BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.

“Sepenting apa sejarah kita sampai adik kelas kita harus tahu kisah kita?” pertanyaan yang di luar ekspektasiku, aku tahu kalau dia menguji sejauh mana kecerdasanku, dia bijak jadi dia juga sudah tahu jawaban yang tepatnya.

Tapi, aku tak gentar, aku terima ujian Azopa!

“Kita punya peristiwa penting, yang selain bisa mengubah pola pikir adik kelas kita, kita juga punya pengalaman yang mampu menguatkan mental mereka!” jawabku dengan lantang penuh percaya diri.

“Pengalaman dan peristiwa? Pola pikir dan mental ya?” tanya ulang Azopa sambil menundukkan pandangan demi berkontemplasi.

“Hem.” aku anggukkan kepalaku dengan mantap, tanda ucapanku tadi wajib digugu.

“Tapi ... sejarah pahlawan bangsa, terasa lebih penting, kenapa mereka tidak membaca kisah-kisah itu saja?” tanya Azopa belum selesai mengujiku.

Dan karena pertanyaan itu, aku tergemap, seakan tak dapat berpikir jernih, sialan, aku bingung harus menjawab apa, pertanyaan Azopa memang ada benarnya, bahkan terbilang sangat tepat. Namun buru-buru kutarik napas ke paru-paruku, mengatur kembali ritme napas yang sempat tak tenang.

“Kita tidak bisa menyamai sejarah-sejarah itu, tapi, yang kita tuju adalah kedekatan waktu atau masa kita yang tidak jauh dari adik kelas kita, sehingga menciptakan relasi yang kuat dengan kehidupan mereka, membuat mereka merasa memiliki adanya teman seperjuangan, dengan demikian, sebuah semangat untuk bertahan hidup terbentuk, dan sebenarnya, tujuannya bukan untuk menyamai sejarah terdahulu, bukan pula untuk menyaingi, aku tegaskan, tujuanku untuk memyemangati adik-adik kelas kita, singkatnya, kita menulis sejarah demi mencatat betapa pentingnya sebuah kehidupan,” jelasku dengan lantang merasa benar.

Azopa nampak termenung beberapa saat, sampai akhirnya dia kembali bicara.

“Maaf ketua, jawabanmu tak tepat, semuanya memang benar, tapi, belum cukup untuk membuatku rela menulis autobiografiku, bagiku, kehidupanku tidak sepenting para pahlawan.”

“Tidak sepenting para pahlawan?” sindirku.

“Hem.” Azopa mengangguk membenarkan.

“Kalau begitu catat dalam sejarah, bahwa kau adalah bagian-bagian dari kisah para pahlawan! Itu sebabnya kau harus menulis autobiografimu!” pintaku berusaha membangkitkan interes.

“Maaf, aku lebih memilih membacakan kisah para pahlawan, ketimbang harus bersusah payah menjadi bagian dari para pahlawan, dan itu sama saja bagiku,” pungkas Azopa, dengan kembali duduk.

Aku hanya mampu membuang napas pasrah, sulit untuk mengalahkan argumen Azopa, tapi sepertinya, Azopa memang berniat memancing intelektualku, entahlah jelasnya seperti apa, toh aku masih bisa menerimanya, suasana kini jauh lebih sulit ketimbang suasana awal, kata-kata Azopa telah membuat teman-temanku di sini terhasut oleh argumennya, keraguan untuk menulis autobiografi mulai semakin kuat.

Vume, gadis perhitungan, si kutu buku, manusia berkacamata dengan rambut hitam panjangan yang tergerai hingga ke punggung, dia tertunduk merenungi benarnya ucapan Azopa.

Wisty, si gadis berambut hitam sebahu yang membingkai dengan manis wajah bulatnya, tampak tertunduk cemas, ia tidak tahu harus berbuat apa, tapi aku yakin, dia hanya ikut-ikutan teman-temannya, yaitu, tidak untuk bicara.

Perto, si laki-laki melankolis, pria berkulit hitam, berwajah kaku tapi dia sangat melankolis, ikut terhasut oleh perkataan Azopa, sampai-sampai dia tertunduk.

Semua murid termenung menimbang-nimbang keputusan apa yang terbaik untuk diambil.

“Hei! Ayolah teman-teman! Ini hanya proyek sekolah, kenapa begitu sulit untuk ikut bergabung, ini seperti menulis buku harian!” Desak Anka mulai meradang kesal, pandangannya ia arahkan keseluruh teman-temannya berharap semuanya ikut bergabung.

“Iya! Ini proyek sekolah, kita semua harus menulis, kalian hanya perlu menceritakan awal kehidupan kalian, jika pun itu aib, kalian boleh menyamarkan diri kalian, atau ceritakan saja kehidupan bahagia kalian. Dan ini sebenarnya perintah Guru Sukada,” timpalku memperkuat gagasan Anka.

Keheningan masih merebak, menghabiskan waktu tujuh detik, untuk kemudian Ovy mengacungkan tangan kanannya, membuat seluruh perhatian kini terjatuh pada Ovy.

“Maaf, kalau memang perintah dari guru, sebaiknya kita panggil juga guru ke sini,” saran Ovy hingga terkesan memberi suatu pencerahan terbaik dalam otak setiap murid.

Beberapa murid mulai mengiakan perkataan Ovy, yang memang kesannya itu suatu kejeniusan.

Dan karena beberapa temanku yang mendesak untuk memanggil Guru Sukada, maka terpaksa, aku meninggalkan kelas menuju ruang Guru, sebenarnya ruang Guru tak begitu jauh, tepatnya, berada di sebelah kelas 12, akan tetapi, sebuah pohon mangga menjadi pembatas antara ruang Guru dengan kelas murid, dekat pula dengan gerbang sekolah, ruangan yang bernuansa putih abu dengan 4 meja guru yang dikotori oleh berkas-berkas sekolah, ruang ini cukup luas, lemari-lemari di sini terkesan antik, betapa tidak, sejak pertama sekolah ini dibangun, lemari kayu jati itu telah ada menemani berkas-berkas penting di dalamnya. Meja Guru Sukada berada di ujung ruangan, dengan menghadap pintu masuk kedua. Aku mengetuk pintu yang sudah terbuka bertujuan demi kesopanan, dan Guru Sukada tengah membaca sebuah buku di mejanya, entah jenis buku apa, setidaknya sampul buku merah itu sangat kontras bila dibandingkan dengan nuansa yang ada di ruangan ini.

“Permisi guru.” aku berusaha memanggil Guru Sukada dengan sopan masih berdiri di ambang pintu. 

Guru Sukada menatap ke arahku, ia menutup buku sekaligus menaruhnya di mejanya.

“Oh ... ayo silakan ...,” kata Guru Sukada mempersilakan.

Aku melangkah masuk ke dalam ruang Guru, sembari mengarahkan segenap sorot mata yang bisa aku pandang demi mengetahui siapa saja yang ada di ruang Guru, faktanya, tak ada siapapun, kecuali Guru Sukada, dan aku adalah bonusnya.

“Ada apa Laisa?” tanya Guru Sukada dengan tersenyum.

Aku sudah berdiri di depan meja Guru Sukada, melihat Guru Sukada terduduk santai di kursi beledunya, wajah polosnya tetap menyiratkan bahwa beliau orang yang pintar tetapi kacamatanya memberi kesan bahwa beliau pria culun.

“Tadi, aku sudah mengajak teman-teman untuk menulis autobiografi, lalu ... mereka meminta saya untuk memanggil guru ... tujuannya mereka ingin tahu langsung kalau menulis autobiografi itu perintah guru ...,” tuturku sejelas mungkin, berharap Guru Sukada mau turut ke kelas 12.

Guru Sukada sempat mengangguk-angguk mencerna maksud ucapanku sebelum akhirnya ia bicara.

“Ya, berarti, mereka belum percaya dengan ucapanmu? Atau mereka mencari kebenaran ucapanmu?”

Betapa anehnya pertanyaan Guru Sukada, hingga aku harus mengernyitkan kening, merenungi matang-matang berazam apa yang dicari Guru Sukada.

“Mereka mencari Guru Sukada, katanya ingin mengetahui langsung dari guru,” jawabku polos.

Lagi pula aku benar-benar bingung mengapa Guru Sukada malah bertanya lagi, bukankah dia yang menginginkan tugas ini?

“Hehehe ... kamu ini,” gumam Guru Sukada malah menertawai jawabanku.

“Begini saja, suruh teman-temanmu yang mau ikut proyek sekolah untuk datang kemari, atau mereka yang ingin tahu kebenarannya suruh datang kemari, biar guru yang menjelaskan, dan kalau mereka tak ada yang mau, kamu saja yang menulis,” lanjut Guru Sukada menyarankan.

Namun aku sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya aku mengangguk mengiakan, lantas pamit untuk pergi.

Aku cukup senang dengan keputusan Guru Sukada, ya, walaupun guru tak mau datang, tapi setidaknya dia sudah memberi saran terbaiknya.

Dan sesampainya aku di dalam kelas, yang kembali berdiri di depan papan tulis, menghadap teman-temanku, memasang muka serius, lengkap dengan kepercayaan diri nan tinggi, yang hebatnya teman-temanku masih duduk manis di bangku masing-masing, begitu pula dengan Anka, sudah kembali duduk.

Tanpa basa-basi aku langsung jelaskan apa yang tadi diminta Guru Sukada pada seluruh murid-murid, selesai aku menjelaskan, nampak sekali dari raut wajah mereka menyiratkan tanya, bahkan lebih dari tujuh detik mereka masih termenung menimbang-nimbang penetapan apa yang layaknya diambil.

“Woy! Ini cuman nulis doang, kok mikirnya kayak lagi ngerjain TTS aja sih ...,” sindir Anka dengan selantang mungkin berharap teman-temannya secepat mungkin mengambil keputusan.

Kendati Anka sudah menyuarakan keresahannya, teman-temannya masih sengap.

“He ... cuman nulis doang!” imbuhnya mendesak.

Terdiam dan menunggu adalah perbuatan yang kini bisa aku lakukan, tak apa juga bila teman-temanku memutuskan untuk tidak ikut andil dalam proyek ini, bagaimana pun ini bukan sebuah pakasaan, atau tepatnya kewajiban. Pada akhirnya, detik kedua puluh menjadi akhir renungan teman-temanku, tapi sayang ini bukan hal yang bagus, sebab, Anterta telah berdiri mengenakan tas gendongnya, dan tanpa sopan santun, tanpa berpamitan, dia melenggang pergi meninggalkan kelas.

Kurang ajarnya, dia memasang muka datarnya itu, melenggang di hadapanku bagai aku tak pernah ada.

Malah, tak lama berselang, Stovi si gadis babil pun ikut pergi tanpa ada kata perpisahan, dia bahkan tak menatapku sama sekali.

“Maaf ketua kelas, saya tidak bisa ikut, Azopa benar, dan ... maaf saya tidak bisa,” kata Elpan lalu beranjak untuk pulang.

“Saya malas menulis.” Oteda berkata dengan singkat dan dia pergi.

“Aku nggak bisa menulis autobiografi.” Sentia menimpali ikut pergi.

“Maaf, aku nggak punya waktu untuk itu.” Kily pun pergi.

“Ma-maaf ketua kelas, aku, aku nggak bisa menulis.” Oqde pergi.

“Maaf, aku nggak bisa, soalnya kesannya kayak aneh aja gitu, nulis autobiografi untuk adik kelas? Bener-bener nyeleneh.” Nuita juga pergi.

“Aku tidak mau ikut, itu bukan tugasku,” ketus Tozka, yang pergi juga.

“Maaf ya, sebenarnya, Ovy mau aja ikut, tapi, Ovy mau bertanya langsung sama Guru Sukada-nya.” Ungkap Ovy pergi namun sepertinya dia ingin menyempatkan untuk bertanya terlebih dulu pada Guru Sukada.

“Aku nggak bisa ikut.” Loze pergi tanpa alasan yang jelas.

“Maaf aku nggak bisa.” dan tanpa alasan jelas Cludy juga pulang.

“Saya belum berminat, sampai jumpa lagi.” Azopa pulang, dia juga menolak, akan tetapi, dia seperti menegaskan butuh waktu untuk menimbang-nimbang keputusannya, tepatnya menunggu kejelasan kata-kataku.

Vume dan Verto ikut pula untuk pulang, mereka juga tidak berminat bahakan alasannya juga tidak jelas.

“Aku nggak tahu harus berbuat apa, kalau nulis autobiografi aku takut salah, jadi maaf ya, aku mau pulang aja.” Wisty pun menjadi orang terakhir yang menutup kepastian bahwa tak satu pun teman-temanku yang bergabung.

Jadi muktamar ini gagal meraih satu orang pun untuk bergabung dalam proyek sekolah, dan aku hanya sanggup menerima semua kenyataan ini dengan berbesar hati, sungguh tak masalah, sekali lagi ini bukan kewajiban.

Silir angin meniup pelan, merasuk ke dalam kelas, membuat suasana sesejuk mungkin.

       Kini kelas 12 telah kosong, seluruh murid kecuali aku dan sahabatku masih berada di sini.

“Haah ... padahalkan ini proyek sekolah, ketimbang nulis doang apa susahnya sih ya,” keluh Anka terduduk dengan muka kecewa.

Aku pun merengkuh tas gendongku, tak ada komentar dariku, sekali lagi, aku sudah menerima semuanya, dan tak ada sakit hati sedikit pun, tetapi entah bagaimana perasaan Anka sekarang, dia memang agak kecewa, tetapi hanya itu yang aku tahu, kemudian bersama Anka aku bergegas untuk pulang.

       Di pukul 16:30 senja menuju malam, langit jingga nampak membentang bagaikan simbol keindahan hari ini, udara sejuk mengalun lembut menelusuk kota Artana ini, kukayuh sepeda dengan santai, menikmati setiap embusan udara yang melingkupi senja ini, menelusuri jalanan yang mulai ramai dengan manusia-manusia yang berlalu, dan kendaran roda dua dengan roda empat menjadi bonus pemandangan pulangku, langit senja yang cerah, terasa membangkitkan perasaan gembiraku, membuat bayang-bayang dalam alam pikirku, bahwa kesempurnaan hidup benar-benar telah aku capai, hari ini, aku bersyukur penuh pada Tuhan-ku, takdir yang aku miliki begitu sempurna, aku punya kehormatan, punya sahabat baik, punya pasangan hidup paling pengertian, itulah yang mengasaskanku berani menyimpulkan bahwa hidupku sempurna dan memang harus diakui, seperti itulah sempurna. Begitulah pikirku.

Hingga perjalanku telah menemui ujungnya. Aku telah tiba di rumahku. Sepeda telah terparkir di garasi, dan aku telah duduk di bibir kasur, sambil memeriksa ponsel pintarku, tas gendongku pun telah kugeletakkan di lantai keramik di samping kasur.

Tak banyak yang menarik di kamarku, hanya potret mesraku dan suamiku yang menempel di dinding bercat putih di samping kasur, itu satu-satunya interior yang menghias dinding, lampu dinding tidak termasuk, kamarku bernuansa putih cokelat, aku punya dua lemari pakaian di samping pintu kamar mandi, satu lemari untuk baju main, sedangkan satunya lagi untuk pesta, yang memang seluruh pakaianku sangat jarang aku kenakan, apa lagi aku punya meja rias dan saking tak pernahnya aku gunakan, debu menjadi bukti betapa malasnya aku untuk bersih-bersih, sedangkan lemari suamiku berada tepat di samping meja riasku, dia juga jarang mengganti pakaiannya, bonusnya kami punya meja laci di samping kasur. 

Kali ini, aku kembali melanjutkan autobiografiku, masih banyak yang belum tertulis, seperti halnya aku yang pernah adu jotos dengan seorang bapak-bapak, karena dengan santainya bapak itu hampir melakukan pelecehan seksual padaku, ditambah lagi, aku yang pernah membuat seorang pelayan restoran masuk rumah sakit gegara aku mematahkan tangan kanannya, itu juga terjadi karena laki-laki itu bicara tak sopan, yang jelas, banyak pengalaman hidupku yang sepertinya layak ditulis, meski nyatanya aku sendiri tidak tahu harus berapa jumlah kata untuk ditulis, sehingga menerka-nerka saja, bahwa semuanya kutulis secukupnya. 

Menulis autobiografi hingga suamiku pulang adalah yang sudah aku lakukan, hanya saja autobiografiku belum sempat rampung, tentunya karena kali ini sebagai istri yang baik, aku harus memasak di dapur, menyajikan sebuah masakan yang membuat suamiku tercinta selalu jatuh cinta padaku.

Dia suka sup ayam dan itulah yang kali ini akan aku masak.

Terpopuler

Comments

Li Na

Li Na

like

2020-06-28

0

Bebe

Bebe

Halo, Kak ^^

aku mampir nih, jangan lupa melipir ke karyaku juga yaa, kritik dan saran sangat aku butuhkan

2020-05-15

0

lihat semua
Episodes
1 PROLOG.
2 BAB 1: INILAH AKU ....
3 BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4 BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5 BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6 BAB 5: HARI MABAL ...
7 BAB 6: PESTA ...?
8 BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9 BAB 8: HAHAHA ....
10 BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11 BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12 BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13 BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14 BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15 BAB 14: CACAT LOGIKA?
16 BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17 BAB 16: DILECEHKAN ...?
18 BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19 BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20 BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21 BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22 BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25 BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28 BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31 BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58 EPILOG.
Episodes

Updated 58 Episodes

1
PROLOG.
2
BAB 1: INILAH AKU ....
3
BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4
BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5
BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6
BAB 5: HARI MABAL ...
7
BAB 6: PESTA ...?
8
BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9
BAB 8: HAHAHA ....
10
BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11
BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12
BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13
BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14
BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15
BAB 14: CACAT LOGIKA?
16
BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17
BAB 16: DILECEHKAN ...?
18
BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19
BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20
BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21
BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22
BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25
BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28
BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31
BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58
EPILOG.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!