
Berjanji sehidup semati dan kita khianati bersama
Tapi kau tak memahaminya Laisa
Maka tiuplah aku Laisa tapi kau malah menamparku
Atau berputar di sampingku Laisa tapi kau malah pergi
Maka ambilah nyawaku Laisa tapi kau malah membunuhku
Dan kau masih tak memahaminya Laisa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Alan Samsul
Susunan kata yang begitu menawan, aku suka setiap kata-kata yang teruntai membentuk kalimat yang tertulis di sini, sangat aneh tapi aku suka, terus juga alur cerita yang unik, penyusunan kata yang unik, aku juga malah penasaran sama lanjutannya.... kerenlah thor, saya sampai mikir apa maksud semuanya... meski masih gak tahu artinya apa, hehehe... tapi dari situ saya suka, pas dan kesannya sangat menarik, itu sih menurut aku thor, jadi jangan berhenti di tengah jalan, lanjut terus sampai akhir, jadi penasaran aku bisa terbayar, inget thor, lanjut terus!!!!!! aku mau baca sampai akhir pokoknya! soalnya aku suka cerita-cerita yang aneh tapi nyentuh gitu, buat emosiku naik turun....... semangat thor! maaf nih komennya malah kepanjangan hehehe....
Semangat Thor....
lanjutken!
2020-05-25
18