BAB 11: ORANG ITU LAGI?

          Di pukul 20:00 malam hari, udara yang dingin melingkupi suasana malam ini, kala seluruh lampu rumah telah berpendar terang, aku dan suamiku tengah asyik bersantap malam di ruang makan, duduk berhadapan dengan makanan yang baru saja habis saat itu juga.

Ya, penampilanku tak ada yang berubah, begitu pula dengan suamiku, dia masih mengenakan kemeja setelan kerjanya, dan aku masih dengan seragam sekolahku, tak ada yang protes, karena tak berguna juga.

Dan karena seluruh masakanku telah sirna ditelan oleh kami, seluruh wadah masakan yang menjadi kekotoran mulai aku benahi untuk dicuci.

“Laisa ....” suamiku tiba-tiba memanggilku.

Aku telah berdiri untuk bersiap membawa piring ke tempat cucian, namun terpaku memandang suamiku penuh tanya.

Kudapati raut muka suamiku agak berbeda, ceria dan penuh antusias, itu yang tersirat, seolah ada sesuatu yang wajib untuk diucapkannya, dan aku pun wajib mendengarnya, mata hitamnya yang memandangku pun menampakkan berbinar senang, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku, yang jelas kali ini ada yang aneh.

“... besokkan kita libur, nah, setelah besok kamu belanja bahan pokok, kita pergi ke rumah Farka, untuk liburan bareng bersama istrinya ...,” ungkap suamiku dengan sejelas-jelasnya.

Sontak empat kosa kata nan jelas itu langsung membuatku tergemap, sampai tak terasa mulutku agak terbuka, sebelum akhirnya kembali terkatup bersama wajah seriusku dan kening mengernyitku. Batinku menolak!

“Eh? Kak Farka ....” aku tak suka dengan pengakuan suamiku itu.

Jelas aku tak suka, aku takut kalau-kalau Kak Farka menceritakan kegiatan onarku saat mabal ke mal, apa lagi setiap kali aku mabal, suamiku tidak tahu jika aku suka berbuat onar saat mabal dan bila ini diketahuinya, bisa-bisa aku tidak punya hari membolos lagi, lebih dari itu, aku mulai tidak suka dengan Kak Farka, bahkan sekarang pun dia malah seolah-olah sudah merasa akrab saja dengan suamiku.

“Farka sudah mengundang kita tadi sore, dia meneleponku.” Fakta kedua yang diucapkan suamiku membuatku semakin jengkel dengan Kak Farka.

“Tunggu, kamu punya nomor teleponnya?” usutku serius.

“Ya, waktu pertama kali dia datang, kami sempat bertukar nomor telepon, dia seorang yang sukses mengembangkan bisnis butiknya, bahkan mampu membantu para pengusaha-pengusaha kecil di kota ini.” suamiku membeberkan fakta kembali dan terkesan mengultuskan Kak Farka.

”Sudahlah jangan membahas si kapitalis itu,“ ketusku.

”He, jangan bicara begitu, dia bukan seorang kapitalis, kamu kalau nggak tahu apa-apa sebaiknya diam.“ suamiku menegurku dan membela Kak Farka.

Aku mendilak tak suka dengan teguran suamiku yang malah terdengar seperti nada bicara Kak Farka.

”Kamu kayaknya nggak suka banget sama Farka.“ suamiku curiga.

Maka kuhadapkan muka geramku pada suamiku Harfa, menunjukkan bahwa aku memang benar-benar tak suka dengan Kak Farka.

”Ya memang, penampilannya sih memang kayak orang berduit, tapi sikap dan pola pikirnya kayak orang aneh,“ tuturku blak-blakan tanpa ragu.

Suamiku tercenung, memandangku dengan kedua mata agak terbuka lebar dan kami saling bersirobok.

Keheningan menjadi suasana yang kini kami alami, lebih dari tujuh detik kami mengalami keheningan hanya saling menatap dalam sengap. Pandangan suamiku sudah kembali normal, tetapi, sama sekali tak ada komentar apapun atas pengakuanku tadi.

”Apa Kak Farka menceritakan hal lain tentang aku?” maka aku lontarkan kalimat menyelidik.

Suamiku sempat merenung beberapa saat berusaha mencerna maksud ucapanku tadi.

“Hal lain?” tanya suamiku memastikan dengan kening mengernyit bingung.

“Ya, waktu mabal aku bertemu dengannya.” aku bicara hati-hati jangan sampai suamiku tahu kalau saat mabal aku berbuat onar.

“Enggak, memangnya kalian bertemu di mana?” suamiku membantah dan bertanya lebih jauh tentang maksud ucapanku.

“Di pusat kota, tapi aku malu kalau Kak Farka malah membicarakan waktu aku mabal,” jawabku seefisien mungkin berusaha agar tak mengundang kalimat tanya.

“Enggak, dia nggak bicara apa-apa ... habisnya kamu bukannya sekolah malah mabal.” syukurnya suamiku tak menyelidikku lebih lanjut.

“Nah ... ya sudah, aku nggak mau ikut,” ketusku tanpa basa-basi.

Lalu kubawa piring serta wadah kotor menuju tempat cucian piring.

“Loh tapi nggak enak juga aku menolaknya, tadi aku sudah menyanggupinya.” suamiku mengeluh dan mulai bangkit dari duduknya.

“Ya, seharusnya kamu bicarakan dulu dengan istrimu sebelum mengambil keputusan,” balasku.

Gusar dalam langkah yang kuambil menuju dapur, bahkan tak sudi untuk bernegosiasi dengan suamiku, dan aku menaruh piring serta wadah kotor di wastafel cucian piring, meski faktanya masih ada tumpukkan piring yang kemarin, tentunya aku mencuci piring tiga hari sekali, itu pun kalau tak malas. Dan besok adalah waktuku untuk mencuci piring lengkap dengan merapikan pakaianku serta pakaian suamiku yang memang sudah tersimpan dalam mesin pengering pakaian.

“Memangnya kenapa kamu nggak mau?” suamiku mengusut melangkah mendekatiku.

Aku memutar badan menghadapnya, memberi jarak dua meter untuk suamiku bisa menggenggam tanganku kalau dia mau.

“Nggak apa-apa, pokoknya besok aku mau santai di rumah, atau kita nonton film,” pungkasku sampai kupasang wajah senderut agar memberi kekuatan dari kalimatku, kemudian kuberpaling pergi menuju lantai dua. 

Suamiku mendekus pasrah, tanpa ada protes, ia menerima keputusanku.

Sangat tak sudi jika aku harus bertemu kakak pengganggu itu, memang sih Kak Farka kali ini mengundang kami untuk liburan bersama, dia juga saat mabal menolongku, tapi kok, perasaanku malah mengatakan ada maksud lain dari ajakannya itu, bahkan lebih dari itu, dia seperti ingin masuk ke dalam kehidupanku.

Kulangkahkan kaki masih dengan gusar menuju tangga, tak peduli juga apa yang akan dilakukan suamiku, yang jelas untuk saat ini aku tak mau bertemu Kak Farka, aku ingin hidup tenang tanpa ada gangguan orang luar yang tak dikenal. 

Aku meniti anak tangga, berniat menuju ruang karaoke, kali ini aku ingin bernyanyi melepaskan seluruh beban jemukku setelah bersekolah, apa lagi atas adanya kabar si Kak Farka yang aneh itu. Rasanya muak.

Aku sudah sampai di lantai dua ini, desain lantai dua rumahku ini bagaikan lorong hotel dengan kamar yang berderet berhadapan, di sudut lorong terdapat sebuah kamera pengawas, sang mata-mata berlensa yang selama 24 jam selalu terkesiap menangkap kejadian apapun di lantai dua ini. Enam ruangan kosong, satu ruangan karaoke, begitulah aku memanfaatkan tempat ini yang seolah tak terurus, debu di lantai pun menjadi bonus tak terurusnya lantai dua ini, betapa tidak, aku serta suamiku hanya memanfaatkan tempat ini untuk karaokean saja, sisa ruangannya kami masih pikirkan untuk digunakan apa. 

Kulangkahkan kaki ke pintu di samping tangga, membuka pintu sebiasa mungkin, dan aroma jeruk semerbak menyambut kedatanganku, aku kembali menutup pintu rapat-rapat, biasanya sih aku akan bernyanyi di sini bersama suamiku, tetapi mungkin karena kejadian tadi, hal itu tidak akan terjadi.

Ruang karaoke ruangan yang cukup besar, bisa menampung lima puluh orang jika saling berhimpitan, di sini ada dua buah lemari makanan yang tak ada makanannya, di sini ada tiga sofa panjang yang tersandar ke dinding menghadap TV dinding 40 inci, di sini juga ada meja kaca persegi panjang terpajang di depan sofa, dan hanya itulah interior ruangan bernuansa biru langit ini, tak ada lagi yang spesial, kecuali pemiliknya, lalu di sinilah pula kududuk di sofa bermotif bulan sabit, menyalakan TV dengan ponsel pintarku, maka karaoke pun dimulai!

Malam itu, kuhabiskan waktu untuk bernyanyi riang gembira, mengalunkan puluhan musik demi menyenangkan hatiku, tak ada yang mengganggu aku bernyanyi, tetapi semakin lama tubuhku semakin lemah, terlalu lelah untuk berdiri hingga akhirnya aku terbaring di sofa, tanpa mematikan TV, aku lelap untuk tertidur.

         Waktu memutar begitu cepat mengubah suasana dingin malam menuju pagi menghangat, sorot mentari sempat menelusuk lewat dua kaca jendela, menyelinap di antara kerai nuansa biru, sinar itu sempat menjamah mata kiriku, aku terbaring ke samping kanan, tak ada burung yang kudengar, hanya senandung lagu I Hate Myself And Want To Die dari band Nirvana yang mengalun menggedor gendang telingaku, membuatku mulai tersadar, tubuhku masih berat untuk dibangkitkan, tapi sialnya, saat kuraih ponselku dari meja, waktu telah menunjukkan pukul 09:01 pagi hari.

Sialan, aku harus buru-buru belanja dapur!

Aku terduduk di sofa sembari mengusap kedua mataku, menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan, dan usahaku untuk tersadar sepenuhnya berhasil, kumatikan TV, kemudian beranjak menuju lantai pertama untuk sekalian mandi dan belanja.

Saat aku melawati ruang tengah rumahku, ternyata suamiku masih tertidur pulas di karpet, tetapi untungnya TV sudah mati, jadi tak ada listrik yang terbuang percuma.

Aku masuk kamar mandi di kamarku, menghabiskan waktu lima belas menit untuk mandi, sebelum akhirnya pakaianku pun berganti.

Kemeja lengan panjang warna cokelat serta celana jin panjang yang bagian lututnya sobek dengan kesan seni, inilah penampilanku hari ini.

Kini aku duduk di bibir kasur sambil memantau layar ponselku, menggulir layar demi berbelanja bahan pokok secara daring, memang sih belanja secara daring bisa kapan saja, tetapi, aku terlalu malas kalau harus belanja siang-siang, malas juga kalau belanja tiap hari, dan lebih malas kalau belanja harus pergi ke toko.

Kupilih secukupnya saja bahan makanan untuk seminggu, apa lagi keuangan kami akan semakin menipis saat diakhir bulan. Selain kerani, suamiku sebenarnya punya pekerjaan sampingan, ia desainer baju, menjual desainnya secara daring, dan itu lumayan untuk menutupi segala biaya hidup kami, bahkan ada kemungkinan bila dia tidak mendesain baju, kami tidak bisa membiayai rumah besar ini dan bisa-bisa kami makan seadanya. Mobil jip milik suamiku adalah warisan kedua orang tuanya, dia juga sebenarnya punya rumah, tetapi untuk saat ini rumah tersebut disewakan pada sebuah keluarga kecil.

Harfa Abraham, adalah anak yatim piatu, kedua orang tuanya tewas saat usianya 18 tahun, mereka tewas dalam kecelakaan bus, semenjak kejadian itu Harfa mulai menjalani hidup sendirian, sebenarnya dia sudah bekerja sebagai kerani saat kelas 11 SMA, SMA Pekerti adalah sekolahnya dulu.

Mengingat bahwa dia juga pernah SMA, aku ingat cerita tentangnya saat dia menjadi laki-laki yang dikagumi oleh para gadis, meski nyatanya dia dikagumi bukan karena pintar, justru nilai rendah dalam setiap mata pelajaran adalah bukti nyata bodohnya dia, mungkin kurang tepat jika aku menyebutnya bodoh, sehingga akan jauh lebih enak, jika aku menyebutnya pemalas, Harfa selalu tidur saat jam pelajaran sekolah, dan akan tidur lagi meski waktunya jam istirahat, tetapi, berkat keberuntungan fisiknya, yaitu tampan, maka setiap gadis tersihir oleh pesonanya, lupa bahwa Harfa anak pemalas dan kurang pintar.

Tak ayal para gadis rela mengerjakan tugas sekolah milik Harfa tanpa protes sedikit pun, bahkan senang jika Harfa meminta bantuan gadis-gadis, kendati kesannya norak, tetapi kenyataan selalu benar.

Harfa suamiku tercinta, mulai bertemu dengan orang tuaku kala dirinya menjadi kerani di perpustakaan kota, ayahku adalah manusia pemilik hobi membaca, setiap minggu saat libur, dia akan berkunjung ke perpustakaan untuk mengerjakan hobinya, dan kala itu, secara kebetulan yang terencana, ayahku selalu meminta usulan buku-buku bagus pada suamiku, Harfa cukup tahu banyak tentang buku-buku bagus, entah sejak kapan dia tahu tentang buku, -sifat pemalasnya sudah membuatku yakin kalau dia tak mungkin suka membaca- dan setelah resensi yang unik, ayahku mulai akrab dengan suamiku, jadi sudah bisa ditebak akhirnya bagaimana, mereka sudah saling percaya, bahkan karena telah mengetahui sikap bijak Harfa, ayahku mulai terpikat untuk menjadikan Harfa calon suamiku.

Harfa suamiku tercinta, telah bekerja lima tahun lebih sebagai kerani, lebih dari itu, posisinya sebagai kerani sudah menjadi pekerjaan tetap, digaji langsung oleh pemerintah kota, dan dia bahkan pernah berjabat tangan dengan wali kota Artana, tetapi, baginya rasanya biasa saja.

Dia Harfa suamiku, yang sampai kini masih mencintaiku sepenuh hati, dalam hidupnya, suamiku belum pernah berpacaran, hanya saja, aku pernah bertemu dengan gadis yang mengaku kekasihnya, kejadian itu terjadi kala seminggu sebelum kami menikah, ya, wanita itu berusaha membuatku meninggalkan Harfa, kata-kata dari mulutnya adalah senjatanya, tetapi faktanya, kalimatku lebih tajam, kukatakan bahwa 'kau tidak cukup cantik untuk Harfa, maka dia memilihku ketimbang wanita buruk rupa sepertimu.'

Kalimat pedas itu berhasil melukai perasaannya, membuat dia menjambak rambutku, akan tetapi dengan impulsif aku keluarkan bakat Pencak Silatku yang terpendam sejak SMP, membalikkan keadaan hanya dengan satu putaran tubuh, meraih tangannya dan membuatnya berlutut minta ampun. Aku menang dan sampai sekarang wanita itu tak lagi terdengar kabarnya.

         Hari Minggu ini langit nampak biru cerah, awan putih menyingkir mempersilakan sinar mentari menyorot kota Artana, udara sejuk merasuk ke paru-paruku memberi kenyamanan di halaman belakang rumahku, ya, aku sudah duduk mendeprok di atas tikar pacar, duduk sendirian sembari melipat pakaian, dan kebun bunga Lily menjadi pemandangan indah di depan mataku. 

Bawaku ke tempat peraduan kecilmu

Tempat yang penuh dengan angka-angka tak terbilang

Bawa pula pemandangan itu

Dan kita nikmati hingga malam tak bertemu pagi ...

Bawaku ke tempat peraduan kecilmu

Tempat menyendiri untuk otak yang kelu

Bawa pula semua yang layak dibawa

Dan kita nikmati setiap perasaan yang singgah ini ...

Terpopuler

Comments

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

lanjut baca marathon karya keren ini😍😍😘😘👍👍

2021-03-20

1

lihat semua
Episodes
1 PROLOG.
2 BAB 1: INILAH AKU ....
3 BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4 BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5 BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6 BAB 5: HARI MABAL ...
7 BAB 6: PESTA ...?
8 BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9 BAB 8: HAHAHA ....
10 BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11 BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12 BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13 BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14 BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15 BAB 14: CACAT LOGIKA?
16 BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17 BAB 16: DILECEHKAN ...?
18 BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19 BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20 BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21 BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22 BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25 BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28 BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31 BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58 EPILOG.
Episodes

Updated 58 Episodes

1
PROLOG.
2
BAB 1: INILAH AKU ....
3
BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4
BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5
BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6
BAB 5: HARI MABAL ...
7
BAB 6: PESTA ...?
8
BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9
BAB 8: HAHAHA ....
10
BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11
BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12
BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13
BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14
BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15
BAB 14: CACAT LOGIKA?
16
BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17
BAB 16: DILECEHKAN ...?
18
BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19
BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20
BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21
BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22
BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25
BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28
BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31
BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58
EPILOG.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!