Pukul 17:05 senja berawan dan langit jingga membentang memancarkan pancaran terang kejinggaan, ini menuju malam yang gelap, meja makan kayu Jati telah dipenuhi santapan hangat nan lezat yang dikhususkan untuk dinikmati olehku dan suamiku.
Semua telah siap, aku langkahkan kakiku, beranjak dari meja makan menuju sofa ruang tengah, sebelum makan malam berlangsung, aku berniat untuk menikmati acara TV sesaat, tetapi belum sempat aku duduk bersantai, sialnya, bel rumahku berbunyi, memaksa rasa malasku untuk redam sejenak, dan itu hanya demi membuka pintu.
'TULALIT-TULALIT-TULALIT'
Secara impulsif kubuka pintu rumah dengan decak kesal, bahkan untuk itu, aku terganggu, dan pintu masuk telah terdedah, kudapati seorang pria berjas hitam rapi yang selaras dengan warna rambut klimisnya, Kak Farka, pria karismatik nan wangi datang ke rumahku.
Aneh, tahu dari mana dia alamat rumahku?
Senyuman simpul tersungging pada wajah berkarismatiknya, senyuman senang karena pintu sudah terdedah, bersyukur! Dia wajib untuk itu, kedua tangannya terselip di kedua saku celana formal panjangnya memberi kesan bahwa dia pria keren, selebihnya, dia pria tinggi, membuatku harus agak mendongakkan wajah demi bisa menatap mata hitam tegasnya, bahkan tinggiku tidak melebihi bahunya.
“Kak Farka.” aku menyambut dengan senyum hampa yang memang aku terusik dengan kehadiran Kak Farka.
Alih-alih senang dengan kehadirannya, aku mempersilakan Kak Farka untuk singgah ke dalam rumahku, itu aku niatkan hanya sebatas kesopanan, bukan berarti senang menerimanya adalah alasannya, tetapi secara mendadak, kupingku mendapat vibrasi suara mobil jip menderu dari garasi rumahku.
Suamiku sudah pulang!
Tanpa beban sedikit pun, tanpa ucapan salam, Kak Farka melangkah masuk ke dalam rumah, tak lupa ia juga sempat melepaskan sepatu pantofelnya di depan pintu, kecuali kaus kaki hitam kebanggaannya yang masih melekat pada kedua kakinya.
Aku mempersilakan Kak Farka untuk duduk di sofa tamu, tanpa adanya satu kata pun yang terucap, Kak Farka menurut, ia duduk di sofa khusus satu orang, duduk manis sembari memandang satu persatu interior rumahku.
Aku sempat memintanya untuk menunggu dengan dalih suamiku sudah pulang, Kak Farka nampak tak terkejut saat aku ucapkan 'suamiku' dia hanya mengangguk mantap seakan telah mengetahui kehidupanku.
Kulangkahkan kakiku dalam langkah impulsif, kendati suamiku akan mengerti dengan kehadiran tamuku seorang pria, kecemburuan itu kadang muncul tanpa diterka, maka, aku tetap harus memberi tahunya lebih dulu, supaya dia tahu, Kak Farka hanya tamu biasa, dan benar saja, Harfa suamiku tengah berjalan dari arah dapur ke arahku, penampilannya masih serapi pagi hari, kemeja biru dengan lengan kemeja yang dilipat hingga ke siku sekaligus celana jin panjang bernuansa biru gelap, wajah perseginya pun masih secerah pagi hari.
Lebih-lebih, senyuman damai tersungging hanya untukku.
“Wah, kayaknya suamimu lagi yang harus beres-beres rumah ...,” tutur Harfa sambil berdiri berkacak pinggang memandang ke arah karpet yang memang sedari tadi masih kotor belum aku bersihkan, tapi pandangannya tetap santai.
“Harfa.” aku memanggilnya hingga suamiku menoleh padaku.
Semeter adalah sisa jarak kami untuk berdekatan.
“Itu ada ....” sayangnya kugantung kalimatku sebab pandangannya malah terarah serius ke belakang pundak kiriku.
Sontak, kuputar tubuh ke belakang, terkejut tak menyangka, ternyata kudapati Kak Farka telah berdiri di samping tembok pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah, raut mukanya begitu santai tanpa masalah.
Bagiku ini masalah, kata perintahku agar menunggu di ruang tamu, telah dilanggarnya, dan kuharap, dia punya alasan kuat untuk itu.
“Oh ... ada tamu.” Harfa suamiku menyambut Kak Farka dengan mengembangkan senyuman simpul.
Lebih dari itu, Suamiku rela melangkahkan kaki kokohnya hanya demi menghampiri Kak Farka, mereka menyempatkan untuk berjabat tangan sampai-sampai memberi tahu nama masing-masing, bahkan karena itu, aku diperlihatkan, tentang tinggi badan Kak Farka yang melebihi suamiku, alis hitam Kak Farka adalah batas tinggi Harfa, tetapi tunggu, badan bedegap suamiku jauh lebih besar ketimbang badan Kak Farka, meski karismatik suamiku tidak secemerlang Kak Farka, Harfa telah membuatku jatuh cinta, dan itu cukup bagiku.
“Maaf, saya punya urusan penting dengan istri Anda.” ucapan Kak Farka yang blak-blakan justru terkesan mengusir suamiku.
Hanya saja, suamiku yang notabene adalah pria beralah dan baik hati, dia mempersilakan Kak Farka untuk menemuiku, betapa gusarnya aku, memandang sikap Kak Farka yang terkesan tidak sopan, akibatnya, kupasang raut muka geram melihat pemandangan itu, kulangkahkan kakiku mendekati dua pria itu, akan hal itu, suamiku sudah berdiri dengan wajah yang ia arahkan padaku, raut muka kalem hingga lengkungan senyuman kedamaian tersimpul di wajah tampan suamiku, Harfa benar-benar tak tahu kegusaranku.
“Ada apa sih Kak?” aku langsung bertanya dengan nada ketus bahkan gestur tubuhku pun telah berubah malas.
“Tentang autobiografimu,” jawab Kak Farka sesingkat mungkin dengan raut muka serius tanpa senyuman.
Dua kata yang benar-benar mampu membuat perasaanku semakin gusar, pastinya aku gusar, hanya demi buku autobiografi yang begitu saja, dia rela datang kemari?
“Eh? Kak, kan di sekolah sudah dijelaskan, bahkan, besok juga bisa kan kita bahas di sekolah.” aku membalas hingga keningku mengernyit geram, bahkan aku buat nada seketus mungkin.
Suamiku mulai beranjak pergi ke sofa ruang tengah, dia memang laki-laki pemalas, jadi begitu saja, tanpa ada bersih-bersih badan terlebih dulu, kaus kaki bercorak bunga mawarnya pun masih betah terpasang di kedua kaki kokohnya.
“Bagaimana kalau aku makan malam di sini?” ujar Kak Farka meminta izin alih-alih menjurus pada berkeinginan keras untuk tetap tinggal.
Sialan memang, semudah itukah dia melontarkan kalimat demi kepuasannya sendiri? Padahal hari ini aku sedang ingin di rumah berdua saja, tapi, memang dasar. Aku termenung melamun sampai lima detik lamanya, ingin rasanya mengutarakan perasaanku, mengatakan kalau aku ingin berdua saja bersama Harfa, tetapi, adat kesopanan pada tamu seakan menyekat mulutku, sungguh tak etis, jika harus mengusir tamu yang baru pertama kali datang ke hunianku.
“Pak Harfa,” seru Kak Farka yang malah memanggil suamiku.
Aku masih terpaku tak tahu harus berbuat apa, yang pastinya, aku tak ingin Kak Farka ada di sini, dan tak tahu mengapa Kak Farka malah memanggil suamiku.
“Iya, ada apa?” suamiku yang tadi terduduk kini bangkit berdiri menghadap Kak Farka, wajahnya serius ia seperti tahu berazam Kak Farka memanggilnya.
Kini kedua sorot mata kedua pria itu saling beradu tatap, aku sih berpikir mereka seperti kedua pangeran yang berperang demi merebutkan seorang putri cantik sepertiku, memang terlalu berlebihan, tetapi begitulah pikirku.
“Apa boleh saya makan malam bersama keluarga Anda, malam ini?” tanya Kak Farka memastikan, tetapi lebih menjurus memaksa.
“Maaf, apa urusan Anda sangat penting?” tanya balik suamiku yang seolah berusaha membelaku.
Dan ini memang seperti perang! Mereka merebutkan aku! Dan katakanlah ini terlalu berlebihan.
“Sangat penting, sebab istri Anda akan menulis autobiografi SMA Lily Kasih, yang memang terdapat sebuah kutukan mematikan jika dia tak tahu cara menghentikannya.” Kak Farka menuturkan hal diluar logika.
Ha? Kenapa begitu percaya dengan sesuatu yang belum tentu kepastiannya, kenapa harus percaya dengan mitos? Bahkan akan hal itu, hampir saja aku ter-dekah geli karenanya.
Seperti dongeng saja, pikirku.
Sebenarnya, suasana tidak begitu tegang, tetapi, aku cukup tegang dengan pemandangan ini.
Suamiku langsung bersedekap menyilang, sebagai tanda dia yang berhak menetapkan, sorot matanya pun menyiratkan ketidak-sukaan terhadap sikap Kak Farka.
“Hmmmm ... kutukan ya? Apa buktinya? Kenapa hanya menulis autobiografi bisa dikutuk?” suamiku mulai melontarkan pertanyaan kuat, bukti bahwa dia memang sama sepertiku, tak mau malam ini diganggu oleh orang luar.
Meski begitu, Kak Farka tak gentar sedikit pun, ia menyelipkan kedua tangan ke saku celana panjangnya, raut mukanya terpampang serius, itulah bukti dia juga tak mau kalah, tak mau mengalah.
“Kedua teman saya tewas saat membuat buku tersebut, dan ada hal penting lagi yang ingin saya sampaikan.” jawaban Kak Farka masih terkesan samar, tapi dia tetap percaya diri untuk dapat bisa tinggal di sini.
Sedangkan kebimbangan tengah melandaku, bagaimana tidak, kedua pria dewasa itu memang seolah seperti tengah berperang, ya, meskipun itu hanya perang argumen, tetapi itu juga cukup untuk dikatakan perang, bonusnya, aku masih tak mau diganggu malam ini.
“Tewas? Apa benar-benar tewas?” suamiku menyelidik bahkan meragukan pernyataan Kak Farka.
Di sana, di wajah mulus Kak Farka keseriusan tanpa lelah masih ia pampang.
“Ya, tak ada keraguan tentang itu, atau jika perlu, saya sarankan Anda, untuk bertanya pada Guru Sukada, wali kelas Laisa.” Kak Farka memaparkan sebuah fakta yang nyatanya suamiku masih agak ragu, lebih dari itu, aku pun ragu.
“Tapi ... bagaimana jika, teman Anda tewas bukan karena kutukan?” suamiku kembali melontarkan argumen kuat, ya, kali ini aku yakin, Kak Farka akan membisu, tak mampu berkata lagi.
Namun, faktanya dugaanku salah!
“Bukankah lebih baik kita berjaga-jaga? Karena kehati-hatian tidak akan merugikan.” Kak Farka justru melontarkan Kalimat tegas dan mantap, suatu kalimat yang terkesan ada benarnya juga.
Sial memang, hanya dengan kata-kata itu, suamiku seketika termenung, pikirannya telah terhasut, tersentuh oleh kata-kata, dan aku tak mampu menyela, betapa tidak, aku bingung harus bicara apa, membela diri hanya demi bisa berdua dengan Harfa, yang definitif setiap hari aku bisa berduaan, sungguh bukan alasan tepat, kendati begitu, ini adalah argumen mereka berdua, aku hanya perlu menunggu keputusan suamiku, maka kebingunganku akan sirna.
“Begitu ya ....” suamiku malah menjawab dengan singkat, yang tampaknya pangeranku akan kembali mengalah demi orang lain.
“... ya sudah, silakan, itu tak masalah,” lanjutnya menegaskan suamiku benar-benar memberi izin.
'PLAK'
Aku langsung menepuk jidat, kala suamiku mengizinkan Kak Farka untuk makan malam bersama, nyatanya makan malam hanya berdua dengan suamiku gagal total.
Benar saja, di malam pukul 20:00 Kak Farka bergabung makan malam bersama kami, lampu-lampu di rumahku telah berpendar terang, menyingkap bayang-bayang kegelapan, udara terasa dingin, lebih dari itu, suamiku serta Kak Farka sedari sore sebenarnya telah berbincang-bincang, entah apa yang mereka bahas, karena sedari sore itu pula, aku memang di dalam kamar, terlalu malas untuk berbincang dengan Kak Farka, dia seperti penguntit, malah dia seperti pengganggu, konyol juga sih kala sadar, jika rumahku masih belum aku rapikan, bahkan selama bersantai di kamar, aku hanya bermain gim secara daring, bersama Anka sahabatku yang tentunya dia berada di rumahnya.
Kini kami duduk mengelilingi meja makan persegi berbahan kayu Jati, penampilan kami pun masih sama seperti di sore hari, Kak Farka serta suamiku menyantap hidangan yang sama, yaitu sup ayam, dan ini menyebalkan, kalau kenyataannya Kak Farka ikut-ikutan menyantap apa yang disantap oleh suamiku, padahal masakkanku tak hanya itu, masih ada gulai udang dengan cumi sambal hijau yang lezat, bonusnya sambal bersama ikan asin.
Dan aku hanya memasang muka senderut sambil menyantap hidanganku dengan kegeraman yang berkantaran dalam benakku.
“Kok cuman makan ikan asin sih?” suamiku keheranan dengan perilaku anehku.
“Nggak apa-apa, pingin aja.” aku menjawab dengan ketus, lalu mendilak, berharap laki-lakiku mengerti bahwa aku risih dengan hadirnya Kak Farka.
Kusantap ikan asin beserta nasinya, anoreksia ini adalah ulah dari kegusaranku.
Tak ada tanggapan berarti dari suamiku, manggut-manggut seraya menyantap masakanku tanpa beban itulah perbuatannya, sementara Kak Farka, dia malah memasang muka datar, tak peduli, jelasnya ia sangat menikmati masakanku.
Tiga puluh menit kami bersantap malam, tanpa ada perbincangan sedikit pun, gelas kosong ditaruh di atas meja oleh tangan kanan Kak Farka, airnya lenyap diteguknya, lebih-lebih tak lama berselang, Kak Farka bersendawa, bukti bahwa dia sangat menikmati santapannya.
Tetapi, aku tidak tahu persis seperti apa ekspresi suamiku sekarang, aku sedang fokus pada ponsel pintarku, ini pun hanya bermain gim, terlalu malas untuk melihat seluruh keadaan sekitar, yang jelas, aku ingin Kak Farka cepat pulang.
“Nah, kita langsung saja ketopik,” kata Kak Farka dengan sungguh-sungguh berusaha mengubah suasana menjadi serius.
Berasamaan dengan kalimatnya itu, aku menunduk memandang ponsel pintarku acuh tak acuh dengan pernyataan Kak Farka.
“Kamu harus benar-benar serius membuat buku autobiografimu, dan jika temanmu sudah ada yang mau bergabung, suruh mereka menjauh, anggaplah kalian ini bermusuhan, itulah cara menghentikan kutukannya.” Kak Farka menjelaskan se-eksplisit mungkin.
Aku cuman manggut-manggut saja tanpa tanggapan berarti, seolah mendengar dengan saksama, padahal itu hanya basa-basi semata.
“Laisa, tolong dengarkan Kak Farka dengan sopan.” suamiku menyadari basa-basiku sampai terkesan membela Kak Farka.
Demi sang suami aku relakan wajahku menghadap pada roman tampan Harfa, bahkan, sampai aku mulai menyadari keadaan sebenarnya meja makan ini.
Tunggu sebentar! Tak aku sangka, rupanya suamiku memasang raut wajah serius, tatapannya tajam, hingga rasanya aku sedang dimarahi oleh seorang guru, malah sup ayam yang aku hidangkan di meja telah lenyap tak bersisa, dan akan hal itu, betapa malangnya bagi gulai udang dengan cumi sambal hijau yang masih suci tanpa tersentuh sedikit pun, dan bodohnya aku baru menyadari itu semua.
Sialan, sepertinya, Kak Farka memang menyantap hidangan yang serupa dengan suamiku, dia bahkan belum berterima kasih padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Li Na
cicil jejakku ya
2020-06-24
0
아미💜🎵
semangat yahhh thor
oh iya feedbacknya aku tunggu yahh
LIVE FOR LOVE
kakak" readers jangan lupa mampir yahh
nanti pasti aku feedback
janji
2020-05-10
0