BAB 14: CACAT LOGIKA?

         Kala iris biruku terpaku pada seluruh kawan-kawanku, memandang dengan aneh nan senang, ponselku yang berada dalam saku kanan rokku mendadak berbunyi, memberi tanda adanya pesan masuk, tentu dengan penuh tanya kuambil ponselku.

Dari Guru Sukada: “Bagaimana? Apakah semua teman-temanmu membaca buku? Kamu terkejut dengan itu?”

Eh? Pesan Guru Sukada benar-benar ganjil, seakan guru tahu jika teman-temanku benar-benar membaca, tunggu dulu, ada notifikasi pesan lagi, dan itu dari Guru Sukada!

Guru Sukada: “Coba lihat mereka, ketua kelas, mereka semua menaati perintah guru tanpa ada yang berlari kabur, mereka menghormati gelar guru yang bapak sandang, lalu bagaimana denganmu? Mengapa gelar ketua kelas yang kamu sandang tak mampu membuat mereka menaati perintahmu?”

Eh? Kalimat ganjil lagi, akibatnya keningku harus mengernyit terheran-heran dengan pesan Guru Sukada, apa maksud perkataannya itu?

Otakku kembali dipompa lebih giat lagi untuk bisa menemukan berazam Guru Sukada.

Aku membalas: “Apa maksud guru?”

Guru Sukada: “Laisa, apa kamu mengira gelar ketua kelas yang diberikan Azopa hanya kesenangan semata?”

Ya Tuhan, sungguh suatu pertanyaan yang membingungkan, sampai-sampai kugaruk belakang kepalaku akibat kebingungan ini. Aku benar-benar tidak tahu maksudnya dan guru tak menjawab pertanyaanku sama sekali. Jadi mengirim pesan kembali adalah ide yang cemerlang.

Aku: “Guru, maaf, aku nggak tahu maksud guru itu apa?”

Butuh waktu satu menit untuk mendapat balasan dari guru.

Guru Sukada: “Laisa, apa kamu tahu penyebab teman-temanmu mau membaca buku? Apa kamu tahu mengapa mereka tidak mau mengikuti perintahmu untuk menulis autobiografi?”

Lagi dan lagi, mengapa kali ini Guru Sukada malah mempertanyakan hal yang membuat rasa malasku untuk tersingkap sejenak, hanya demi pertanyaan konyol itu, sesuatu yang sama sekali tidak penting menurutku.

Aku membalas: “Jadi ... apa yang harusnya aku lakukan?”

Aku telah putus asa dengan pertanyaan Guru Sukada.

Guru Sukada: “Coba cari jawaban dari pertanyaan guru tadi, semua jawabannya sebenarnya ada pada temanmu.”

Aduh, lagi-lagi, kalimat yang sukar untuk aku terima. Tetapi, bagaimana pun aku juga penasaran mengapa teman-temanku rela mengikuti perintah Guru Sukada padahal ini bukan jam pelajaran.

Satu hal yang penting, aku takjub bahwa di ruang bawah tanah ini sinyal ponsel masih kuat, entah mengapa bisa begini.

Semenit lebih telah aku lewati dalam renunganku, diam bagai patung lilin, masih memandang teman-temanku penuh keheranan, mereka masih asyik membaca buku autobiografi alumni sekolah ini. Aku memasukkan ponselku pada saku rok sekolahku, berniat juga untuk membaca salah satu buku yang terdapat di sini.

Seluruh tas gendong sebenarnya masih ditaruh di kelas, sehingga kami tak kerepotan dalam bergerak.

Lemari setinggi dua meter, lebar tiga meter, tak ada nomor lemari seperti di lantai atas, tetapi aku terus melangkah ke tengah ruangan, di mana lemari tengah ini telah dipenuhi puluhan buku. Aku menilik satu persatu buku dengan rasa penasaran tinggi, aku memang tidak suka membaca, hanya saja, rasa penasaranku membuatku tergerak untuk mulai membaca.

Waktu mendorongku untuk bergegas mengambil buku, maka tangan kanan halusku kuarahkan pada sebuah buku di tengah lemari, meraihnya dan menatap judul buku yang tertera di sampul depan halaman.

'BINTANG MATAHARI', judul yang cukup membuatku tertarik untuk membacanya, interesanku bertambah saat menyadari bahwa buku ini bersih tanpa ada debu sedikit pun, begitu pula dengan buku yang lainnya.

Kubuka halaman awal buku lalu mulai kubaca:

Kenalkan, aku adalah Cakrawala, sobat-sobatku menyebutku sebagai Gurat, ya, satu gurat untuk dikenang satu gurat untuk dimaki, diberikannya julukan itu karena setiap aku bertarung, coretan tinta merah pulpenku akan terlukis di kening lawan-lawanku.

Aku hanyalah seorang laki-laki bodoh yang tak suka belajar di sekolah, aku datang ke bangunan sekolah ini, hanya untuk menunjukkan formalitas terhadap budaya dunia saja, hampir setiap hari aku tidur di kelas, tak ada siapapun yang berani membangunkan aku, bukan mereka takut, hanya saja mereka jenuh terhadap sikap lancangku.

Bahkan Dewi sang ketua kelas pun telah jenuh terhadap kelancanganku, sang ketua kelas yang cerewet, sampai aku menduga cerewetnya itu bisa dibuat sebuah buku.

Hanya saja, perlakuan Dewi terhadapku sangat istimewa, ya, seorang ketua kelas, sang juara kelas berturut-turut, wanita yang begitu pintar, telah jatuh cinta pada laki-laki degil sepertiku.

Suatu ketika, kala aku hendak pergi mabal, aku dipergoki oleh Dewi.

“Cakrawala ... jangan mabal! Ikut aku ke sekolah!”

“Aku tidak bisa diperintah oleh siapapun, jadi pergilah.” Tukasku.

Tapi, degilnya sang ketua kelas yang sama sepertiku, membuat dia terus mendesakku untuk ikut ke sekolah, sampai-sampai dia terus menarik-narik tanganku. Kami bercekcok, benar-benar terjadi percekcokan yang sengit, hingga secara refleks, tangan kananku yang kuat menampar Dewi cukup keras, cukup untuk membuat dia bersenderut dan berhenti memaksaku.

Tetapi sialnya, kala tubuhku hendak berpaling pergi, langkahku tersekat oleh perkataan sang ketua kelas.

“Kamu itu nggak ngerti ya! Aku maksa kamu itu karena aku sayang. Aku ... sayang sama kamu.” Ungkap Dewi yang akhirnya bicara blak-blakan.

Saat itu, aku menyeringai mengejek pengakuannya, aku hanya tak suka, itu saja.

“Ha? Sayang? Apakah dengan rasa sayang itu aku harus menuruti perintahmu?” Sindirku.

Namun, Dewi pergi begitu saja, tanpa ada kata terucap dia tak lagi memaksaku.

Semenjak itulah perilakunya padaku berbeda, Dewi, gadis manis yang memiliki keluarga hancur, yang bertahan hidup sendirian, bekerja di kafe demi memenuhi kebutuhan hidupnya, sang ketua kelas, yang kini malah nampak bodoh dihadapan cinta.

Cintanya padaku mengantarkannya pada gerbang awal kebebasannya, ya, acap kali ada tugas sekolah, aku selalu meminta Dewi untuk mengerjakannya, lebih dari itu, apapun yang aku mau dia akan memberikannya, mungkin saja bila aku meminta jiwanya, dia juga rela memberikannya.

Seluruh murid telah mengetahui perasaan ketua kelas padaku, sampai-sampai aku dimarahi oleh teman-temannya karena telah memperlakukan Dewi semena-mena bagaikan seorang jongos.

Ya, aku pernah mendengar Dewi menangis karena aku, akan tetapi, aku tetap tersenyum santai menikmati masa mudaku, tak peduli cinta, tak peduli pintar, tak peduli harta, yang terpenting kebebasan mudaku masih bisa aku hirup.

Hingga waktu terus berputar bersama cinta Dewi sang ketua kelas yang belum terbalas, namun tetap setia menjadi keset buat kakiku. Aku kejam dan naif, kendati demikian, begitulah hidupku. 

Kala malam hari melingkupi kota, sehari setelah kelulusan berlangsung, aku mengajak Dewi untuk menikmati kelam malam di kelas 12, hanya duduk berdua di atas meja, duduk saling bertatap muka.

“Ini, nikmatilah asapnya bersamaku.”

Aku menyodorkan sebatang rokok pada Dewi, dan dengan senang hati ia menjawat rokok itu. Kami pun menikmati rokok masing-masing, menikmati asap yang mampir di mulut kami, saling memandang lekat-lekat pada wajah itulah bonus nikmatnya.

Setelah sebatang rokok telah habis terhisap, setelah waktu menikmati rokok telah sirna, sebuah pertanyaan yang tidak aku suka terlontar dari mulut Dewi.

“Cakra, kenapa sih, kamu nggak membalas perasaanku? Kamu tahu kan kalau aku cinta sama kamu.”

”Dewi, mencintailah sewajarnya saja, tak perlu berlebihan.“ Balasku dengan santai.

”Aku ... aku nggak berlebihan, aku cinta, dan itu semua buktinya.“ Bela Dewi bersungguh-sungguh sampai harus menginding menatapku.

Aku tersenyum tenang menatap penuh iba pada gadis yang buta oleh cinta. Maka aku raih sebotol air mineral yang terselip dibalik saku jaket bagian dalam milikku, hari ini, Dewi akan dibebaskan, aku pun menyodorkan air mineral milikku padanya, dan jelas, dewi seketika memasang mata menyelidik.

”Aku nggak haus.“ Sanggah Dewi.

”Minumlah, dan saat kamu meminumnya aku akan mencintaimu.“ Aku mengiming-iminginya.

”Ha?“

Butuh waktu sepuluh detik untuk akhirnya Dewi meminum botol air yang aku suguhkan. Dia telah benar-benar buta oleh cinta, mudah terhasut oleh kata-kata dari pujaan hatinya. Selepas itu, tak butuh lima menit, Dewi mulai merasakan sakit kepala dan mual-mual. Dewi mulai berdiri di atas lantai sembari mencengkram perutnya.

”Ca-cakra, sa-sakit sekali kepalaku.“ Dewi berkeluh kesah memampang muka kecut pucat pasinya.

”Tidak apa-apa Dewi, tidak apa-apa ... itu hanya untuk membuktikan sejauh mana kamu menapaki perasaan cintamu itu.“ Aku mengatakan sesantai mungkin.

”Ha?“ Mata Dewi telah berbinar terarah hanya padaku.

Sedetik kemudian Dewi tersendam ke lantai, terbaring, dia bahkan kejang-kejang kesakitan, matanya melotot, dari mulutnya mulai memunculkan busa putih, tubuhnya mulai kaku, perlahan namun pasti, nyawa Dewi akhirnya memudar.

Cintaku, Dewi sang ketua kelas telah meninggal malam itu, mati demi membuktikan cintanya untukku. Dan untuk pertanyaan Dewi, tentang balasan mencintainya, jelas sudah aku tak mencintainya. Tambahannya, aku membuat guratan pulpen tinta merah di kening Dewi, sebagai tanda, gadis yang kesepuluh yang tewas karena cinta butanya padaku.

“Sekali lagi, aku tidak bisa diperintah oleh siapapun, jadi pergilah.”

... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

       Di pukul 15:01 yang tak aku ketahui keadaan cuacanya, aku Laisa, masih berdiri di antara lemari perpustakaan autobiografi SMA Lily Kasih, kututup buku BINTANG MATAHARI karena merasa telah cukup untuk aku membaca, kutaruh buku ini kembali di tempatnya. Tetapi ini belum selesai, tangan kananku, lengkap bersama rasa penasaranku, kembali meraih sebuah buku. Buku kali ini berjudul: Bintang Aldebaran. Aku membaca dari awal bab, lalu mengacak menuju bab terakhir, seluruh cerita dalam buku bisa terbilang nyeleneh. Tak sampai di situ saja, dorongan penasaran kembali menarikku untuk membaca lagi buku-buku yang lain, dari buku satu, hingga sampai di buku yang ke sembilan.

Dapat aku simpulkan bahwa semua buku di sini memiliki cerita yang nyeleneh, mengerikan dan cacat logika, hal ini membuatku meragukan fakta autobiografi ini dibuat, apa mungkin kisah seperti ini memang ada dalam dunia nyata?

Kala lamunanku tengah berkutat terhadap keaslian autobiografi di sini, tiba-tiba suara seorang anak perempuan menggedor telingaku, menyentakku dari lamunanku, membuatku mengerjapkan mata, hingga secara refleks kutolehkan kepalaku ke kanan pada gadis itu.

Ternyata si Stovi gadis babil yang memanggilku dengan nada ketusnya, dia berdiri di dekatku dalam jarak satu meteran.

“He, apa lo yakin, ini buku autobiografi bersumber dari kisah nyata? Kok cerita buku di sini kayak khayalan sih.” sebuah pertanyaan berintonasi ketus terlontar dari mulut Stovi, bahkan untuk itu, raut mukanya tetap menyebalkan.

Aku sebenarnya memiliki pendapat yang sama dengan Stovi, hanya saja ketidak-tahuanku memungkiri keraguanku itu, aku sempat termenung dalam kebingungan untuk beberapa saat.

“Semuanya dari kisah nyata.” aku menjawab seyakin mungkin kendati nyatanya aku pun ragu dan tak tahu harus menjawab apa, sedangkan jawabanku ini hanyalah demi melindungi ketidak-tahuanku, tepatnya berhati-hati.

“Apa buktinya kalau semua buku di sini kisah nyata?” pertanyaan tiba-tiba itu dilontarkan oleh mulut Azopa.

Azopa berdiri di samping kiriku, satu meter adalah sisa jarak kami. Sangat menjengkelkan kala situasi ini malah seakan menyudutkanku.

“Tentu semua buku ini dari kisah nyata, karena jenisnya saja autobiografi.” jawaban seadanya aku lontarkan, berusaha melindungi kebenaran buku-buku di sini.

“Tapi ketua, alasanmu itu termasuk cacat logika,” sanggah Azopa yang tak percaya, bahkan dia seolah menuntutku untuk memunculkan bukti.

Kini aku merasa benar-benar seperti dihakimi, setiap perasaan tenangku mulai goyah, lalu perasaan itu secara cepat mendekap tubuhku, mengalir berusaha menutup akal sehatku, membentuk sebuah gejolak emosi, yang biasa disebut, amarah.

“ADUUUUHHH KENAPA SIH KALIAN MALAH MENGHAKIMIKU, NGGAK PERLU BANYAK PROTES, TURUTI SAJA PERINTAH KETUA KELASMU INI ...!” aku bicara selantang mungkin, sampai suaraku bergema memenuhi ruangan, kesal kala teman-temanku memprotes setiap pernyataanku, padahal aku lakukan ini demi kebaikan mereka.

Sekonyong-konyongnya Stovi melengos, ia pun langsung berpaling pergi dengan raut jijik padaku, ia tak suka nada bicaraku, dan memang ia tak pernah suka padaku.

“Dasar debil,” gumam Stovi dengan suaranya yang masih terdengar baik oleh kedua kupingku.

“KAU YANG DEBIL STOVI!” aku menyergah dengan mengangkat kedua tangan membentuk kepalan tinjuan kemurkaan, menatap Stovi dengan geram.

“Heh ... enak saja aku disebut debil,” gerutuku.

“Maaf ketua kelas,” sela Azopa tiba-tiba.

Jelas aku langsung menoleh menatap wajah Azopa dengan raut kesal, dan di sana, di wajah mulusnya, dia menampilkan kesan cuek, mata hitamnya menyiratkan masa bodoh. Sialan anak ini, membuatku tambah gusar.

“He apa lagi? Kau juga ingin menyudutkanku ha? Sok bijak sekali kau!” tak ayal aku memarahi Azopa.

“Maaf kalau aku menyudutkanmu.” Azopa menunduk penuh penyesalan, tanpa senyuman dan nada suaranya begitu tenang.

Kala kalimat itu telah diterima baik-baik oleh kedua kupingku, Azopa lantas melenggang pergi dari pandanganku, seolah-olah ia hanya ingin menunjukkan kebodohanku saja, agar dengan begitu, seluruh murid bisa menertawakan betapa bodohnya ketua kelas dari kelas 12 ini.

         Baca-baca di perpustakaan berakhir saat tepat waktu menunjukkan pukul 17:01, hujan telah mengguyur deras, dibarengi dengan kilatan petir yang seperti membentuk akar pohon, dan karena hari ini hujan sangat deras, terpaksa aku pulang dijemput suamiku, sepeda pun kutaruh di dalam mobil bersamaku, hari berakhir bersama sekelumit beban pikiran mengenai hari ini.

Apa maksud pertanyaan Guru Sukada?

Kenapa semua teman-temanku ternyata mau membaca?

Dan apa maksud dari ini semua? Mengapa harus membuat autobiografi?

Tadinya aku mau bertanya pada mereka, hanya saja suasana kurang mendukung, rasa lelah bisa membuat fokus kinerja otak tersaput oleh emosi mereka.

Episodes
1 PROLOG.
2 BAB 1: INILAH AKU ....
3 BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4 BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5 BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6 BAB 5: HARI MABAL ...
7 BAB 6: PESTA ...?
8 BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9 BAB 8: HAHAHA ....
10 BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11 BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12 BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13 BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14 BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15 BAB 14: CACAT LOGIKA?
16 BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17 BAB 16: DILECEHKAN ...?
18 BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19 BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20 BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21 BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22 BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25 BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28 BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31 BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58 EPILOG.
Episodes

Updated 58 Episodes

1
PROLOG.
2
BAB 1: INILAH AKU ....
3
BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4
BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5
BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6
BAB 5: HARI MABAL ...
7
BAB 6: PESTA ...?
8
BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9
BAB 8: HAHAHA ....
10
BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11
BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12
BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13
BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14
BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15
BAB 14: CACAT LOGIKA?
16
BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17
BAB 16: DILECEHKAN ...?
18
BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19
BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20
BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21
BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22
BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25
BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28
BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31
BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58
EPILOG.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!