BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.

         Dalam perjalanan pulang, aku menceritakan semua kejadian awal saat bertemu dengan sang pelaku, hingga akhirnya pelaku dibawa ke kantor polisi oleh Kak Farka, bonusnya, aku ceritakan tentang Kak Farka sebagai alumni SMA Lily Kasih yang menyuruhku menulis autobiografi. Rumah Wisty berada di kompleks Hanataba, tetapi, baru saja kami melewati gapura kompleks, ponselku secara mendadak berdering, dan ini adalah panggilan telepon.

Maka kuberhenti sejenak di depan rumah warga, dengan kaki kanan menapak jalan dan kuangkat telepon yang rupanya dari Guru Sukada.

“Laisa! Laisa kamu di mana?”

Suara yang terdengar begitu panik dari Guru Sukada mendesakku untuk mengungkapkan keberadaan posisiku.

“Di kompleks Hanataba.”

Aku menjawab dengan santai.

“Cepat ke sekolah! Perpustakaan kebakaran! Dan suami kamu ada di perpustakaan itu!”

Sontak, perkataan guru membuatku berbuntang, kaget bukan kepalang.

“Apa?! Guru jangan bercanda!”

Aku masih bimbang dengan pernyataan guru, tetapi hati mulai resah ketakutan.

“Cepat ke sini dulu! Guru nggak bercanda!”

Tanpa banyak membuang waktu, aku kembalikan ponselku ke dalam saku rokku, aku putar sepedaku, suara guru terdengar begitu meyakinkan membuatku spontan menuju ke sekolah.

“Eh? Ada apa ketua?” heran Wisty yang belum mengetahui apapun.

“Perpustakaan sekolah kebakaran, dan suamiku ada di sana,” balasku dengan panik.

“Hah? Yang benar?” Wisty tak percaya.

Tapi tanpa menanggapinya, kukayuh pedal sepeda buru-buru, keningku mengernyit, napasku naik turun secara impulsif, bersama kekhawatiranku aku buru-buru menuju sekolah.

Dua masalah besar yang kuhadapi dalam sehari sungguh membuatku tak menyangka. Tetapi, aku harap suamiku tidak apa-apa.

Tunggu dulu! Suamiku di perpustakaan sekolah? Aneh, mengapa dia malah ke sana?

Aku terus mengayuh sepedaku dengan keheranan yang mendekap jiwaku.

“Itu asap hitam? Eh, kayaknya benar, sekolah kebakaran,” ungkap Wisty.

Benar saja, saat kulihat ke udara, asap hitam pekat membumbung tinggi menuju awan, dengan alasan itulah kukayuh sepeda lebih cepat lagi.

Sekolah mulai terlihat, lalu aku mulai melaju menuju gerbang, maka tatkala gerbang telah terlewati, kulihat Guru Sukada bersama empat pria dewasa, -tiga di antaranya adalah warga sekitar satu orang lagi adalah Pak Queda sang penjaga sekolah- mereka berlarian dari toilet menuju perpustakan, berlari sambil membawa seember air untuk menyiram api di perpustakaan.

Sepeda aku biarkan tergeletak di depan kelas, aku serta Wisty langsung berlari menuju perpustakaan.

Dan tepat di depan netra kami, kudapati api meletup-letup membakar perpustakaan, jendela kaca pecah, api telah berkobar berkantaran membakar perpustakaan.

“Laisa!” seru Guru Sukada datang berlari menghampiriku.

Jelas aku langsung menghadap pada guru, kepanikan dan kebimbangan kini menyatu dalam benakku.

“Guru! Mana suamiku?” Aku bertanya dengan panik.

Secara spontan kedua tangan Guru Sukada memegang kedua bahuku dengan harapan agar aku lebih tenang, kendati nyatanya tidak sama sekali.

“Suami kamu masih di perpustakaan, kamu harus tenang,” papar Guru Sukada dengan raut muka serius, dan napasnya tersengal-sengal ditambah peluh telah melimbur wajahnya.

Aku tertunduk, perkataan Guru Sukada sama sekali tak menenangkan aku, justru, jauh dari dalam jiwaku, sebuah perasaan sesak mulai menyeruak menuju hatiku, dan seketika perasaan itu membuat hatiku patah, bahkan dadaku mulai terasa senak, ini adalah tanda-tanda yang hampir aku lupakan, aku malah hampir lupa cara memunculkan salah satu emosi ini, ya, aku hendak menangis.

“Ayo, kamu tunggu saja di kelas, pemadam kebakaran segera datang ....” Sebuah ajakan dari mulut Guru Sukada bahkan untuk itu beliau harus merangkulku.

Aku tahu Guru Sukada berusaha agar jiwaku bisa tegar, tapi tidak!

“NGGAK! AKU NGGAK MAU MENUNGGU DI KELAS!” sergahku sembari berlari menuju toilet sekolah.

“Laisa! Laisa!” Guru Sukada terdiam dalam seruannya padaku.

Tanganku mulai bergetar, mataku mulai berair, napasku mulai naik turun secara impulsif, gigiku bergigit, pikiranku kalut tidak karuan dan dadaku terasa senak, aku merasa kesulitan menerima kenyataan ini, tetapi aku berlari menuju toilet, aku masuk ke dalam toilet wanita, meraih sebuah ember warna merah lengkap dengan airnya, lalu berlari kembali menuju perpustakaan, ketika seorang pria datang hendak membantuku, justru aku menghardiknya untuk menyingkir. Aku telah digelapkan oleh kepanikan, berusaha seorang diri untuk memadamkan api.

Dan kala aku tiba di depan perpustakaan yang telah terbakar hebat, pada kenyataannya, betapa bodohnya, aku malah menaruh ember berisi air yang kubawa di tanah, lalu mendeprok pasrah di samping ember.

Api terlalu besar, seember air tak mungkin sanggup melenyapkan api sebesar itu. Suamiku, entah apa yang terjadi kini, otakku bahkan enggan untuk membayangkan kondisinya, maka jelas sudah, yang mampu aku lakukan hanyalah mendeprok pasrah menikmati senaknya hati.

Tetapi tiba-tiba kedua tangan Guru Sukada merengkuh kedua bahuku, mengangkatku sekaligus menuntunku menjauh dari perpustakaan.

Mendadak pipiku mulai hangat, entah mengapa mataku terasa penuh dengan air, napasku pun terasa hangat, apa mungkin aku menangis? Aku benci jika aku sudah menangis, sebab menangis itu bukanlah hal yang sempurna.

“Tolong jaga Laisa, Wisty ....”

Lalu aku dirangkul oleh Wisty, tangan kanannya yang lembut pun sempat mengelus bahu kananku demi menenangkan aku.

“Aku nggak tahu harus berbuat apa, tapi ... yang sabar ya ketua kelas, yang sabar,” kata Wisty dengan intonasi yang begitu lembut.

Mataku mengerling pada wajah manis Wisty membuatku bertanya-tanya, mengapa dengan cepatnya, musibah kini malah menghampiriku? Apalagi, seakan musibah malah berbalik arah.

Satu pertanyaan yang penting, yang hingga kini, masih aku pendam. Mengapa Harfa suamiku ke perpustakaan sekolah?

Tak lama berselang, telingaku menangkap vibrasi suara sirene mobil pemadam kebakaran, aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa, yang jelas, dengan netra berkaca-kaca tak jenuhnya aku memandang perpustakaan yang terbakar, sampai-sampai riuhnya orang-orang mulai berdatangan, para pemadam kebakaran mulai melakukan tugas kepahlawanannya.

Aku serta Wisty hanya berdiri dalam jarak yang cukup jauh di depan perpustakaan, lebih dari itu, hanya kami murid yang ada di sini. Wisty tak jenuhnya mengelus bahuku dan aku, pikiranku masih kalut, dadaku terasa senak, semuanya terasa menakutkan, aku benci mengakuinya, aku telah dilimbur kesedihan.

“Wisty, sebaiknya kamu pulang, bawa sepedaku, nanti sekolah bawa lagi,” pintaku dengan bicara selancar mungkin dan tak mau temanku malah ikut susah hanya gara-gara musibahku.

Meski aku menangis, nada bicaraku sama sekali tak berubah, tetapi tetap saja, kesedihan tetap meliputiku.

“Aku nggak tahu harus berbuat apa, tapi ... apa ketua yakin?” tanya Wisty memastikan dan memang benar dia ingin pulang.

“Iya Wisty ... kamu harus pulang, tapi ingat, jangan bicarakan masalahmu pada orang tuamu, karena masalahmu akan selesai,” jawabku mengingatkan kembali dan pandanganku ke depan pada api yang mau padam.

“Maaf ya ... kalau gitu, aku pulang ....” Wisty pun pamit.

Dan konyolnya entah mungkin karena dia gugup atau bagimana, dia malah membungkuk di depanku lalu mencium tangan kananku penuh hormat layaknya aku orang tuanya.

“He, nggak perlu kayak gitu juga.” Aku menegur Wisty hingga spontan aku tersenyum.

Ya, ini senyuman tidak sengaja, senyuman yang muncul karena melihat kenyataan yang menggelitik, jadi bukan senyuman senang.

“Eh ma-maaf ketua, aku nggak tahu harus berbuat apa ...,” keluh Wisty dengan wajah kikuk.

Aku cuman mengangguk pelan, tetapi kali ini tak ada senyuman, bahkan, pandanganku kosong ke depan. Dan Wisty pulang bersama sepeda kesayanganku yang dibawanya, ini sudah malam, jadi alangkah baiknya Wisty pulang dengan kendaraan agar sampai dengan cepat.

Kini adalah pukul 18:01 dan langit telah menghitam karena mulai malam, udara hangat, itu karena api yang membakar perpustakaan menciptakan suhu dilingkungan sekitar mulai berubah, hanya saja untuk saat ini para pemadam kebakaran masih berkerja keras, lebih dari itu! Mobil ambulans datang membawa bantuannya.

Dan Guru Sukada berlari dari kelas menghampiriku, lalu berdiri di sampingku, berpijak tepat di bekas posisi Wisty, meski begitu, perasaan sedihku sama sekali tak berubah, aku hanya merasa hampa dan bimbang.

“Laisa, kamu nggak akan hidup sendirian, semuanya akan baik-baik saja ....” Guru Sukada berusaha menenangkan aku.

Selepas itu, beberapa detik kami dalam diam, sebelum akhirnya aku gaungkan pertanyaan yang mengganjal sedari tadi di kepalaku.

“Guru, kenapa suamiku malah ke sekolah? Padahal aku sudah mengirim pesan akan pulang.” aku menyelisik.

“Hmmmmm ... bapak nggak tahu, pokoknya tadi ... suamimu datang, katanya kamu minta dijemput, nah katanya juga, kamu ada di perpustakaan, suamimu mencari kamu, tapi ... saat bapak keluar dari perpustakaan untuk pulang, tiba-tiba terdengar ledakan, di situlah api mulai muncul, bapak sempat masuk ke dalam perpustakaan sebelum api membesar, tapi sayangnya saat bapak melihat, suamimu terjebak oleh api yang menghalangi jalan, api itu sangat besar jadi bapak harus keluar untuk mengambil air, cuman sayang, api makin besar karena perpustakaan terdapat bahan yang mudah terbakar, jadi setelah itu, bapak nggak melihat atau mendengar suara suamimu lagi, kejadiannya sangat cepat.” Guru Sukada menjelaskan se-eksplisit mungkin.

Sungguh pemaparan yang tak suka aku dengar, aku hanya tak suka dengan faktanya, bahwa suamiku datang ke sekolah ini mengira aku minta dijemput? Dan mengapa perpustakaan saat itu juga terbakar?

Semua kejadian hari ini, sungguh diluar logika. Siapa juga yang minta dijemput? Kenapa juga harus suamiku?

Maka bersama perasaan aneh hari ini, aku berniat akan langsung bertanya pada Guru Sukada. Tetapi baru saja mulutku terbuka sedikit. Tiba-tiba petugas damkar terlihat rusuh, ternyata mereka berhasil mengevakuasi seorang korban.

Perpustakaan memang sudah mulai padam, para petugas damkar rupanya telah bekerja dengan cepat, ya, meski kenyataannya api masih terus membara di perpustakaan.

Sontak Guru Sukada berlari menghampiri korban, korban langsung dimasukkan ke dalam mobil ambulans.

“Laisa cepat kemari! Ini suami kamu!” seru Guru Sukada.

Mataku terbeliak mendengarnya, maka buru-buru aku berlari menuju mobil ambulans, aku menaiki ambulans dan mataku langsung mendapati seorang pria dewasa tengah terbaring di brankar dengan kondisi tubuh menghitam yang hangus terbakar, lebih dari itu, wajahnya saja sulit untuk aku kenali, namun, syukurnya aku masih bisa mengenalinya, bahwa memang benar dia adalah suamiku Harfa.

“Ha-Harfa ....” Aku terbata-bata untuk menyebut namanya, bagaimana tidak dengan kondisinya yang seperti ini, membuat jiwaku terasa terguncang.

Harfa terdiam, matanya terpejam, mulutnya telah dikatupkan masker oksigen, dia tak bergerak sama sekali, Harfa benar-benar terluka.

Seorang pria yang kuduga adalah para medis, duduk di sampingku, terdiam penuh siaga, sampai aku tak sadar bahwa mobil telah melaju menuju rumah sakit.

Sedangkan aku masih tak tahu harus bagaimana, pipiku masih dilimbur air mata kesedihan, dadaku masih senak, pikiranku pun kalut tak karuan.

Mengapa suamiku harus begini? Sungguh kejadian yang benar-benar di luar logika.

Sirene ambulans mewarnai perjalananku, malam ini sepertinya akan menjadi malam yang melelahkan bagi jiwaku, entah akan jadi seperti apa suamiku di hari mendatang, kulit kuning langsat suamiku hingga wajah suamiku terlihat sudah melepuh, apa mungkin, kulit indahnya bisa kembali lagi? Aku bahkan berharap ada keajaiban.

Selama dalam perjalanan, aku hanya duduk merenung, menatap wajah suamiku yang terlihat pudar ketampanannya, dan kedua tanganku mencengkram muka lututku kuat-kuat, berusaha tetap kuat menerima kenyataan pahit ini. 

Hingga beberapa menit kemudian, mobil ambulans berhenti, aku telah sampai di depan pintu masuk rumah sakit. Maka buru-buru pintu didedah, para medis telah datang, mereka menurunkan suamiku, memindahkannya pada ranjang pasien, lantas bergegas masuk ke dalam rumah sakit.

Dan untuk aku sendiri, aku telah turun dari ambulans, lalu melangkah buru-buru mengikuti suamiku yang dibawa oleh para medis. Kami terus berjalan melewati lobi rumah sakit, lalu aku berhenti, atau tepatnya dipaksa untuk berhenti di depan ruangan yang berlabel 'ICU'.

“Mohon untuk tunggu di luar,” pinta pria dewasa berjas putih, yang kuduga doktor.

Suamiku telah dibawa masuk ke dalam ruangan tersebut, lengkap bersama dua orang petugas medis yang ikut bersamanya. Ditambah doktor yang tadi bicara padaku, masuk pula ke dalam ruangan tersebut. Dan pintu tertutup rapat.

Maka, karena tak ada yang bisa aku lakukan, dengan pasrah aku duduk di kursi panjang yang berada di samping pintu. Kududuk hingga kembali termenung.

Menatap ke depan pada kehampaan, hatiku masih bimbang tak karuan, pikiranku masih berkelumit pada fakta yang dialami suamiku. Masalahnya adalah, aku tidak minta dijemput di perpustakaan, aku sudah mengirim pesan pada suamiku bahwa aku akan pulang agak malam, tapi mengapa Harfa malah pergi ke perpustakaan sekolah dengan dalih aku minta dijemput, lebih-lebih perpustakaan dibakar saat suamiku ada di dalamnya, sekali lagi, ini benar-benar aneh.

Maka dengan alasan itulah, pikiranku yang kalut, mulai memunculkan berbagai asumsi tentang teror, atau lebih tepatnya, ada yang berusaha mencelakai suamiku.

Mungkin bila aku bisa memeriksa ponsel suamiku, kemungkinan untuk mengetahui siapa yang mengirim pesan pada suamiku bisa aku ketahui, hanya saja, masalahnya sekarang adalah, aku tidak diizinkan masuk ke ruangan suamiku berada, Harfa sedang menjalani pemeriksaan.

Hanya napas mendekus yang kini bisa aku keluhkan, dan menunggu pemeriksaan suamiku selesai adalah perbuatan yang kini bisa aku lakukan, selain itu, aku memeriksa ponselku, banyak notifikasi pesan masuk, pesan didominasi tentang kebakaran perpustakaan sekolah yang telah diketahui oleh seluruh murid SMA Lily Kasih, mulai dari murid kelas 10 hingga kelas 12 meramaikan perbincangan kebakaran sekolah.

Aku tak peduli bila harus kau bakar aku

Karena nanti aku akan sembuh kembali

Aku tak peduli bila kau hidup dengan yang lain

Karena pasti kau akan mati untuk aku

Kejarlah bintang jatuh itu

Dan temukanlah dirimu di sana

Kau akan melihat dirimu menangisiku

Bahkan dirimu tak bisa membunuhku

Terpopuler

Comments

writer in box

writer in box

semangat thor

2020-05-29

2

lihat semua
Episodes
1 PROLOG.
2 BAB 1: INILAH AKU ....
3 BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4 BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5 BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6 BAB 5: HARI MABAL ...
7 BAB 6: PESTA ...?
8 BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9 BAB 8: HAHAHA ....
10 BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11 BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12 BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13 BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14 BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15 BAB 14: CACAT LOGIKA?
16 BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17 BAB 16: DILECEHKAN ...?
18 BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19 BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20 BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21 BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22 BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24 BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25 BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27 BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28 BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30 BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31 BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33 BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35 BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37 BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39 BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41 BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43 BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45 BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47 BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49 BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51 BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53 BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55 BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57 BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58 EPILOG.
Episodes

Updated 58 Episodes

1
PROLOG.
2
BAB 1: INILAH AKU ....
3
BAB 2: INILAH TEMAN-TEMANKU ....
4
BAB 3: ALASAN NYELNEH ...?
5
BAB 4: OH ... ADA TAMU.
6
BAB 5: HARI MABAL ...
7
BAB 6: PESTA ...?
8
BAB 7: ANTAR AKU PADA SUAMIKU ...
9
BAB 8: HAHAHA ....
10
BAB 9: SEJARAH ORANG BODOH ....
11
BAB 10: TIDAK SAKIT HATI.
12
BAB 11: ORANG ITU LAGI?
13
BAB 12: BERLEHA-LEHA.
14
BAB 13: PATAHNYA KERAGUANKU.
15
BAB 14: CACAT LOGIKA?
16
BAB 15: BUKAN PSIKOTERAPI ...
17
BAB 16: DILECEHKAN ...?
18
BAB 17: LIDAH SETAJAM PEDANG.
19
BAB 18: BALAS DENDAM ADALAH HUKUM.
20
BAB 19: HANGUS TERBAKAR ADALAH PERUBAHAN.
21
BAB 20: KESEMPURNAAN ADALAH CITA-CITA.
22
BAB 21: JIWA ADALAH YANG DIKENAL.
23
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (part1)
24
BAB 22: SOLIDARITAS ADALAH KEUTAMAAN. (Part 2)
25
BAB 23: MENYATAKAN CINTA ADALAH KEMAJUAN.
26
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 1)
27
BAB 24: KENYATAAN ADALAH NOL. (Part 2)
28
BAB 25: MALAM INI ADALAH BUKAN MALAM ITU.
29
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 1)
30
BAB 26: PERMULAAN ADALAH AWAL PERANGKAP. (Part 2)
31
BAB 27: PSIKOANALISIS ADALAH PERTAMA.
32
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 1)
33
BAB 28: KEBENARAN ADALAH PEMECAH BELAH. (Part 2)
34
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 1)
35
BAB 29: KEPINTARAN ADALAH KEJAHATAN. (Part 2)
36
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 1)
37
BAB 30: KONSPIRASI ADALAH KEBODOHAN. (Part 2)
38
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 1)
39
BAB 31: ANTAGONISME SOSIAL ADALAH CITRA MASA REMAJA. (Part 2)
40
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 1)
41
BAB 32: EGOSENTRISME ADALAH KEDUA. (Part 2)
42
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 1)
43
BAB 33: PENDERITAAN ADALAH PELAJARAN. (Part 2)
44
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 1)
45
BAB 34: KEMATIAN ADALAH AWAL. (Part 2)
46
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part. 1)
47
BAB 35: PERANG ADALAH HARAPAN. (Part 2)
48
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 1)
49
BAB 36: ANTIMATERI ADALAH AKU. (Part 2)
50
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 1)
51
BAB 37: Autobiografi Laisa. (Part 2)
52
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 1)
53
BAB 38: DIA ADALAH POLA PIKIR. (Part 2)
54
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 1)
55
BAB 39: KULMINASI ADALAH KETIGA. (Part 2)
56
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 1: Tamat)
57
BAB 40: SUBLIM SANG KEJORA. (Part 2: Tamat)
58
EPILOG.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!