Lima belas menit adalah waktu yang biasa aku habiskan untuk mandi, aku mandi di kamar mandi kamarku, dan baru aku ingat, bahwa aku belum menulis buku autobiografiku, ya, itu cukup penting bagiku, mengingat bahwa aku pun ingin membuat sejarah seperti kakak-kakak kelasku terdahulu, sehingga, setelah aku mengenakan seragam sekolahku kembali, aku menuju kasurku, memang terbilang aneh, mengetahui kalau aku masih mengenakan seragam sekolahku, bukan berarti aku tidak punya baju bagus, hanya saja, sekali lagi, aku tegaskan, aku ini gadis pemalas, dan terlalu malas untuk mengganti pakaian luarku yang ujungnya besok dikenakan lagi, kecuali, hari libur.
Syukurnya seragam sekolahku yang tadi sempat basah oleh cipratan air sewaktu bermain di kolam renang, kini telah kering.
Aku duduk di bibir kasur, kutuliskan autobiografiku tepat di ponselku saat ini juga.
Kuceritakan awal kelahiranku, sampai kuceritakan seluruh awal kehidupanku bersama orang tuaku yang baik hati, hingga waktu terus berputar bersama tulisan yang kubentuk, sampai tak terasa suamiku telah pulang ke rumah, dia sempat mengatakan kalau dirinya akan mempersiapkan perlengkapan acara malam ini di halaman belakang, nah sementara aku menunggu, aku melanjutkan menulis autobiografiku.
Pada akhirnya, setelah kami melangsungkan kegiatan ritual ibadah yaitu salat isya, aku dan suamiku bergandengan tangan menuju halaman belakang, memang agak menggelikkan sih, kalau nyatanya, hanya untuk ke halaman belakang rumah saja, harus bergandengan tangan, tapi itu tak masalah, selama itu suamiku, aku senang menerimanya.
Pintu kaca aku buka, kami memasuki area teras, namun kala mata biruku mengedarkan pandangan ke arah kebun serta kolam renang ikan, tak ada meja romantis atau benda-benda yang berhubungan tentang makan malam hari ini.
“Laisa kemari,” seru Harfa dari arah kiriku.
Maka saat kutolehkan wajah heranku ke kiri, rupanya, kudapati suamiku telah menyiapkan tempatnya, tepat di teras belakang rumah, dan konyolnya, hanya ada sebuah sofa panjang nuansa biru, tanpa meja, tersandar di dinding rumah, malah tak ada lilin romantis atau lampu romantis, penerangan di sini mengandalkan lampu dinding yang telah berpendar terang bersama lampu di seluruh rumahku.
“Loh, nggak biasanya ...,” ucapku keheranan sembari melangkah menghampiri suamiku.
Penampilan suamiku pun masih sama seperti tadi pagi, ia masih mengenakan kemeja kerjanya, lantas kami duduk secara bersamaan di sofa.
“Rasa baru, sensasi baru, nah hari ini kita akan menikmati hidup,” ujar suamiku sambil memberiku cangkir kosong bergambar terwelu.
Ia juga memegang cangkir serta sebotol cokelat hangat, tak lupa ia menuangkannya pada cangkir kami, setelah ia menaruh botol cokelat di samping sofa, dia menyesap secangkir cokelatnya dengan begitu meresapi citra rasa yang singgah di lidahnya.
Suamiku duduk di samping kiriku, sampai-sampai bahu kami bersentuhan, aku masih terpaku menatap wajah tampan suamiku dari samping, tapi, entah mengapa, kali ini dia benar-benar terlihat sangat tampan!
Mungkin ini berangtaku saja yang meningkat, jadi aku mengusahakan kembali kesikap biasaku, itu berhasil, aku menyesap secangkir cokelat hangatku, dan memandang kebun bungaku yang nampak tertata rapi, kebun bungaku sudah aku pasang lampu taman disetiap sudutnya, sehingga memungkinkanku untuk dapat melihat digelap malam.
Dalam renunganku, kala hati tersemat kedamaian, tiba-tiba jauh dari dalam otakku, ada isyarat kejanggalan yang hingga kini masih menyeruak dalam benakku.
“Harfa ... sampai sekarang aku masih ragu untuk memanggilmu dari namamu, kesannya terasa tak sopan, ak ...,” penjelasanku dipotong.
“Tidak, tidak ....” suamiku Harfa memotong penjelasanku secara impulsif.
Seketika kupandang samping kanan roman suamiku.
“... kita sudah pernah membahas ini kan ...,” kata Harfa serius masih memandang jauh ke depan.
“... aku ingin terlihat muda di depanmu, untuk saat ini, sampai kamu lulus SMA, aku ingin dipanggil namaku saja, kalau pun kamu tetap bersikeras ingin memanggilku dengan sebuah sebutan, nanti saja kalau kamu sudah lulus.” suamiku kembali mengingatkanku dan itu harus aku setujui.
Memanggil nama memangnya bisa terlihat muda? Pertanyaan tak masuk akal itu terjawab hanya gegara mengikuti permintaan suamiku, tepatnya perintah sang suami.
Memang sejak pertama memulai berumah tangga, kami saling memanggil nama masing-masing, tak ada panggilan sayang atau pun semacamnya, awalnya terasa tak enak, apalagi suamiku lebih tua dariku, sehingga kesannya aku tidak tahu adat, hanya saja seperti yang sudah diutarakan suamiku, dia ingin tetap terlihat muda sama seperti masa SMA-ku, dan itu hanya dikhususkan untukku.
”Ya, tapi ....“ ucapanku belum tuntas dan pandanganku tertunduk merenung, aku masih merasa aneh.
Melihatku terlihat murung, suamiku tercinta, menghadapkan setengah badannya padaku, cangkirnya ia alihkan ke tangan kirinya, kemudian tangan kanan kokohnya, tepatnya, jari jemarinya mencengkram muka lutut kiriku, dan betapa anehnya menyadari jantungku tiba-tiba berdebar-debar, napasku pun terasa menghangat, hingga kucengkram cangkirku erat-erat, pikirku ini karena sentuhannya yang tak terduga.
”Sudah ... nggak perlu dipikirkan, kadang kesopanan itu harus dilanggar demi kenyamanan si pengguna,“ ujar suamiku dengan kata-katanya yang begitu meyakinkan sampai-sampai membuatku kembali tenang, tetapi agak aneh mendengarnya.
Butuh tiga detik untuk menerima baik-baik perkataan suamiku, sebelum akhirnya aku kembali kesikap antusiaku, ya, cukup antusias, walau hari ini tak seperti ekspektasiku.
”Oh ... ya sudah! Kalau suamiku inginnya begitu.“ aku memandang suamiku dengan senyuman ceria dan degup jantungku mulai normal kembali.
Akibatnya, kami saling bertatap muka, dua jengkal adalah jarak untuk suamiku bisa mengecupku kalau dia mau, wajah suamiku terpampang santai nan menawan, dan aku memasang muka terkagum-kagum, memandang netra hitamnya dengan perasaan senangku yang berkantaran, Harfa suamiku selalu membuatku damai, pria ini adalah cinta pertamaku, belum pernah aku jatuh cinta pada pria lain kecuali pada suamiku.
Fakta pentingnya, suamiku juga sudah tahu jika aku mengidap atelofobia, itu pun sejak baru-baru ini, dan syukurnya tak ada masalah sejauh ini.
Keheningan, damai penuh cinta, itu yang kami alami kala kami masih asyik saling menatap dengan intens, menghabiskan tujuh detik lebih hanya demi bisa saling menatap, secara mendadak dari dalam benakku berangtaku kembali bergejolak, tatapan tajamnya membuat jantungku kembali berdegup impulsif, tetapi untungnya napasku masih teratur, tak lama berselang, tatapan penuh cinta kami berakhir bersama senyuman tenang di wajah Harfa.
Dia kembali ke posisi duduknya semula, tangan kokohnya sudah tak menjamah lututku lagi, pandangannya ke depan tanpa sempat mengecupku, mengingat hanya baru dua kali dia mengecup keningku, itu terjadi saat acara pernikahan, selepas itu tak pernah lagi, akan tetapi, sebelumnya, aku pernah mengecup pipi kaku suamiku, itu juga hanya tiga kali saat dia tertidur, semua perbuatan kasih sayang itu masih bisa dihitung oleh jari, sebenarnya tak masalah buatku, terpenting adalah tetap harmonis menjalani kehidupan berumah tangga.
“Nah ... sekarang, coba kamu rasakan embusan napasmu saat bersamaku,” saran suamiku.
“Hmmmmm ....” aku melenguh, tapi mengikuti apa yang suamiku minta.
Sebelumnya, aku berusaha menenangkan diriku dari degup jantungku yang sempat menggebu, napasku, pikiranku, otot-ototku pun tak lepasnya kuusahakan agar redam menjadi tenang.
Pelan tapi pasti, cangkir berisi cokelat hangat masih kupegang dengan tenang, menyandarkan punggungku ke sofa, memandang ke depan, semuanya pelan-pelan kubuat se-rileks mungkin, kemudian, kuusahakan untuk merasakan setiap embusan napasku yang keluar masuk lewat hidungku, aku menikmati detik-detik saat ini bersama suamiku, sampai aroma parfum bunga mawarnya menelusuk hidungku, mengalir dalam tubuhku, sampai-sampai merasakan kenyamanan luar biasa, Harfa benar-benar membuatku merasakan sensasi kehidupan, sebuah hidup yang damai dalam berumah tangga, kami tak banyak bicara, hanya duduk berdua menikmati aliran napas yang memenuhi paru-paru kami.
Meski sederhana, meski kami lagi-lagi hanya makan mie instan seadanya, namun, kebersamaan kami sangat harmonis, malam itu, aku merasakan apa yang dirasakan oleh suamiku, hidup tenteram di samping orang yang dicintai, itulah yang kami rasakan!
Aku bernapas dengan damai bersama suamiku, dingin malam itu jadi terasa hangat, dan hidup saat itu terasa bahagia.
... ... ...
Waktu berputar kembali, membawaku pada keseharianku selanjutnya, keesokkan harinya, di hari Sabtu, kala pelajaran sekolah telah berakhir, tepatnya pukul 16:01 senja hari sepulang sekolah di kelas 12 SMA, seluruh murid masih betah di dalam kelas, betapa tidak, sang ketua kelas, yaitu aku, meminta mereka untuk hadir dalam sebuah muktamar penting ini.
Aku berdiri di depan kelas, berdiri penuh percaya diri, sembari berkacak pinggang memandang seluruh teman-temanku dengan serius, mungkin apa yang akan aku ucapkan terkesan nyeleneh, tapi, tetap akan aku ucapkan.
“Ini menyangkut perpisahan sekolah, sebelas bulan lagi ...,” ujarku dengan lantang berharap seluruh pasang telinga mendapat vibrasi sempurna dari kata perkataku.
Tak ada yang bicara, teman-temanku fokus memerhatikanku, kecuali, Anterta, duduk mengedik mendongakkan wajah memandang langit-langit dengan mata ngantuknya yang memang dia tak mau mendengarku, kehadirannya, semata-mata hanya sebatas penghormatan pada gelar ketua kelas yang aku sandang, tetapi, setidaknya dia hadir.
“... aku ingin mengajak kalian untuk membuat proyek perpisahan sekolah, mari kita buat buku autobiografi!” ungkapku blak-blakan berharap ajakkanku diterima baik-baik.
Teman-temanku termangu beberapa saat, duduk manis di bangku mereka, tanpa adanya tanggapan berarti, setelah detik telah sampai pada hitungan ketujuh, hanya seorang pria bermata hitam sipit senada dengan warna rambut pendeknya yang agak keriting itu, Anka sahabatku, dia yang berdiri dengan bangga menatapku dalam kesungguhan.
“Aku bergabung!” katanya penuh antusias.
Toh Anka memang sudah bergabung sejak senantu, hanya saja, kali ini, dia ingin memancing teman-temannya untuk bergabung.
Sayangnya, hingga lebih dari sepuluh detik kami menunggu, masih tak ada satu pun murid yang ikut bergabung, seluruh raut muka nampak datar, acuh tak acuh.
Anka yang duduk di bangku samping mejaku, dia mulai celingak-celinguk penuh keheranan pada teman-temannya.
Mengapa tak ada yang ikut? Atau setidaknya menanyakan tujuan proyek itu dibuat?
“Ketua kelas! Memangnya kenapa untuk perpisahan sekolah kita malah buat buku autobiografi?” Anka bertanya, seolah belum tahu tujuannya, dia berusaha membangkitkan interes teman-temannya.
Maka kupasang muka serius, menarik napas kuat-kuat berusaha tetap tenang, lalu mengembuskannya dengan kesiapan menerima seluruh keputusan teman-temanku, bagaimana pun, ini memang harus serius.
“Pertama, agar adik kelas kita nanti mengenal kakak kelas mereka, tepatnya, perjuangan kakak kelas mereka, kedua, kita mencatat sejarah,” tuturku penuh kesungguhan dengan penekanan disetiap kata.
“Hem ... itu hebat!” sanjung Anka, yang pada dasarnya untuk memperkuat daya tarik ucapanku.
“Ya, tengcatat sengbagai orang bodoh danglam sengjarah,” gumam Anterta meledek, meski suaranya pelan kupingku masih jeli menangkapnya, bahkan suara sengaunya detil terdengar kupingku.
”Hehehe ....“
Anterta berhasil membuat beberapa murid laki-laki terkekeh berkat sindirannya, tapi mereka agak menunduk menyembunyikan tawanya, takut kalau-kalau aku membentak.
Asal tahu saja, aku kalau sudah marah bisa sangat anarkis melebihi orang kerasukan.
”SUNGGUH, TIDAK LUCU Anterta,“ tukasku dengan lantang agar seluruh murid tahu aku tidak ingin bercanda dalam hal ini dan itu sambil memandang jijik pada Anterta.
Tapi, sayangnya, kesunyian kembali merebak di kelas ini, murid-murid membisu seperti patung lilin.
Anterta, si laki-laki berambut hitam gimbal yang tubuh kurusnya terasa seperti kurang gizi, masih betah menatap-langit-langit kelas, entah gunanya apa, tapi lehernya masih kuat menahan kepala mendongaknya tanpa pegal.
Stovi si gadis babil, gadis berambut pirang cerah dengan mata biru sebulat kancing kemeja sekolahnya, tetap asyik memainkan ponsel pintarnya, dia tak peduli.
Elpan pria absurd, berbadan tegap, berkulit cokelat eksotis, memandangku dengan santai tanpa ada kata yang terucap, entah apa yang dia pikirkan, yang jelas dia belum berkomentar.
Oteda, pria gemuk berbadi seekor siput, rambut hitamnya selaras dengan netra hitam legamnya yang memancarkan masa bodoh, dia menatapku, tapi tatapannya berusaha mengintimidasi agar maktumar ini dibubarkan.
Sentia, gadis berambut hitam sepundak, gadis bergigi tonggos sama sekali tak memberikan komentar apapun.
Kily, gadis culas, berambut hitam panjang bergelombang, yang malah memasang muka senderut sembari bersedekap menyilang, dia diam, menatapku tapi tak ada hal yang berarti darinya.
Oqde, laki-laki kikuk, berambut krem acak-acakan yang celingak-cilinguk seperti mencari sesuatu, dia memang aneh, aku pun tak tahu kenapa dia celingak-celinguk.
Nuita, si gadis berkulit kuning langsat, berambut krem panjang dengan poni yang berjurai rata di dahinya, penderita filofobia itu juga terdiam, dia menatapku, tapi, dia hanya terdiam.
Tozka laki-laki pendek dengan wajah penuh jerawat hingga rambut hitamnya terkesan seperti bulu landak, mengidap teofobia, memandangku dengan dagu terangkat, ia memberi kesan bongak, tapi konyolnya aku malah ingin tertawa, bagaimana tidak, melihat wajahnya seperti itu, mengingatkanku pada muka seekor kuda zebra yang tayang di acara TV.
Ovy si gadis keibuan, gadis bertubuh sintal berambut panjang kecokelatan, sang pengidap noverkafobia, ahk, dia sama saja dengan gadis lainnya, terdiam seperti kehilangan jiwa.
Loze, laki-laki berwajah oval nan tirus, satu-satunya manusia berkepala botak di sekolah ini sang pengidap atazagorafobia, dia sepertinya ingin ikut bergabung, tapi, dia ragu, atau mungkin malu.
Cludy, gadis dengan rambut panjang seputih awan di langit, pengidap nefofobia, memandangku sangat serius, tapi tak ada jawaban apapun.
Azopa, anak paling bijak dan seorang juara kelas selama tiga tahun berturut-turut, mata hitam bulat seperti gerhana bulan, rambut hitam pendek sekelam mimpi kegelapan.
Dia berdiri memandangku!
Ya, kita jual kata-kata untuk kepentingan pribadi
Ya, kita duduk berdua menikmati dosa penuh percaya diri
Ya, kita bernapas untuk menyenguk polusi
Ya, kita bangga sebagai pendosa
Mari kita nyanyikan sejarah kemunafikan
Lalu melayang diudara sampai mabuk
Aku ingin berdansa denganmu di neraka
Atau kita musnahkan surga hingga hanya kita yang ada
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
10 like plus rate 5 👍😍❤️
2021-03-10
1
Li Na
💪💪 lanjuut
2020-06-28
0