“Laisa, sekolah membuat proyek ini pun nggak sembarangan, sekolah ingin setiap murid lulus dengan masalah hidup yang sama-sama bisa diatasi ...,” perkataan Kak Farka terpotong.
”Ini terlalu berlebihan, kenapa sih? Padahal kan cuman menulis buku yang mirip seperti buku harian kan?“ aku memotong penjelasan Kak Farka dipadu dengan perasangkaku terhadap buku yang akan dibuat.
”Bukan berlebihan, ini kehati-hatian,“ bela Kak Farka.
”Nah, sekarang kakak tahu dari mana alamat rumahku? Dan apa pekerjaan kakak itu adalah memata-matai anak-anak SMA?“ aku bertanya dengan menyindir, hingga daguku terangkat bersama kedua alisku yang ikut terangkat memberi kesan bongak.
”Dari Guru Sukada, beliau memintaku untuk memintamu membuat proyek perpisahan sekolah ...,“ ungkap Kak Farka yang menggantung kalimatnya memberi waktu untuk mempersiapkan diri dengan kalimat yang sepertinya sukar diterima.
”... pekerjaan kakak adalah penyemangat sosial masyarakat,“ lanjutnya menatapku dengan serius dan hati-hati.
”Hahahaha, nggak jelas banget sih Kak, maksudnya apa sih Kak?“ aku tertawa mengejek dan mencoba memastikan sejauh mana kewarasan Kak Farka.
Di sana, di depanku, suamiku tercinta, dalam wajah santainya, memandangku serta memandang Kak Farka secara bergantian, agaknya, suamiku sudah tahu pekerjaan Kak Farka yang nyeleneh itu.
”Begini, mudahnya kami bekerja dibawah pantauan para psikolog serta psikiater, atau katakanlah aku ini mata-mata sosial masyarakat,“ jelas Kak Farka.
“Hehehe, ada ya pekerjaan kayak begitu? Siapa yang ngegaji? Siapa bosnya?” tanyaku meremehkan.
“Kakak tidak digaji, ini dilakukan secara sukarela, tentunya bos kakak adalah prinsip kakak sendiri,” jawab Kak Farka.
“Loh? Aneh banget,” ledekku sampai-sampai kurelakan keningku mengernyit.
Masih tanpa senyuman, pandangan Kak Farka serius terhadapku dan sepertinya penuturan Kak Farka adalah sebuah fakta yang harus diyakini, kendati demikian, aku masih ragu.
“Kalau orang yang kakak bantu berhasil menyelesaikan masalah hidupnya, itulah bayaran kakak,” imbuh Kak Farka dan itu juga fakta yang harus diyakini, tetapi, sekali lagi, aku masih ragu.
“Loh, tapi kan, selama manusia hidup, manusia pasti memiliki masalah,” dugaku.
“Bukan begitu ...,” sanggah Kak Farka.
Dan entah mengapa, aku malah terbawa arus pembicaraan yang membuatku semakin penasaran.
“... kami sebenarnya bukan bertujuan untuk membantu masyarakat secara gamblang atau menyembuhkan gangguan mental manusia, kami tidak berpihak pada penjahat atau pun pada pahlawan, kami bersikap netral, yang kami bentuk hanya sejarah terbaik dan menceritakan sejarah terbaik itu demi kemajuan generasi selanjutnya, mental manusia akan terbentuk oleh suatu peristiwa, hal yang mampu menyentuh kejiwaannya, itu yang terkadang menjadi sebuah kebenaran baginya, nah, kepedulian sosial, serta budi pekerti luhur itu yang menjadi tujuan kami, dan untuk membentuk seperti itu, harus ada peristiwa yang mengguncang moril setiap manusia, sejarah itulah, konteks yang kami bentuk, kepedulian adalah pondasinya, kejiwaan adalah dasarnya,” jelas Kak Farka memandangku serius.
”Tunggu ... sebenarnya, aku malah jadi bingung? Memangnya ada ya, orang yang bersikap netral?“ sindirku kebingungan.
”Bukan orangnya, tapi proyek autobiografi SMA, itulah yang netral, tak peduli dia wanita bodoh, atau dia laki-laki miskin, semua berhak menulis autobiografinya.“ Kak Farka menyangkal, dan nyatanya aku tetap kebingungan.
”Kakak ini bekerja sendiri?“ selidikku.
”Tidak, tapi yang jelas, tujuan kami membuat sejarah dan menyelamatkan generasi selanjutnya,“ ungkap Kak Farka dengan pandangan ke depan pada kehampaan.
Tak ada senyuman, bahkan tak ada ekspresi datar, roman berkarismatik Kak Farka tetap menyiratkan keseriusan, dan ini memang harus aku anggap serius, walau nyatanya, aku tetap saja meragukannya.
”Tapi, itu semua terkesan halusinasi belaka, sangat nggak masuk diakal.“ aku mengejek memandang suamiku serta Kak Farka secara bergantian.
Selepas itu, suasana menjadi hening, tiga detik telah kami lalui hanya menghabiskan waktu demi terdiam bernapas, lebih-lebih kedua pria dewasa di depanku tetap memasang muka serius, sampai dipengujung detik ketujuh, Kak Farka mulai tertunduk sembari menghela napasnya, ia hendak menyudahi perbincangan ini, yang memang aku anggap ini sebagai omong kosong.
”Ya sudah ...,“ ucap Kak Farka dengan pasrah.
Lantas, wajah serta netra hitam gelapnya tersorot pada wajah berkarismatikku.
”... berjuanglah demi adik kelas kita, dan jangan menyerah sebelum terlambat,“ pungkas Kak Farka dengan sungguh-sungguh memberiku pesan penting.
Pada akhirnya, Kak Farka berpamitan untuk bergegas pulang ke rumah, kata terima kasih pun sempat terucap dari mulutnya, hanya saja, sungguh disayangkan, sisa malam ini kuhabiskan untuk beristirahat, mengisi kembali energi yang terbuang, demi menyambut hari esok yang penuh misteri, begitu pun dengan suamiku.
Ke esokkan paginya, kala angin mengalun tanpa suara, cerahnya sinar mentari yang menyingkap bayang-bayang kegelapan dari tabir malam, dan sarapan di ruang makan telah diselesaikan, aku tersenyum melekukkan lesung pipiku, otomatis suamiku menyentuh lesung pipitku dengan kedua jari kelingkingnya, tanda kecupan darinya, mungkin ini terlihat aneh, hanya saja, jika sudah menyukainya, atau bahkan sudah menjadi kebiasaan, itu bukan keanehan lagi, lebih-lebih kebiasan itu sangat aku sukai, keromantisan yang prakarsa dilakukan suamiku, itu dilakukannya sejak sebulan pernikahan kami.
Tapi kadang juga aku bertanya, bertanya pada khayalku, pada relung kalbuku, apakah romantis itu sesuatu yang mengasyikkan? Atau justru romantis itu hal yang menjijikan?
Lebih-lebih aku menyukai fiil yang bersifat humoristis, dan keromantisan bagiku adalah hal yang mengasyikkan.
Tapi tunggu, otakku malah kembali membisikkan rasa tanya, hal yang begitu konyol untuk dipertanyakan, apakah pengorbanan itu sesuatu yang romantis?
Sial memang, aku selalu bingung dengan dua hal itu, humoristis dan romantik, bagaimana tidak, aku masih muda, rasa penasaranku pada hal-hal yang tabu atau bahkan pada hal-hal remeh kadang membuatku selalu ingin tahu.
Aku pernah bertanya pada suamiku, tentang seperti apa romantis itu? Atau seperti apa humoristis itu? hanya saja jawabannya malah membuatku memutar otak lebih giat lagi, membingungkan, bahkan abstrak, itulah yang membuatku sampai sekarang mempertanyakan dua hal tersebut.
Entah apakah itu berlebihan atau tidak, yang jelas, selama aku menyukainya, aku akan melakukannya.
“Hati-hati di sekolah,” pesan suamiku dengan tersenyum simpul.
Kendati tangannya telah diturunkan, aku masih berdiri agak kikuk di samping kiri suamiku, terpaku seperti membeku.
Dan bahkan suamiku tercinta masih duduk di kursi kayu meja makan, duduk santai demi menikmati sisa cokelat panasnya.
“Loh, ada apa? Uang jajanmu kurang?” heran suamiku dengan tatapan menyelidik.
Pertanyaan itu justru membuatku menundukkan pandangan malu, berbalut takut, betapa tidak, aku punya permintaan yang bisa membuatnya marah, apa lagi, sering sekali aku meminta permintaan ini, hingga sulit untuk dibilang jarang-jarang, aku menggelengkan kepala, menegaskan bahwa aku tidak kekurangan uang jajan.
“Nah, ya sudah ... langsung berangkat ...,” ucapan suamiku terpotong.
“Aku mau pergi ke pusat kota,” ujarku dengan lancar dan ketakutanku mulai aku musnahkan, hanya saja aku masih menundukkan pandangan tak berani menatap wajah tampan suamiku, kendati nyatanya, dari ujung pelupuk mataku, wajahnya masih kentara terlihat.
“Ooooooh ....” suamiku manggut-manggut baru menyadari kekonyolanku.
Lantas buru-buru aku merengkuh tangan kirinya, mencengkramnya kuat-kuat bersama harapanku yang kuat agar mendapat izin suamiku. Bonusnya, kupasang muka menginding.
“Boleh ya, boleh ya ....” aku memohon begitu sungguh-sungguh.
“Sendiri?” tanya suamiku memastikan.
“Bersama Anka, sahabatku!” jawabku dengan lantang tanpa ragu.
Suamiku termenung dalam pertimbangan, menimbang-nimbang keputusan apa yang layak diberikan, raut mukanya menyiratkan kontemplasi, kedua tangannya bersedekap menyilang, membuatku melepaskan cengkramanku dari tangannya. Tiga detik telah dilalui, kemudian didetik ketujuh suamiku pun mengambil keputusan.
“Tapi, besok kamu harus sekolah,” kata suamiku dengan pandangan serius padaku.
“Iya, besok aku sekolah, jadi boleh kan?” aku jawab bersungguh-sungguh dan berusaha memastikan kebenaran izinnya.
“Boleh, tapi hati-hati.” suamiku mengizinkan sembari memandang ke depan, dan nada suaranya benar-benar lembut.
“Terima kasih! Terima kasih.” aku bersyukur seraya membungkuk hormat pada suamiku.
Betapa riang gembiranya aku, suamiku yang baik hati dan beralah, telah memberiku ruang kebebasan yang aku harapkan, lesung pipitku pun masih melekuk indah di pipiku, aku memang tidak bisa melihatnya, tetapi aku bisa merasakannya.
Aku melangkahkan kaki penuh kepuasan menuju pintu garasi, pintu yang berada di antara dapur serta ruang makan, faktanya, pintu tersebut justru lebih sering digunakan ketimbang pintu depan rumah.
Dan betapa bersyukurnya aku memiliki suami seperti Harfa, aku selalu dan selalu dibuatnya senang, kadang aku berpikir, mungkin seperti inilah kebahagiaan berumah tangga, betapa tidak, gosip-gosip atau bahkan kabar angin yang pernah kupingku dengar, banyak kaum wanita mencita-citakan hal itu, lebih dari itu, kurasa seluruh umat manusia menginginkan kebahagiaan dalam berumah tangga, bahkan seluruh remaja pun mulai mencita-citakannya, hanya saja, ada pertanyaan yang masih mengganjal dalam kepalaku.
Apa mungkin kebahagiaan berumah tangga itu seperti keadaanku? Atau mungkin ada asas penting untuk mengakui bahwa kehidupan rumah tanggaku telah mencapai kebahagiaan.
Aku memang masih terlalu muda untuk menyimpulkan baik-baik saja dalam rumah tanggaku, jangankan usiaku yang masih muda, pernikahan kami pun masih dua tahun kurang, acap kali, pikiran tentang kebahagiaan berumah tangga terus menghantuiku, maka dari itu, sebagai anak muda yang merdeka, aku tak mau jika pernikahan ini hanyalah sebatas alasan agar yatim piatuku tertutupi.
Apa mungkin berumah tangga itu hanya sebatas melanjutkan hidup? Atau mungkin pernikahan adalah profesi? Atau mungkin juga semuanya adalah ritual peribadahan? Aku bahkan kebingungan.
Akan hal itu, suamiku yang bijak pernah berkata, bahwa kebahagiaan itu adalah kebutuhan, kesenangan dan sisanya yang lain itu pula kebutuhan, tepatnya kebutuhan esensial, lebih-lebih siapapun orangnya, apapun bentuk pekerjaannya, maka inti azamnya adalah kebahagiaan dan kesenangan.
Itulah mengapa aku selalu dan selalu ingin merengkuh segenap kebahagiaan yang aku bisa, bersekolah, berteman, berumah tangga, hingga bersosial, apapun bentuk kehidupan itu, kebahagiaan adalah intinya.
“Tunggu!” suamiku tiba-tiba memintaku berhenti melangkah.
Sontak, kuhentikan langkah kakiku, memutar tubuhku ke belakang, memandang wajah tampan suamiku, dengan lusung pipi yang melekuk karena aku masih tersenyum riang gembira.
“Ingat! Hati-hati ... sekali lagi, hati-hati.” kalimat yang diutarakan suamiku begitu sungguh-sungguh bahwa pesannya tak boleh diremehkan.
“Hem.” aku hanya mengangguk dengan mantap kendati begitu, aku menanggapi pesan suamiku penuh kesungguhan.
Akhirnya, di hari Kamis ini, aku bisa kembali pergi bermain tanpa harus sekolah, rasanya tentu saja senang, memang hampir setiap satu hari dalam seminggu atau tiga hari dalam sebulan, aku pasti selalu mengambil hari membolos, itu aku lakukan karena merasa jenuh dengan kehidupan sekolah.
Sudah dua kali aku pindah sekolah gara-gara sering membolos, awal SMA-ku cukup jauh dari rumah, jadi membolos itu lebih baik ketimbang terkena marah karena terlambat, lalu konyolnya SMA keduaku justru malah lebih jauh lagi, berada tepat di pusat kota Artana, setiap subuh aku harus bangun hanya agar aku dapat tumpangan bus sekolah, sehingga kembali membolos adalah cara terbaik untuk tidak terlambat serta dimarahi oleh guru, ya, meski kadang dulu aku selalu dimarahi oleh orang tuaku karena ketahuan membolos dan membolos lagi, aku tetap saja tak mengindahkan nasihat mendiang kedua orang tuaku, menurut mereka, demi mendidikku agar lebih disiplin waktu, aku harus disekolahkan agak jauh dari rumah. Aku itu anak manja yang selalu dimanja, akibatnya aku selalu tak bisa menghargai waktu, banyak berleha-leha, bahkan terlalu malas untuk menyantap makananku sendiri, benar! Sedari balita sampai SMP aku selalu disuapi orang tuaku setiap kali aku makan, tidak setiap hari juga sih, hanya saja terlalu sering hingga sulit untuk dibilang kadang-kadang, oleh sebab itu, kedisiplinan itu penting bagi orang sepertiku, walau nyatanya, seorang pemalas sepertiku tetap saja malas.
Satu hal penting! Anka sahabatku, ikut berpindah-pindah sekolah hanya demi bisa bersamaku.
Maka saat itu aku mengusulkan untuk pindah sekolah lagi, sekolah yang tak terlalu jauh namun tak juga terlalu dekat, terdengar aneh memang, pastinya yang jaraknya sedang dari rumah, hingga suatu hari, aku diperkenalkan pada Harfa, calon suamiku yang kini menjadi suamiku, dari situlah Harfa menyarankanku agar bersekolah di SMA Lily Kasih, syukurnya, setelah berhasil bergabung, aku betah di SMA Lily Kasih hingga kini.
'KRING-KRING-KRING'
Bel sepeda aku bunyikan, tanda aku sudah tiba di tempat perjanjian, benar saja, Anka sudah berdiri menungguku di terotoar jalan raya, saling tersenyum sekaligus menyapa adalah hal pertama yang kami lakukan, selanjutnya kami pun bertukar posisi, Anka mengendarai sepedaku, sedangkan aku duduk di jok belakang, ia sempat menggantungkan tas gendongnya pada setang sepeda, maka selepas itu, kami pun berangkat menuju pusat kota.
Jalan raya tak begitu padat, padahal jam-jam begini adalah jam berangkat kerja, kami tak banyak bicara, terdiam menikmati udara kota yang agak sejuk bersaput kebul-kebul polusi, gedung-gedung komersil yang mulai menampakkan tanda-tanda sibuknya, sampai terotoar yang mulai dimanfaatkan oleh para pejalan kaki adalah pemandangan perjalanan kami.
Jangan sangka! Kendati kota Artana memiliki segudang kejahatan, tetapi, tatanan kota serta penataan kota yang struktural membuat kota Artana menjadi terlihat bagai kota modern, tepatnya kota yang maju.
Mungkin kita memang tak kan bisa bermimpi
Atau melengkungkan awan yang mustahil
Mungkin kita sirna kala menyadari betapa kosongnya kita
Hingga kita penuhi dengan sanjungan
Tapi kuyakin itu kamu Laisa
Mawar yang tak tergambarkan
Bulan yang tak perlu melingkar
Atau awan yang tak perlu di langit
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Li Na
jangan lupa feedback
semangat saling dukung😍🌟
2020-06-24
0