Terdengar suara azan membangunkanku. Pening sekali kurasakan di kepala. Aku meraba tempat Selli tertidur. Dan hasilnya membuatku panik. Selli sudah tidak ada di tempatnya. Aku tersontak dan membangunkan tubuh besarku, aku mencari-cari Selli dengan gelagapan dan cemas. Mati aku!
"Selli ... Sayang ... kamu di mana?" panggilku.
Tidak ada jawaban, aku melangkah keluar dari ruang ranjangku menuju ke ruang tengah televisi. Dengan harapan Selli ada masih berada disana. Aku sangat takut jika Selli keluar dari sini sendirian. Jika terjadi apa-apa, harus perkataan apa yang kuucapkan pada Mas Arlan.
Aku masih memanggil-manggil nama Selli. Aku memohon agar ia menjawabku. Namun, bukan suara Selli yang aku dengar. Melainkan sayup-sayup orang berbincang.
"Kamu nyari siapa, Fanni?" tanya seseorang kepadaku.
Dengan cepat aku melangkah ke arah suara. Ibuku di sana duduk di sofa empukku bersama Mas Arlan. Dan tentunya Selli di pangkuan Mas Arlan.
Aku menghembuskan nafas lega sangat lega. Namun, tiba-tiba rasa malu menggerayangi hatiku. Mengingat aku terlelap sampai waktu maghrib dan disaksikan oleh Mas Arlan.
"Sial! Kenapa gue lama banget molornya sih." gumamku kepada diri sendiri yang sangat bodoh.
Dengan cengar-cengir tidak enak hati aku melangkah menghampiri mereka. Aku bingung, mengapa ibuku disini dan Mas Arlan juga. Apa bisa sekebetulan itu?
"Anak perawan kerjaannya molor aja, maaf ya. Anak saya suka kayak gitu," ujar ibuku.
"Hehe ... enggak apa-apa, Tante. Tadi saya juga titip Selli sama Fanni mungkin dia kecapekan."
"Pantes kamu nungguin di depan dari tadi ya pasti."
"Nggak kok, Tante. Belum lama juga hehe."
Mas Arlan menunggu di depan? Astaga, apa mungkin ia telah datang dari tadi dan aku tidak tersadar sama sekali. Rasa maluku semakin bertambah, bisa-bisanya aku tertidur seperti kerbau mati. Sampai-sampai tidak mendengar bel pintu berbunyi.
"M-maaf, Mas. Aku tadi enggak sengaja ketiduran," ujarku dengan rasa tidak enak kepada Mas Arlan.
"Hehe ... enggak apa-apa, Dek, saya juga baru nyampe," jawabnya.
Aku meringis sembari menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Terlebih, kini ibuku memelototkan matanya sebegitu seramnya, yang artinya kamu ini bikin malu saja.
Aku duduk di samping ibuku dan mencoba membaur dalam perbincangan. Mas Arlan harus melewati beberapa interview dari ibuku. Ibarat seorang calon yang baru saja melamarku. Dan itu bukan kenyataannya. Dengan cepat aku mencubit lengan ibuku agar menghentikan pertanyaannya. Yeah, meskipun tidak berhasil. Namanya juga emak-emak tidak akan pernah kalah.
"Nak Arlan ini orang mana?" tanya ibuku.
"Orang sini kok, Tante. Kebetulan deket dari sini," jawab Mas Arlan.
"Owalah emang kerja di mana, Nak?"
"Hehe ... di kantor tante di perusahaan properti."
"Lalu gimana emm ... di mana ibunya Selli?"
"Maaa!"
Aku rasa pertanyaan ibuku akan lebih keterlaluan jika diteruskan. Dan dengan cepat aku mencegahnya. Aku tidak ingin aku atau ibuku ikut campur dengan masalah Mas Arlan. Beruntung, ibuku lebih peka sekarang. Mungkin beliau menangkap tentang keseriusan masalah yang dihadapi Mas Arlan dan akhirnya mengalihkan topik lain dalam perbincangan.
"By the way, kenapa Mama bisa di sini sama Mas Arlan?" tanyaku.
"Kamu itu lho, Fann, yang kebiasaan waktu maghrib malah tidur tadi Nak Arlan udah di depan pintu kamu lama, untung Mama dateng kalau enggak dateng mau sampai jam berapa nanti nungguin kamu bangun?" cerca ibuku geram.
"Hehe ... maaf, Ma, aku enggak sengaja. Maaf ya, Mas."
"Enggak apa-apa kok, Dek. Mas yang terima kasih sudah mau dititipin anak Mas. Terima kasih juga, Tante, sudah mengizinkan saya mampir," ujar Mas Arlan.
Setelah itu aku memberikan ruang untuk Mas Arlan agar bisa menjalankan ibadah maghrib. Yeah, meskipun kami harus bergantian karena ruangan sempit.
Ibuku mulai sibuk di dapur dan menyiapkan beberapa menu makanan yang beliau bawa dari rumah. Ibuku juga meminta Mas Arlan untuk makan malam bersama karena makanan yang dibawa agak banyak. Memang biasanya ibuku membawa banyak jika mampir untuk sarapanku esok hari.
"Selli mau disuapin, Tante?" tanyaku menawarkan diri kepada gadis kecil tersebut.
"Enggak mau, Tante. Selli, kan, udah gede pengen ma'em sendiri kata papa halus mandili," jawabnya menggemaskan.
"Waduh, si cantik udah pinter ya, ni Nenek ambilin ayam yang enak banget masakan Nenek," sambung ibuku.
"Nenek pintel masak, ya?"
"Iya dong, Cantik. Nenek ini cef handal hehe."
"Selli pengen kayak Nenek bial pintel masak."
"Harus dong. Biar Selli bisa masakin orang yang disayangi."
"Nenek mau ngajalin Selli enggak?"
"Hmm."
Kami semua tertawa mendengar celotehan si gadis kecil tersebut. Aku kagum padanya untuk usia yang belum sampai lima tahun. Selli termasuk pintar dan mau belajar. Ia menuruti setiap arahan dari Mas Arlan dan menanyakan segala sesuatu yang belum diketahui. Meskipun begitu image lucunya tidak hilang malah semakin menggemaskan.
Lambat laun waktu berjalan sebagaimana mestinya. Mas Arlan mengucapkan banyak terima kasih padaku dan ibuku. Dan kami menerima ucapannya dengan senang hati.
"Jangan lupa kapan-kapan bawa Selli maen ke rumah tante ya, Nak Arlan," ujar ibuku.
"Inshaa Allah, Tante. Kalau tidak keberatan saya pasti akan mampir hehe. Makasih, Tante, buat makan malamnya juga."
"Santai aja, Nak, yang penting pulang hati-hati ya jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya."
"Iya, Tante. Assalamu'alaikum, Tante, Dek Fanni."
"Wa'alaikumssalam."
Aku dan ibuku menjawab salam pamit Mas Arlan berbarengan dan sebelum itu aku kecup lembut kening Selli. Sebenarnya aku ingin mengantarnya sampai bawah. Namun, Mas Arlan menolaknya. Ia tidak mau tambah merepotkanku. Yeah, meskipun aku tidak merasa seperti itu. Daripada terlihat ganjen aku akhirnya menurutinya.
Selang beberapa menit Mas Arlan meninggalkan apartemenku. Kini aku duduk di sofa bersama ibuku. Beliau menatapku tajam seakan bisa menghunus dadaku pelan-pelan. Sepertinya aku akan diinterogasi oleh ibuku.
Aku menggigit bibirku salah tingkah. Apa yang harus aku katakan nanti setelah memdengar pertanyaan ibuku? Mungkinkah beliau akan mempercayai perkataanku? Aku tidak ingin ada kesalah pahaman diantara kami lagi. Oh Tuhanku, bantu aku!
"Mandi!" tegas ibuku dengan nada kencang dan tegas.
"I-iya, Ma," jawabku.
"Entar ke sini lagi. Mama mau ngomong sama kamu."
"Duh, Mama."
"Cepet!"
"Iya, Ma, iya."
Tanpa pikir panjang aku beranjak menuju kamar mandi. Sekaligus memanfaatkan waktu yang ada untuk berpikir keras. Aku mempersiapkan banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan besar akan muncul.
Tentu saja aku memanfaatkan momen mandiku dengan durasi yang lama. Aku sengaja agar ibuku mulai jenuh dan bosan. Sehingga beliau melupakan rencana interogasinya padaku. Lebih beruntung jika beliau beranjak meninggalkan apartemenku untuk pulang. Meskipun agak mustahil tetap tidak ada salahnya sedikit berharap kan?
"Fanniii?!" seru ibuku tiba-tiba sembari mengetok pintu kamar mandi
"Iya, Ma," jawabku.
"Kamu sengaja ya dilamain?"
"Enggak kok, Ma, Fanni sakit perut. Mama pulang aja kalo kelamaan."
"Enak aja kamu nyuruh-nyuruh Mama pulang. Silakan aja kalo betah di dalem, Mama mau nginep di sini lagi."
"Ih, Mama!"
Sialnya begitulah sifat keras hati ibuku. Aku tidak bisa kabur dari rencana interogasinya.
"Fyuuhhh mama!"
Bersambung ....
Jangan lupa like komen oke!!!
Gratis say!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
ViNo L
ini si "lambat laun..." sering bgt muncul ya thor
2023-02-08
1
lia
lucu mamanya hehehe
2020-10-07
0
Inonk_ordinary
Mantulllll thor.... Endut pantas bahagia
2020-07-07
2