“Sebentar, apa kamu tahu tentang kutukan atau tujuan sebenarnya buku autobiografi yang akan kamu buat?” Guru Sukada bertanya dengan serius.
Kesunyian menjadi suasana dalam perpustakaan ini, bonusnya, suara kami agak bergema, malah di sini cukup dingin.
“Kutukan? Zaman sekarang masih ada ya kutukan? Dan saya rasa kita membuat buku untuk perpisahan sekolah.” aku keheranan berpadu tidak percaya sekaligus menyimpulkan tujuanku membuat buku.
Anehnya Kak Farka serta Guru Sukada malah sempat saling menatap satu sama lain, entah maksudnya apa.
“Kakak juga awalnya tidak percaya, tapi, setelah kematian dua teman kakak terjadi, kakak rasa kutukan itu memang ada ....” Kak Farka mengungkapkan sebuah kenyataan yang baru aku tahu, dan seolah aku harus percaya, padahal tidak.
“Ahk, itu sih kebetulan saja,” aku membalas tak percaya yang memang terdengar meremehkan.
“Iya, itu kan sugesti saja, padahal kan nggak begitu.” Anka menimpali yang nyatanya kami punya pandangan sama.
Uniknya kami lalu saling menatap satu sama lain sambil mengangkat alis secara kompak, memberi kesan bahwa persepsi Anka dan persepsiku adalah yang paling benar.
“Bahkan kutukan iblis masih berlaku hingga akhir zaman.” Guru Sukada menyela melontarkan sejarah yang terbukti, menandakan bahwa persepsiku salah.
“Itu beda cerita.” aku kembali menyanggah tak percaya.
“Ya sudah.” Guru Sukada berusaha mengganti topik pembicaraan dan kedua tangannya bersedekap menyilang, kali ini, gesturnya menampakkan keseriusan yang lebih kuat dari sebelumnya.
“Buku autobiografi SMA, dibuat untuk membentuk mental setiap generasi, bukan sekadar pernak pernik perpisahan sekolah,” tutur Guru Sukada dengan raut muka serius dan sorot matanya bergantian memandangku serta Anka.
”Tunggu, membentuk mental itu maksudnya bagaimana?“ aku benar-benar tidak mengerti berazam Guru Sukada.
Guru Sukada menghela napasnya, dia seperti mundur dari pertanyaanku, sebab pandangannya malah memandang ke arah belakangku, dan Kak Farka memandangku dengan serius.
”Begini maksudnya,“ Kak Farka yang ternyata akan menjelaskannya.
Anka masih berdiri tegap di samping kananku, ia juga memasang muka serius, tetapi, aku lebih setuju jika Anka waspada terhadap Kak Farka, takut-takut Kak Farka malah membaca puisi, yang bisa-bisa membuat Anka bertindak anarkis, sedangkan aku, aku tetap santai, namun, sebenarnya, aku malah ingin buru-buru pulang, kemudian masak makan malam untuk suamiku.
”Kalau kalian lihat, sebuah film lalu kalian melihat anak-anak muda mulai mengikuti perilaku tokoh yang mereka idolakan, membentuk sebuah karakter yang menyerupai tokoh-tokoh yang mereka idolakan, dan sebuah film, komik atau novel, membentuk karakteristik setiap penikmatnya, itulah yang kami sebut pembentukan mental.“ Kak Farka menjelaskan sesingkat mungkin namun tetap dengan eksplisit.
Aku dan Anka mengangguk-angguk mulai paham, tetapi belum ada tanggapan berarti dari kami.
”Bukankah seluruh manusia mengikuti apa yang mereka sukai? Menjadi orang lain demi dianggap pahlawan?“ Kak Farka menambahkan.
”Tapi, itu tak masalahkan?“ aku mengusut.
”Tentu tidak, bahkan jika itu baik, maka sudah seharusnya diikuti.“ Kak Farka menyempurnakan persepsinya.
”Lalu. Masalahnya dengan kita apa?“ aku kembali bertanya dan justru pertanyaanku terkesan seperti menuduhku bahwa aku bodoh, tapi memang aku belum begitu paham.
”Hehehe.“ Kak Farka malah tertawa layaknya meledekku.
Kedua tangan Kak Farka lantas diselipkan pada kedua saku celana panjangnya, ia berusaha tetap santai, juga berharap tujuannya tersampaikan dengan sempurna.
”Nah, jika anak-anak muda ingin menjadi tokoh yang diidolakan, maka, kita membuat tokoh yang baru, simplenya, kita menjadi diri kita sendiri, membentuk mental kita sendiri, dan seharusnya lebih sempurna dari tokoh yang kita idolakan.“ Kak Farka menjelaskan dengan lancar.
Aku serta Anka masih terdiam mengangguk-angguk berjuang memahami perkataan Kak Farka, tentunya kami belum berikan tanggapan yang berarti.
”Jadi, buku yang kamu atau kalian buat, bukan sekadar main-main belaka, kita buat demi tujuan ilmu pengetahuan,“ kata Guru Sukada yang menguatkan argumen Kak Farka.
”Tulis kisah hidupmu, jika itu aib, kamu boleh menyamarkannya, tapi, jika pun tidak, kami akan tetap menyimpan buku kalian di sini, dan jika kalian tertulis pernah melakukan pelanggaran hukum, kami tak akan melaporkannya pada pihak polisi, nantinya, buku kalian akan kami bacakan pada adik kelas selanjutnya, sisanya, sebisa mungkin kami akan membantu kalian dalam menyelesaikan masalah hidup,“ lanjutnya menerangkan seterang-terangnya.
Aku serta Anka terdiam, larut dalam perenungan penuh tanya.
”Jadi Laisa, tulis bukumu dan ajak teman-temanmu, tapi kalau teman-temanmu tidak mau bergabung, kamu jangan paksa mereka, carilah temanmu yang sepertinya punya banyak masalah,“ pinta Guru Sukada dengan pandangan serius.
Yang memang aku meragukan kalau teman-temanku hidup tanpa masalah, bahkan ragu, tentang siapa temanku yang paling banyak masalah, betapa tidak, mereka bernapas saja sudah mendapat banyak masalah.
Satu detik aku terdiam bersama Anka yang termenung, lalu lima detik kesunyian merebak di ruangan bawah tanah ini, aroma buku yang khas pun terasa kuat di hidungku atau mungkin ini aroma kejenuhanku, tak ada yang bicara, sepertinya Kak Farka dan Guru Sukada menungguku untuk bicara.
”Guru, apa sekarang boleh pulang?“ sebuah pertanyaan yang muncul dari kejenuhanku, kata-kata yang mungkin tidak bersentana aku gaungkan.
Di sana, pada kedua wajah manusia laki-laki yang berdiri memandangku, nampak menyiratkan keterkejutan pada kalimatku, Guru Sukada menekan kacamatanya dengan jari telunjuknya, supaya tetap melekat erat pada wajah ovalnya, sedangkan Kak Farka hanya menyunggingkan semunyuman tipis dari bibir merah jambunya. Aku memang ingin pulang, cukup bagiku mengetahui bahwa buku autobiografiku dibuat untuk perpisahan sekolah, tanpa perlu tahu alasan-alasan nyeleneh yang seolah-olah untuk mengindahkan sebuah buku autobiografi. Aku tahu betul bahwa semua buku yang di sini ujungnya akan menjadi sampah juga, dan tak ada orang-orang yang mau membaca buku buatan anak-anak bermasalah.
Maka setelah mendapat izin untuk pulang dari Guru Sukada, aku serta Anka akhirnya berpampitan, kami pulang tanpa banyak bicara lagi, kecuali Guru Sukada dan Kak Farka yang masih betah berlama-lama dalam ruangan dingin itu, entah mereka akan melakukan apa, mungkin mereka akan memakan semua buku yang ada, karena sedari tadi aku lihat, mereka seperti menahan lapar.
• • • • • • • • •
Pukul 14:38 aku serta Anka telah berada di luar sekolah, aku menunggangi sepedaku, sedangkan Anka jalan kaki menuju kompleks Hanataba.
Hari yang membosankan telah aku lewati, seluruh tulisan-tulisan yang katanya ilmu pengetahuan telah membuatku muak, dan kini aku akan pulang, bertemu rumah, lengkap dengan pemiliknya yang tampan, yaitu suamiku.
'KRING-KRING-KRING'
Rumahku agak jauh dari SMA Lily Kasih, kira-kira cukuplah membuat seorang pemalas berkeringat hanya gara-gara berjalan kaki menuju sekolahnya, memang, seharusnya aku bersekolah di SMA Pekerti yang notabene lebih banyak murid, sekaligus jarak terdekat dengan rumahku yang berada di perumahan elite kota Artana.
SMA Pekerti, sekolah yang katanya dikerubungi oleh manusia-manusia 'gaul' dan sekolah yang paling favorite di kota Artana, sampai-sampai wali kota saja merelakan anaknya didik di SMA Pekerti, padahal menurutku pribadi, pandai dalam mencari uang, itu sebuah kunci pendidikan.
Kota Artana adalah kota penuh rahasia, segudang sejarah penting telah ditorehkan oleh kota ini, mulai dari kota dengan tingkat kriminal tertinggi, hingga kota dengan kasus bunuh diri terbanyak, sementara untuk masalah politiknya sih, tak bisa aku jelaskan, kerumitannya sama dengan Matematika, satu angka salah bisa salah semuanya.
'KRING-KRING-KRING'
Bel sepeda kembali aku gaungkan, sebuah rumah mewah nan megah peninggalan orang tuaku, menjadi destinasi akhir perjalananku, aku sudah sampai! Setelah aku membuka kunci gerbang, tentunya ku geser gerbang hitam setinggi tiga meter ini sekuat tenaga, memberi ruang cukup untukku serta sepedaku agar mampu melewatinya.
Rumahku memiliki dua lantai, eksterior rumah bernuansa putih abu-abu bergaya modern, halaman rumahku bahkan seluas lapangan sepak bola yang memang hanya ditumbuhi rerumputan hijau dengan satu buah pohon mangga sebagai pemanis, yang terpancang tepat di dekat jalan setapak menuju pintu masuk, kadang aku berpikir untuk pindah rumah, betapa tidak, sungguh konyol jika aku harus berkeringat hanya untuk pergi ke gerbang depan rumah, jauh dan malas, itu gambaran yang tepat atas rumah megahku.
Untuk halaman belakang rumahku, terdapat sebuah kolam renang berukuran sepuluh kali dua belas meter, yang konyolnya, malah aku isi dengan gerombolan ikan laut, tentunya aku selalu kena marah suamiku kala setiap kali aku memasukkan ikan laut yang baru, bukan tanpa alasan aku mengganti kolam renang manusia, menjadi kolam 'makhluk berair' sebab, aku lebih suka melihat kehidupan laut, ketimbang mengotori kolam dengan tubuh manusia, ralat! Airnya sudah aku ganti dengan air laut, dan satu bulan sekali aku menggantinya.
Satu lagi yang dunia harus tahu! Bahwa di samping kolam renang terdapat kebun bunga, aneh sih, kalau nyatanya aku serta suamiku selalu menganggap itu taman bunga, tapi sungguh, itu kebun bunga, sebab setelah bunga bermekaran aku memandanginya bersama suamiku, entahlah, aku tak begitu paham antara taman bunga atau kebun bunga, yang penting bagiku, aku dan suamiku selalu senang memilikinya.
Aku membuka pintu garasi, suamiku tampaknya belum pulang kerja, bisa dipastikan lewat kekosongan garasi yang harusnya mobil jip hitam suamiku berada di sini, garasi rumahku sendiri berada di samping rumah, lengkap dengan jalan beraspal yang terhampar lurus dari gerbang belakang rumahku, sehingga mudah bagi kendaraan roda empat untuk hilir mudik dari garasi menuju jalan raya.
Setelah kusandarkan sepedaku ke dinding garasi, aku lantas membuka pintu yang tersambung langsung dengan dapur rumahku, tanpa menutup pintu garasi kembali, aku melangkah menuju area dapur bergaya modern, sekadar untuk menyempatkan meneguk sebotol air mineral yang seperti biasa suamiku taruh di atas kompor listrik.
Dan lagi-lagi, dapur sekaligus ruang tengah nampak kotor, berantakan, empat bantal sofa tergeletak di lantai, hingga sisa keripik kentang nampak bertaburan di atas karpet bercorak bunga matahari, ini semua karena ulahku dan suamiku yang semalam kami joget-joget enggak jelas hanya demi menikmati sebuah lagu. Meski begitu, konyolnya aku langsung menuju kamarku, terlalu malas untuk merapikan sesuatu yang nanti berantakan lagi, kecuali itu berharga bagiku.
Interior rumahku bernuansa cokelat juga hijau, cat dindingnya seputih kapas, lantainya terlapisi keramik berwarna biru langit dan seluruh benda-benda di rumahku, memang terkesan antik dan elegan, namun seluruh interior rumah, lebih didominasi oleh lukisan pemandangan alam, kesukaan orang tuaku, yang pastinya, dalam rumahku ini cukup luas, hingga terdapat banyak ruangan, kira-kira lima belas ruangan menjadi bukti kemegahan rumah kami.
Aku melempar tas gendong ke atas kasur besarku, hingga menimbulkan suara 'bruk' bahkan aku pun ikut merebahkan tubuh lelahku bersamanya.
'TRING'
Sontak aku langsung memeriksa ponsel pintarku, Anka, si laki-laki pendek berkulit albino pengidap metrofobia, ternyata mengirim pesan padaku.
Anka: ”Apa ketua mau membuat buku autobiografi?“
Aku: ”Iya, lagi pula, nggak ada salahnya, malas sih memang, tapi, seenggaknya aku punya sesuatu untuk dikenang sama sekolah.“
Anka: ”Itu bagus, apa aku boleh bergabung?“
Aku: ”Ya tentu, kenapa tidak.“
Anka: ”Bagaimana dengan teman-teman yang lainnya?“
Aku: ”Sabtu akan aku tanyakan.“
Anka: ”Ha? Kok Sabtu? Kenapa nggak besok saja?“
Aku: ”Besok kita mabal yuk, aku ingin jalan-jalan ke pusat kota, siapa tahu ada makhluk air yang lucu.“
Anka: “Waduh, seminggu lalu bukannya kita sudah ke sana?”
Aku: “Oh ya sudah, kalau nggak mau biar aku saja.”
Anka: “Oke-oke aku ikut.”
Setelah pesan itu, aku langsung terduduk bersila di kasur, masih memeriksa ponsel pintarku.
Tenang! Aku sudah membuka sepatu taliku yang kugeletakkan di garasi, jadi seperai kasur tak terkotori.
Aku memang enggan untuk mengganti pakaianku, kaus kaki warna putihku pun masih terbungkus mantap di kaki imutku.
Anka: “Oh iya! Siapa sih nama kakak kelas yang tadi kita temui? Dia kok nggak memperkenalkan diri? Padahal dia yang ngajak kan?”
Aku: “Itu Kak Farka, dia mungkin buru-buru, jadi nggak sempat mengenalkan dirinya, lihatkan kalau dia pakai jas, jadi pasti dia orang sibuk.”
Anka: “Mungkin.”
Anka hanya menjawab dengan singkat, hanya saja ada satu pertanyaan dalam kepalaku yang mengganjal, jelas aku langsung tuangkan dalam ponselku.
Aku: “Anka, kenapa kamu mau menulis buku autobiografi?”
Butuh waktu tiga menit untuk mendapat jawaban dari Anka.
Anka: “Aku juga ingin dikenang, ya, walaupun kenanganku pahit, atau malah tidak berharga, tapi, seenggaknya aku pernah meninggalkan karya.”
Aku: “Hmmmm, alasan yang unik.”
Anka: “Terus, apa alasanmu?”
Aku: “Loh, diawal kan sudah aku beri tahu, aku ingin dikenang.”
Anka: “Seperti Loze, kehidupannya ingin dikenang.”
Aku: “Mirip, tapi nggak sama, dia mah memang punya penyakit.”
Anka: “Hehehe.”
Tiga menit setelah Anka menjawab pertanyaanku, tiba-tiba dia mengirim pesan kembali, dan aku tak menyukai isi pesannya.
Anka: “Ketua kelas, apa mungkin kutukan itu ada? Soalnya Kak Farka sendiri sudah kehilangan dua temannya?”
Aku: “Sudah ahk, jangan bicara yang aneh-aneh.”
Dan itu pesan terakhir kami, sebab aku harus bersiap-siap untuk memasak di dapur demi suami tercinta.
Pastinya aku tetap menggunakan seragam sekolah, bahkan masih malas untuk beres-beres rumah.
Biar kucengkram tangan kirimu Laisa
Biar kucengkram pula tangan kananmu
Biar aku gila biar aku senang Laisa
Maka aku genggam erat kedua tanganmu Laisa
Tak apa kau meludahiku
Tak apa kau memusuhiku
Meski kuberbeleng aku tetap mengagumimu
Meski kunampak jelek kutetap mengejarmu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Li Na
like
2020-06-24
0