Di pukul 09:10 pagi hari nan cerah, kami tiba di pusat kota Artana, berbagai pelancong nampak hilir mudik hanya demi menikmati kemoderenan pusat kota Artana, ada yang mencari nafkah, ada yang bersenang-senang, ada pula yang sekadar lewat saja, tempat yang tepat bagi makhluk-makhluk untuk singgah ke pusat kota ini, bagaimana tidak, segala keperluan hidup, bisa didapatkan dengan mudah di sini, jangankan alat-alat rumah atau makanan, wahana bermain pun tersaji lengkap di sini, dan bonusnya, tindakan kriminal menambah poin penting di pusat kota ini.
Kami menitipkan sepedaku pada seorang juru parkir di restoran Jepang, tetapi, tas gendong tetap melekat di punggung kami, pasalnya agar bila sewaktu-waktu membeli barang, kami bisa mengamankannya di dalam tas, kemudian aku serta Anka mulai melangkah menuju kegiatan pertama yang akan kami lakukan. Beli es krim, pergi ke bioskop, pergi ke mal, dan seluruh tempat yang penuh kesenangan dunia akan kami singgahi.
Satu hal yang penting! Kami pergi ke tempat-tempat hiburan bukan hanya untuk menikmati hiburannya semata, justru, kami juga berbuat keasyikan di sana, yang sering masyarakat budiman sebut sebagai, keonaran.
Suhu di pusat kota Artana terbilang panas, itu akan terjadi antara pukul 10:00 hingga pukul 14:00 siang hari, hanya saja, masyarakat di sini terbiasa akan suasana itu, selebihnya hangat atau pun sejuk.
Kami telah membeli es Krim rasa anggur yang dipadukan dengan rasa jeruk, akibatnya, menciptakan citra rasa unik, aku serta Anka duduk di kursi panjang taman bunga, bunga-bunga di sini berfariasi jenis-jenisnya, dan aku mulai berpikir bahwa seperti inilah taman bunga, bukan seperti di rumahku.
Aku menjilat padatan krim sebelum meleleh, hanya saja, aku tersenyum saat mataku tak sengaja memandang kearah Anka, caranya makan es krim agak nyeleneh, dia mengunyahnya, bukan itu saja, dalam lahap ketiga, es krim telah sirna menuju perut Anka, kendati begitu, hal tersebut memang sudah biasa kulihat, justru, fakta caranya makan es krim, tak pernah berubah sejak kami berteman.
Dia bahkan tidak merasakan ngilu pada gusinya, sejarah es krim yang dingin, seolah tak pernah dirasakannya.
Kulihat sinar mentari membuat butir-butir peluh di kening Anka agak berkilauan, kelelahan saat tadi mengayuh sepedaku membuat peluh bermunculan, hebatnya, dia bahkan tak mengeluh sama sekali.
Anka adalah laki-laki ketiga yang aku kagumi, teman kecilku yang tak sengaja dipertemukan karena kejailan, dan aku bersyukur karena itu.
Taman bunga nan sejuk ini, menjadi santapan mata kami selama sepuluh menit, kedamaian, dan ruang meditasi, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan taman ini, orang-orang hanya berlalu, seolah tak pernah tahu kalau ada ruang untuk mengistirahatkan pikiran, memang sih ada saja manusia yang menikmati suasana di taman ini, dan itu tetap membuat taman bunga ini memiliki kedamaiannya tersendiri, kecuali kalau ada perang di sini, kata damai pun akan sirna dalam sekejap.
Kami sudah bangkit dari kursi, mengerahkan seluruh semangat untuk memulai pesta.
Pertama, kami berkunjung ke dalam mal, bertanya pada para pedagang di sini, tentang bagaimana caranya kami bisa menyewa pembunuh bayaran, itu hanya sebatas kejailan kami saja, meski demikian, selalu saja ada orang-orang yang serius menanggapinya, tapi, tak ayal, ada saja manusia yang sampai-sampai rela mengusir kami karena takut, bonusnya, manusia-manusia yang tetap santai, sebenarnya maksud kejailan kami itu, hanyalah sebatas permulaan menuju pesta yang sesungguhnya, kendati demikian, hal itu sudah membuktikan bahwa kami berhasil bersenang-senang.
Ini belum selesai! Anka si cerdik dalam kejailan, dia memiliki sebuah cat lateks, yang memang sudah dia bawa sejak dari rumah.
Tepat di tengah-tengah mal, di antara manusia-manusia yang hilir mudik, Anka mulai menuangkan bakat menggambarnya di lantai, tentu saja, meme-meme kritikan sosial yang selalu jadi bahannya untuk berekspresi, kami pun tahu bahwa di sini terpasang kamera pengawas, justru dengan begitu, semua orang akan melihat liukan ajaib dari bakat menggambar seorang Anka si anak jail.
Pertama, ia melukiskan tulisan kritikan, pada orang-orang yang membuang sampah sembarangan, paduan cat merah yang kental dengan lukisan manusia serta uang, menjadi keutuhan yang begitu menarik mata, kemudian, di sebelah gambarnya yang telah rampung, ia memadukan gambar seorang ibu yang tertabrak sepeda motor, sebuah kritikan pada orang-orang berkendara, yang telah mengambil hak-hak para pejalan kaki, bukan itu saja, kelihaian tangannya pun, telah membuat dua orang petugas keamanan mal, mulai melirik pada kami, pastinya pada perbuatan konyol Anka.
Aku yang berdiri agak jauh, malah saking jauhnya, aku telah berdiri di mulut pintu masuk, sambil menjinjing sekantung petasan, yang sebelumnya sudah kubeli dari pedagang di mal, ini digunakan bila sewaktu-waktu Anka mulai dilabrak, maka, petasan ini akan menjadi pengalih perhatian paling mutakhir.
Hampir seluruh manusia merelakan matanya memandang karya seni buatan Anka, beberapa di antara mereka ada yang bingung, ada yang kagum, ada pula yang tak peduli.
Dan, permainan pun dimulai! Kedua petugas keamanan yang berdiri di dekat eskalator mulai menghampiri Anka, mereka mulai menyadari kekonyolan seorang Anka.
Buru-buru aku sulut satu petasan korek.
“MARI BERPESTA RAKYAT KOTA ARTANA!”
Aku berteriak, memberi tanda bahwa 'pesta' baru saja dimulai.
'DOOOR'.
Petasan meletus tepat di dalam mal, sampai-sampai seluruh pengunjung mulai panik, jelas manusia-manusia panik, sebab suara petasan layaknya suara bom, entah suara bom itu seperti apa, yang pasti, aku melemparkan kembali tiga petasan korek ke dalam mal.
'DOOR DOOR DOOR'.
Dan secara otomatis, kepanikanku mulai menggerakkan kakiku, bergegas berlari kabur, tentunya, satu petugas keamanan mengejarku, sementara, satu petugas lagi mengejar Anka ke dalam mal.
Aku berlari sekencang mungkin keluar mal, tak rela kuditangkap oleh pria kekar itu hanya untuk meminta maaf.
“INI BARU PESTAAAA ...!” aku berteriak meluapkan kegembiraanku, meluapkan emosi kebebasanku sebagai anak muda yang merdeka, seluruh dunia harus tahu! Aku Laisa, gadis berkulit senantan, punya cara lebih baik untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat.
“Hei! Berhenti kamu!” pria kekar itu berteriak dan masih mengejarku.
Aku berlari di terotoar jalan, membuat seluruh manusia-manusia yang tak sengaja hadir langsung menyorot matanya padaku, belum selesai, lalu aku menyulut kembali tiga petasan sekaligus, menghentikan langkahku sejenak, lebih dari itu, kuhadapkan diriku pada petugas keamanan yang mengejarku.
Aku menghitung jarak, menghitung waktu perdetik, petasan akan meledak di detik kelima, dan akan aku lemparkan pada petugas itu bila jaraknya sudah dua meter denganku.
Tada! Aksi kembali dimulai!
'DOR DOR DOR'.
“Sialan!” umpat sang petugas, seketika berhenti berlari karena harus loncat-loncat demi menghindari kemungkinan luka dari ledakan petasanku.
Tentunya, aku berlari kembali menuju mal, melewati petugas keamanan, sambil meliukan tubuh agar terhindar dari tangkapan bahayanya.
Kami kembali kejar-kejaran layaknya kucing dan tikus. Aku berniat bertemu dengan Anka di tempat yang sudah kami sepakati, itu bertujuan, demi menyelesaikan pesta di mal.
Aku berhasil kembali masuk ke dalam mal, menjadi pusat perhatian manusia-manusia di sini memang mengasyikan, mal memiliki tiga lantai, di lantai ke tiga itulah, tempat akhir pestanya.
Berlari meniti eskalator, berlari lagi menuju eskalator lantai tiga, sesampainya di lantai tiga, aku sudah ditampakkan tumpahan cat warna merah yang Anka sengaja tumpahkan di lantai.
'DRAP-DRAP-DRAP-DRAP'.
Aku berlari melewati pertokoan, melewati taman, hingga sampailah aku di depan wahana bermain anak-anak, berdiri di pertigaan jalan, aku celingak-celinguk mencari keberadaan Anka, napasku pun sudah termengah-mengah, bahkan karena mataku tak berhasil menemukannya, aku kembali berlari ke arah kanan, lantai di sini masih bersih, sebab seharusnya, lantai dikotori oleh cat milik Anka, itu rencananya.
Tapi tenang saja, perbekalan petasanku masih banyak, dan ini adalah rencana kedua.
'DRAP-DRAP-DRAP-DRAP'.
Aku berlari menuju pembatas pinggir lantai tiga, menuju pada langkan kaca.
'DRAP'.
Aku telah sampai, dan bisa kulihat dari sini, di lantai pertama orang-orang sudah mulai sadar, bahwa ada anak muda yang sedang berpesta, tepatnya, anak muda yang berbuat onar, akibatnya para pengunjung mulai berbenah diri untuk meninggalkan mal.
Tunggu! Ini semakin asyik! Karena, aku melihat ada lima petugas keamanan berseragam warna hitam, tengah berlari dari lantai satu, berniat menangkapku.
Aku buru-buru menyulut satu petasan, lalu memasukkannya ke dalam kantung plastik berisi sisa petasan lainnya, dengan begini, ledakan petasan akan jauh lebih besar.
'WUSSHHH'.
Kantong plastik aku lempar ke bawah, tepat ke lantai pertama, kemudian aku buru-buru berlari ke arah tempat awal kami berbuat onar, yaitu laintai pertama, petugas yang mengejarku pun, masih betah mengejarku.
'DOR-DOR-DOR-DOR-DOR-DOR'.
Irama ledakan lebih cepat, bahkan sangat keras, aku berlari hingga lintang pukang menuju eskalator, tapi aku tahu aku akan lolos meski seribu tentara mengejarku.
“KARENA KEMERDEKAAN DIRAIH LEWAT PERAAANG ...!” aku berteriak menyuarakan kembali gejolak kegembiraanku.
Aku berlari menuruni eskalator, hebat memang, bahwa di bawah sudah ada seorang petugas yang berusaha menyegatku.
Syukurnya, aku tak habis ide, secepat kilat aku melompati langkan eskalator, lompat menuju lantai keramik putih.
'DRAP'.
Aku mendarat di lantai dengan selamat, tiba-tiba gendang telingaku mendapat vibrasi getaran yang tak asing lagi.
“LAISA! CEPAT PERGI!” teriak Anka yang tengah dikejar oleh dua orang petugas sekaligus, dia juga berada di lantai dua yang sama denganku, muncul dari arah pertokoan baju.
Aku kembali berlari menuju eskalator lantai satu, kini dua petugas langsung mengejarku.
'DRAP-DRAP-DRAP-DRAP'.
Aku berlari secepat mungkin, hingga masih menjadikanku pusat perhatian bagi sisa para pengunjung mal serta para pedagang di sini.
'DOR-DOR-DOR-DOR'.
Itu adalah suara letupan petasan yang terakhir, tanda bahwa seharusnya kami sudah berada di luar.
Aku buru-buru menuruni eskalator, bahkan, Anka pun tengah menuruni eskalator, ia berada di arah Selatan, sedangkan aku berada di arah Barat, dan bahayanya, pintu masuk telah dijaga oleh dua pria kekar berwajah garang, terkesiap demi menangkap kami.
Kesempatan kami lolos sangat kecil, dari kejauhan, raut muka Anka sudah tampak kecut, rencana kedua ini seolah diambang kegagalan, lebih-lebih aku mulai kehabisan ide.
Kami sudah berhasil menapaki lantai pertama, tapi sempat terdiam kebingungan entah harus bagaimana, apalagi, para petugas keamanan tak lelahnya mengejar kami.
Para pengunjung terlihat memandangi kami dari jauh, seolah-olah mereka tengah menonton pertunjukkan sirkus, itu bagus! Ini akan menjadi sejarah penting bagi kehidupan mereka, entah baik atau tidak, sekurang-kurangnya, mereka memerhatikan kejadian ini. Akan tetapi, aku kebingungan setengah mati untuk mencari solusi dari impase ini, ditambah, suasana terasa tegang, seakan kematian yang akan kami hadapi, memang berlebihan, namun itulah perasaan yang kini aku alami.
Sekonyong-konyongnya, dari arah luar pintu masuk, sebuah mobil sedan hitam merangsek masuk ke dalam mal, memaksa dua penjaga di pintu masuk mengelak menghindari tabrakan.
Pintu mal pecah, hingga menimbulkan suara 'krompiang'.
'BIM-BIM-BIM'.
Itu klakson mobil, tanda berhasilnya mobil masuk ke dalam mal, dan terparkir tepat di atas lukisan meme buatan Anka.
“CEPAT MASUK ANAK MUDA!” seorang pria berkarismatik melongok dari jendela mobil, Kak Farka berteriak memberi kami tumpangan untuk kabur.
Jelas! Tanpa banyak pikir panjang, dan memang itu satu-satunya jalan keluar, kami berlari ke arah mobil, lalu masuk ke dalam mobil tanpa ragu.
Mobil mengepot secara 180 derajat, berputar kembali menuju pintu masuk, lalu melesat secepat mungkin, kabur dari tangkapan petugas keamanan mal. Pada akhirnya kami berhasil kabur.
Pukul 12:41 siang hari yang mendung, kala awan-awan kelabu mulai bergerombol menyaput langit biru, bersiap mencurahkan rintikan hujan, selaras dengan angin yang mengalun menimbulkan rasa sejuk di pusat kota Artana ini, tepat di parkiran depan restoran Jepang, mobil sedan hitam milik Kak Farka telah terparkir di sini, kami bahkan masih berada di dalam mobil.
'TAP'.
Secara bersamaan aku serta Anka mengangkat tangan kanan dan menepuk telapak tangan kanan satu sama lain, sebagai bukti bahwa kami berhasil berpesta. Bonusnya napas kami sudah kembali teratur, tetapi peluh di area wajah kami menjadi tanda perjuangan kami, tepatnya kelelahan.
“Tadi hampir sekali!” seru Anka dengan semangat berkantaran menyingkap seluruh ketakutannya, takut kalau-kalau tadi ditangkap.
“Keren! Kayak di film-film!” timpalku penuh bangga, dan tentunya aku senang sekali, terlepas dari bantuan Kak Farka, aku tetap sangat senang bahwa pesta tadi berjalan baik-baik saja.
Aku dan Anka duduk di jok belakang dalam luapan kegembiraan, sedangkan Kak Farka masih santai duduk di jok kemudi samping kananku.
“Apa kalian puas sudah mengganggu manusia-manusia di tempat umum?” tanya Kak Farka meledek kami.
“Seperti itulah kebebasan berpendapat!” aku membela diri dengan suara lantang sambil memandang telinga kiri Kak Farka.
”Coba bedakan mana kebebasan berpendapat, mana mengganggu ketertiban umum!“ balas Kak Farka dengan tegas tanpa aku tahu ekspresinya seperti apa.
”Kalian bisa kena pasal, dan penjara akan menjadi tempat penyesalan kalian nantinya.“ imbuhnya lagi menyudutkan kami.
Seketika aku memasang muka senderut, dengan bersedekap menyilangkan tangan, benci dengan sindiran Kak Farka, mataku pun mengerling ke kiri tanda betapa gusarnya aku akan kehadiran Kak Farka, bersama kegembiraanku yang lenyap seketika.
Aku tak peduli juga kalau Kak Farka sudah menyelamatkan kami, tertangkap pun tidak, jadi belum dapat dipastikan tindakan Kak Farka adalah penyelamatan, justru ini lebih menjurus pada bantuan sukarela.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Li Na
next
2020-06-24
0