”Maaf Kak, tahu dari mana kalau kami berada di mal?“ tanya Anka menyelidik.
Memang agak aneh sih, kala nyatanya Kak Farka bisa datang tepat waktu.
Kak Farka masih sengap, tanpa respons berarti. Padahal aku rasa, sudah lebih dari empat detik dia terdiam dan aku masih belum tahu ekspresinya seperti apa.
Satu hal yang pasti! Aroma wangi bunga mawar yang sama persis seperti suamiku, semerbak di dalam mobil ini, sialnya, aku merasa Kak Farka sama-sama memakai parfum yang identik seperti suamiku, bagiku ini tentu menyebalkan, itu artinya dia berusaha menyaingi suamiku.
”Kakak menguntitku ya! Kakak juga berusaha menyaingi suamiku ya!“ Aku meradang kesal. Betapa tidak, selama kehadiran Kak Farka aku malah seolah-olah merasa selalu diawasi.
”Pertama, kakak sedang berada di mal, di butik milik kakak, jadi hampir setiap minggu kakak melihat kelakuan konyol kalian, kedua, kakak tidak ingin menguntit siapapun, ketiga, kakak tidak ingin menyaingi suamimu, apa itu jelas nona muda?“ ujar Kak Farka dengan penekanan disetiap kata, yang masih membelakangi kami, dia membela dirinya sendiri.
Sayangnya, aku masih tidak terima dengan setiap penggal kata yang terucap dari mulut Kak Farka, lebih dari itu, aku langsung keluar dari mobil, tanpa ucapan perpisahan, tanpa ucapan terima kasih, yang jelas, aku gusar dan entah mengapa, perasaan benci malah mulai tumbuh dalam diriku, untuk saat ini, aku membenci kehadiran Kak Farka -kehadirannya yang malah menceramahi kami- seolah dia tidak pernah muda, itu saja.
Pastinya Anka sahabatku pun ikut keluar dari mobil, bedanya, dia berterima kasih pada Kak Farka, mungkin itu hanya sebatas adat kesopanan saja, atau mungkin Anka bersyukur atas pertolongan Kak Farka.
Aku melangkah menuju sepedaku yang memang agak jauh dari mobil Kak Farka, pun melenggang dengan wajah senderut, diikuti oleh Anka dari belakang, bagai seekor anjing yang mengikuti majikannya.
Suasana di depan restoran Jepang ini cukup sepi, namun tempat parkiran telah dipadati oleh mobil-mobil pribadi, sesampainya aku di samping sepedaku yang bernuansa biru langit, berdiri bersedekap menyilang dan memasang muka senderut adalah perbuatanku saat ini.
Rambut panjang kremku tersibak oleh embusan angin, tertiup bagikan rambut yang menari-nari bersama angin, bahkan untuk itu, kulit senantanku, merasakan kesejukan dari tiupan angin, betapa sejuknya kali ini, amarahku yang berkantaran, bagaikan diredam hanya oleh angin, namun cukup disayangkan, kala faktanya, amarahku tak bisa sirna semudah itu.
Netra biruku, terarah pada sahabat setiaku, dia mendekat padaku bagaikan aku kekasihnya, wajah mulus Anka nampak santai, namun senyuman tipis sempat ia kembangkan, mengembang hanya untuk aku, sebuah senyuman bahwa keadaan baik-baik saja, itu yang dia lakukan demi kami, lebih dari itu, dia seperti bisa menerima seluruh teguran Kak Farka, dia laki-laki beralah, mirip seperti suamiku, tapi tidak dengan ketampanannya. Aku pun sangat bersyukur memiliki sahabat yang setia seperti dia, aku mencintai Anka, juga menyayanginya, tetapi hal itu, hanyalah sebatas cinta dan sayang pada sahabat, tidak lebih seperti perasaanku pada suamiku.
”Ayo kita pulang,“ kataku dengan lantang nan tegas, tentunya aku masih senderut.
Anka mengangguk, menerima permintaanku tanpa ada protes sedikit pun, ia menggantungkan kembali tas gendongnya di setang sepeda, sekaligus menyingkap standar sepeda, ia juga memundurkan sepeda mencari ruang agar mudah untuk pergi, maka, aku kembali duduk di jok belakang, duduk menyamping dengan kembali bersedekap menyilang, aku menyiah rambutku, mengokohkan tas punggungku agar menempel kuat-kuat di punggungku, membuat kondisi senyaman mungkin.
'KRING-KRING'.
Sepeda melaju, kami pun pulang ke rumah, tapi tunggu, tak disangka, saat mataku memandang ke arah mobil Kak Farka, aku mendapati seorang wanita muda penuh ceria, tengah keluar dari restoran Jepang, lebih-lebih, penampilannya pun nampak anggung dengan gaun nuansa merah, lengkap dengan menjinjing tas jinjing kulit ularnya, ia menghampiri tepat ke arah Kak Farka, entah dia siapanya Kak Farka, yang jelas, mereka nampak akrab.
Pada akhirnya, hari ini kami telah berhasil meluapkan kegembiraan di pusat kota Artana, tadinya aku berniat ingin membeli ikan laut lagi, hanya saja, ketakutan terhadap amarah suamiku adalah yang menghentikanku untuk melakukannya, sehingga, pesta di mal, menjadi penutup kegembiraan kami, padahal sih, masih ada beberapa ritual lagi untuk menyempurnakan kegembiraan kami, seperti bermain di wahana pusat kota Artana, atau menonton film di bioskop.
Betapa sialnya aku, penyakit atelofobiaku seketika kambuh, membuat batinku sangat gelisah, pikiran kalutku tentang teguran Kak Farka, memberiku sugesti bahwa hari ini kegiatan berjalan tidak sempurna, memang sih ada waktu untuk kembali bersenang-senang, kendati begitu, suasana hatiku sudah memburuk, maka pulang adalah jalan terbaik demi merekondisi suasana hatiku, Anka pun tak mengeluh, dia tahu karakterku, jadi dia ikut-ikut saja, konyolnya, karena pikiran kalutku terhadap tidak sempurnanya hari ini, aku malah menyalahkan Kak Farka yang telah mengacaukan semuanya, untaian kata-katanya telah menyinggung jiwa mudaku, dia bertanggung jawab untuk ini.
Aku mulai bergigit dengan resah, rahangku mengeras, kucengkram muka lutut sekuatnya, aku tak tahan dengan pikiranku ini, mungkin seharusnya tak perlu ada yang disalahkan, begitu pun diriku sendiri, hanya saja, rasa tidak puas membuatku sulit untuk melalui ini semua.
Atau mungkin ini hanya gejolak emosiku sebagai anak muda yang merdeka, tak ingin dikekang, tak ingin dimarahi, tak ingin diperintah, hanya ingin merdeka, menikmati masa muda tanpa intervensi, tanpa interupsi, tanpa interdiksi, dan menikmatinya sampai puas.
Hingga perasaan gundahku menutupi alam sadarku, melupakan bagian-bagian penting pemandangan perjalanan pulang, terasa waktu melipat dengan cepat, dan menyentak lamunan bayang-bayang kegelisahanku, membuatku terkaget tak menyangka, kalau nyatanya kami sudah tiba di depan gerbang rumahku.
”Nah, sampai jumpa besok, Laisa,“ kata Anka sembari turun dari sepeda dengan tetap menggengam setang sepeda.
Aku turun dengan wajah senderut, pandanganku nanar pada setang sepeda, bergigit dengan napas mendekus, batin halusku masih merintih gelisah, bayang-bayang ketidak-sempurnaan terus menggelayut dalam alam pikirku, dalam keadaan begitu, kurengkuh setang sepeda, dan Anka tengah mengenakan tas gendong sekolahnya.
”Hari ini sempurna, karena kita berhasil bersenang-senang,“ ungkap Anka berusaha menenangkanku yang memang telah menyadari keresahanku, dia sahabat yang paling pengertian, tentu saja pengertian, karena hanya dia satu-satunya sahabatku, dia bahkan temanku sejak kecil.
Secara refleks kutolehkan wajah penuh syukurku menatapnya, berniat melihat seperti apa raut mukanya. Mata hitam sipit selaras dengan warna rambut pendeknya yang agak keriting itu, di wajahnya yang mulus telah tersungging senyuman simpul tanda semuanya baik-baik saja, uniknya, matanya akan terpejam bila ia mengembangkan sebuah senyuman, Anka pria berwajah oriental, anak yang lebih cerdas dariku namun tidak lebih pintar dariku, punya keluarga yang agak kacau, terbilang kacau hingga agak ngeri untuk menceritakan kehidupan masa kecilnya.
Ibunya seorang penulis, ayahnya seorang polisi, tetapi, kedua orang tuanya sering cekcok perihal sang ayah yang sering bersama wanita lain, itu pun sang suami memang memiliki teman wanita yang terbilang banyak, sampai suatu ketika, ibunya menulis banyak puisi, sampai-sampai mengurung diri tiga bulan penuh hanya demi menulis, dan setiap selesai merampungkan puisinya, sang ibu saat itu juga akan langsung mendeklamasikan puisinya, suaranya yang bergema selalu membuat Anka mengintip dari celah pintu hanya demi melihat keanehan ibunya, mata sipit Anka sanggup tak berkedip, dia terbawa oleh aura atau kata-kata dari sang ibu, akan tetapi, betapa mirisnya mengetahui bahwa faktanya, setiap sang ibu selesai mendeklamasikan puisinya, sebuah pukulan disertai rengekkan akan dilakukan oleh sang ibu, menghajar dirinya sendiri karena tak bisa membuat suaminya betah tinggal di rumah, sang ibu selalu menyiksa dirinya sendiri setiap menyelesaikan satu larik puisi, seluruh kegundahannya ia tuangkan dalam puisi, sampai dia lupa, bahwa ada anak kandungnya yang kelaparan. Kala tiba di malam ke 30, saat Anka mengintip dari balik pintu, ia menilik sang ibunya yang mendeprok di lantai, tengah mendeklamasikan puisi penuh penghayatan, air matanya telah mengering terasa habis oleh perasaannya sendiri, rambutnya acak-acakan bagai bulu landak, mukanya pucat, dan suaranya sengau, meski penampilannya nampak berantakan, tetapi sang ibu begitu berkantaran dalam mendeklamasikan puisinya, sampai-sampai Anka bergidik ngeri, ketakutan yang berpadu dalam terkesima, tetapi sungguh disayangkan, ketika untaian kata-kata telah bersua dengan ujungnya -ketika seluruh bait puisi telah diutarakan- kala selesai mendeklamasikan puisinya, entah apa yang ada dalam pikirannya, sang ibu bunuh diri dengan sebilah samurai yang menembus dadanya.
Nah, dari situlah Anka mulai benar-benar membenci puisi, paranoid akhirnya fobia, baginya, puisi hanya membuang-buang waktu, ucapan omong kosong agar tersemat nilai berharga dalam sebuah kata-kata, meski nyatanya bagiku, Anka hanya traumatik, dia akan selalu terbayang-bayang kengerian yang tercipta dari sebait puisi, baik puisi percintaan maupun puisi religius, itu semua sama saja mengerikan baginya.
Aku memiliki salah satu buku yang ditulis oleh ibu Anka, aku tak membelinya, melainkan diberikan secara cuma-cuma oleh Anka sahabatku, judul bukunya ialah; Puisi Antarkan Aku Pada Suamiku.
Buku yang dipenuhi puisi-puisi keputusasaan, keangkuhan, serta kematian, dari puluhan puisi yang dibuatnya, ada satu bait yang terpatri di kepalaku.
Puisi, antarkan aku padanya
Antarkan ku sekarang pada rengeknya yang menghantui mimpi
Hingga satu kalimat maaf mampu membuat jiwanya damai
Antarlah aku pada laki-lakiku
Kau pun tak mengubah kenyataan, puisi
Maka bawalah aku puisi, bawalah aku menyatu padu bersamanya ...
Satu hal yang penting! Suaminya sudah tewas sebelum sang istri membuat puisi, dan tak sudi aku menceritakan detik-detik kematiannya, itu menjijikkan dan terlalu mengerikan buatku.
”Hem.“ Aku mengangguk mantap dengan senyuman kecut, setidaknya cukup membuat lesung pipitku nampak melekuk.
”Ya sudah, dadah ...,“ ucap Anka berpamitan sambil melambaikan tangan kanannya.
”Iya dadah,“ balasku.
Tunggu sebentar! Aku baru sadar, kalau aku malah dibawa ke rumahku, padahal janjinya, kami harusnya ke tempat pertemuan awal tadi pagi, jadi Anka tak terlalu jauh pulang ke rumahnya. Kulihat langkah yang diambil Anka sudah menghabiskan jarak sepuluh meter dariku, entah mengapa dia melangkah tergesa-gesa.
”Anka!“ panggilku keras-keras, ini dilakukan agar Anka benar-benar mendengarku tanpa rambang.
Anka seketika memutar tubuhnya ke belakang, wajahnya tetap memancarkan kecerian, menghadapku sambil jalan mundur.
”Terima kasih!“ teriakku penuh syukur, padahal tak perlu berteriak juga dalam masalah ini, tetapi untuk hari ini, aku ingin Anka tahu, bahwa aku benar-benar bersyukur bersamanya.
”Ingat! Hari ini sempurna! Dadah ...,“ balas Anka yang kembali melambaikan tangan dengan senyuman hingga matanya terpejam.
Aku ikut melambaikan tangan kiriku, melambaikannya dengan gerak impulsif, aku kembali gembira, malah, berkat Anka perasaan atelofobiaku perlahan memudar, tapi bukan berarti hilang.
Anka telah pulang, kembali keperaduannya, dan hari mabal yang sempurna ini telah berakhir, kugeser gerbang rumahku dengan perasaan resah yang teredam oleh kata-kata dari seorang Anka, beban berat gerbang terasa ringan kala sadar aku akan bertemu suamiku tercinta, kala gerbang telah bergeser memberi ruang cukup, kudorong sepeda kesayanganku kuat-kuat, masuk ke dalam area rumah dalam senyuman penuh syukur, aku masih bersyukur tentang Anka yang menenangkanku, kuakui bahwa dia sahabatku yang sempurna.
Memarkirkan sepeda di garasi rumahku, masuk ke dalam rumah, meminum sebotol air mineral, berbaring di kasur sembari memeriksa ponsel pintarku, tanpa cuci kaki, tanpa mengganti pakaian, dan membiarkan tas gendong terkapar di lantai kamar, seperti itulah kebiasaanku setelah pulang sekolah, sampai-sampai hampir menjadi budaya, itu menyenangkan, hidup tanpa beban memang menyenangkan!
Tapi tunggu, tak lama waktu berputar, entah mengapa tiba-tiba pundakku merasakan adanya dorongan berulang kali, malah gendang telingaku mendapat vibrasi suara yang tak asing lagi.
”Bangun ... sudah maghrib.“ Suara suamiku, Harfa.
Akibatnya, secara refleks kelopak mataku terbuka, betapa tak sadarnya aku, ketiduran baru saja aku lakukan.
Jelas, aku kucek kedua mataku, mengerjapkan mataku beberapa kali, usaha melenyapkan keburamanku berhasil, tepat di samping kasur, aku melihat wajah tampan selayaknya Tom Cruise telah berdiri menatapku, senyuman penuh kedamaian yang mengembang di wajah perseginya, membuatku bangkit terduduk.
Lampu-lampu dinding di dalam kamarku pun telah berpendar putih terang, menyingkap seluruh kegelapan yang sempat melingkupi kamar ini.
”Ayo, salat dulu ...,“ ajak suamiku dengan nada lembut sambil melangkah menuju kamar mandi di kamar ini.
Aku menyiah rambut kremku yang berantakan, dan menguap sebagai tanda rasa kantuk masih menyeruak dalam benakku, tak lupa, aku rengkuh ponsel yang tergeletak manis di sisiku, memeriksanya.
Pukul 18:12 malam hari, ditambah lima pesan masuk yang belum terbaca, dua diantaranya dari teman sekolahku, sisanya dari Anka.
Namun, kutaruh kembali ponsel di kasur, aku beranjak menuju kamar mandi, bersiap untuk melaksanakan salat maghrib.
Setelah salat maghrib usai, aku serta suamiku mengaji, aku selalu serius dalam masalah ini, tak berani bercanda hanya demi sebuah realitas yang disebut tertawa.
Bahkan dengan sebilah pedang cinta pun tak terbalas
Bahkan alunan harmonis dari kata perkata cinta pun harus gugur
Bahkan dengan janji yang kuat cinta pun tak bisa menetap
Biar hidup tak ingin merasakan sakit cinta pun harus berakhir
Persetan dengan cinta yang tak bisa dimengerti
Persetan dengan penolakan mentah-mentah
Pekatnya hasratku tetap tak akan sirna
Aku akan memilikimu lengkap dengan jiwamu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Li Na
like
lanjuut
2020-06-24
0