Tiba-tiba rasa malu merasuki hatiku. Aku teringat Mas Arlan. Jika Selli disini berarti ayahnya juga. Bagaimana aku harus bersikap ketika nanti aku sampai bertemu dengannya. Mengapa rasa malu baru datang sekarang? Padahal saat di kafe aku begitu lancarnya menceritakan pertengkaranku bersama ibuku. Aku hanya tidak menyangka jika akan ada pertemuan kedua seperti ini.
“Duh... sial mati gue.” Gumamku pelan sembari memijat keningku.
“Loh mbak Fanni kenapa to?” Tanya Lilis yang tak lain adalah pengasuh yang mengurus anak Nike dan usinya memang lebih muda dariku.
“Oh... nggak kok Lis.”
“Masak sih? Tadi lho mbak Fanni ketawa-ketawa kok sekarang tiba-tiba jadi murung gitu.”
“Ihh si Lilis mah kepo ya.”
“Hehe aku emang kayak gini mbak orang e jangan kaget nggeh.”
Perkataan-perkataan gadis pengasuh berkulit sawo matang dengan logat jawanya mampu meruntuhkan sedikit rasa ilfeel yang ada dalam hatiku. Ia hanya cengengesan dan masih saja ingin tahu. Namun aku tidak marah dengannya. Malahan kami bisa tertawa bersama. Entah mengapa aku lebih nyaman bersama dengan orang-orang seperti Lilis daripada rekan-rekanku dikantor yang cukup fashionable. Ia tampak lugu dan polos.
Tentunya ia belum terjamah atau terpengaruh dengan kehidupan perkotaan.
Tidak butuh waktu terlalu lama selesailah pekerjaan membungkus ini. Hanya tinggal membagikannya kepada para anak yatim yang diundang. Dan sebagian teman-teman dari anak Nike yang bernama Rafif.
Ada rasa bangga tersendiri bagiku. Aku bisa terlibat di acara amal yang dilaksanakan dalam perayaan ulang tahun Rafif. Meskipun aku belum atau tidak menyumbang dana. Namun kini aku punya rencana untuk melaksanakannya suatu hari nanti. Tidak ada salahnya bukan aku menyisihkan sedikit penghasilanku untuk acara seperti ini nantinya. Dan pasti orang tuaku akan mendukungnya.
“Ayoo mbak gabung kedepan ikut bantuin mbak Nike.” Ajak Lilis untuk ikut serta menonton acara ulang tahun Rafif.
“A..aanu Lis duluan aja ya gue pengen ke toilet dulu.” Jawabku.
Sebenarnya jawabanku adalah sebuah penolakan. Aku masih belum siap jika bertemu dengan Mas Arlan. Bukan seperti seorang wanita yang akan berhadapan dengan pujaannya. Melainkan seorang wanita yang merasa malu karena telah menceritakan masalahnya secara sadar kepada orang yang baru dikenal.
Aku mondar-mandir sendirian di ruang dapur. Kuku jempol aku gigit-gigit kecil yang menandakan aku sedang merasa bingung. Antara iya atau tidak untuk melihat perayaan ulang tahun Rafif anak Nike. Kini terdengar riuh nyanyian khas ulang tahun disertai tepuk tangan dari para anak undangan. Sejujurnya aku ingin ikut bergabung. Namun lagi-lagi rasa ragu menghampiri.
“Loh Fanni ya kok masih disini?”Tanya Mas Roni yang tak lain adalah suami Nike.
“Ehh... emm anu mas disini aja sambil beberes.” Jawabku.
“Entar aja bareng-bareng beresinnya ikut kedepan aja.”
“Tapi mas biar cepet kelar kok.”
“Udah nggak usah kalo beresin mah biar yang punya rumah aja. Yuk udah di tanyain Nike loh.”
“Iya udah mas.”
Karena merasa tidak enak. Akhirnya aku menyetujui ajakan Mas Roni. Aku merasa tidak enak juga jika terlalu lama di dapur sendirian. Terlebih dirumah orang. Jantungku berdeguptidak beraturan. Aku merasa grogi ketika mulai mendekati tempat acara berlangsung.
Dan benar saja. Bola mataku menangkap keberadaan seorang pria yang menggendong anaknya. Yang tak lain dan tak bukan adalah Mas Arlan dan Selli. Lebih sialnya lagi, Selli menatapku dari sisi berlainan yang agak jauh dari tempatku berada. Ia menunjukkan jari kecilnya dan tampak memberitahukan Ayahnya.
Rasanya aku ingin berlari sekencang mungkin dari sini. Meninggalkan semua rasa malu dan ilfeelku terhadap diriku sendiri yang bodoh. Supaya tidak perlu menghadapi Mas Arlan. Namun itu semua tidak mungkinkan? Jika aku benar melakukannya semua orang akan menilai seperti apa lagi? Dan tentunya tambahan nilai negatif akan bertambah untukku diriku.
Aku mengaduh-aduh sendirian dengan gelisah. Padahal aku sudah mencoba memalingkan wajah dan berpura-pura tidak tau. Namun ekor mataku menangkap Mas Arlan berjalan menghampiriku bersama Selli di gendongannya.
“Ohh... Shiittt.” Umpatku dalam hati.
“Hay Fanni ya?” Sapa Mas Arlan.
“Ah.. ehm.. ii..iiya Mas hehe.” Jawabku grogi.
“Kok bisa disini?”
“Anuu.. aku temen Nike kok.”
“Owalah.”
Lalu kami saling diam untuk beberapa waktu. Dan suasana semakin bertambah canggung. Aku melirik sedikit tampaknya Mas Arlan mengarahkan Selli untuk menikmati pasta sederhani ini. Dengan kesabaran yang luar biasa ia menanggapi setiap rengekan dari Selli. Aku salut padanya, mungkin jika itu orang lain. Mereka akan memilih menyewa baby sitter dari pada membawa anaknya kemana-mana sendirian.
“Tante besal tante besal itu ituu ada badut badutnya lucu.” Ujar si kecil Selli sembari menunjuk pertunjukkan seorang badut yang turut merayakan acara ini. Disertai riuh tawa dan tepuk tangan dari anak-anak lain.
“Iya sayang lucu ya tante bisa ketawa lagi.” Jawabku.
“Udah baikan berarti ya hehe.” Sambung Mas Arlan.
Aku hanya bisa tersenyum kecut menanggapinya. Apalagi perkataannya mengarah ke ledekan untukku. Dan berhasil membuat wajahku memerah seketika menanggung malu.
“Ehh kalian udah saling kenal?”Celetuk Nike yang sudah berada disampingku.
“ Ehmm... gak sengaja.” Jawabkusingkat.
“Owalah. Eh tau gak Fann Mas Arlan ini...”
“Anu saya teman sekantornya suami Nike si Roni, Fann.” Potong Mas Arlan sebelum Nike melanjutkan perkataannya.
“Oh ya pantes disini.” Jawabku.
Aku sedikit mengeryitkan dahiku melihat Mas Arlan bersikap seperti itu. Seperti ada yang disembunyikan. Namun, aku tidak memikirkan terlalu serius. Lagi pula bukan urusanku juga.
“Papa turunin aku, aku mau sama tante besal.” Pinta Selli.
“Ehh gak boleh nyusahin tante Fanni sayang.” Ujar Mas Arlan.
“Gak apa-apa mas biar sama aku aja.”
“Gak papa nih takut nyusahin entar kalo Selli repot.”
Aku tersenyum. Kini tanganku menangkap tubuh kecil Selli dan mengambil alih gendongannya. Namun Selli meminta diturunkan. Ia menggandeng tanganku dan mengajak lebih dekat melihat aksi sang badut.
Aku terlihat sepeeti seorang ibu saat ini, meskipun hanya dadakan dan bersifat sementara. Namun dengan adanya Selli rasa iri terhadap ibu-ibu yang lain bisa berkurang. Aku bisa merasakan kehangatan mengasuh seorang anak. Dengan penuh kesabaran dan rasa tulus aku menanggapi celotehan kecil dari bibir imut dan mungil milik Selli. Terkadang aku mengecup pipi bulatnya karena gemas. Ia seperti boneka barbie yang bernyawa.
Beberapa waktu kemudian, acara akan segera selesai. Tinggal sesi pembagian amplop dan bingkisan kepada anak-anak yatim. Dan tentu saja aku membantu Nike. Meski kini Selli masih dengan erat menggenggam tanganku. Aku malah merasa senang dan gemas bukannya keberatan.
“Tante kenapa ini dibagiin?” Tanyanya dengan raut polos menggemaskan.
“Ini namanya sedekah sayang, kalau kita ngasih sama orang yang tidak mampu orang yang sudah tua yang dijalanan kita akan mendapat pahala.” Jawabku.
“Kata papa Selli kalo udah dapet pahala pasti masuk sulga ya tante.”
“Hehe bener tapi suatu saat nanti yang terpenting Selli harus banyak berbuat baik ya.”
Aku akui untuk anak yang baru seusianya. Selli terbilang cerdas dan mau belajar mandiri. Mungkin Mas Arlan mendidiknya dengan baik selama ini. Aku hanya menyesalkan atas apa yang menimpanya. Seorang ibu malah dengan teganya tidak mengakui anak semanis dan secerdas Selli. Namun aku berusaha tidak ikut campur atau membahasnya di hadapan Selli maupun Mas Arlan. Toh, bukan urusanku lagipula aku baru mendengar dari stu pihak. Jadi, aku tidak mau
menyimpulkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Akhirnya selesai sudah acara ulang tahun Rafif, anak dari Nike dan Mas Roni. Senyum bahagia tentunya tersirat dalam keluarga mereka. Begitupun aku, meskipun bukan acaraku atau keluargaku. Senyum dari semua orang yang berada disini seolah memberikan
dukungan untukku agar lebih semangat menjalani hidup.
“Fann makasih ya. Kalau gak ada kamu aku pasti keteteran apalagi.” Ujar Nike.
“Sama-sama Ke.” Jawabku sembari tersenyum.
“Ini buat kamu dibelakang masih banyak.”
“Ih gak usa repot-repot Ke buat yang lain aja ini bingkisannya lagian aku tinggal sendiri malah dibawain sebanyak ini.”
“Gak papa Fann pokoknya bawa aja biar aku lega ya.”
“Hmm... yaudah thanks ya gue balik dulu.”
“Iya Fann hati-hati yaa.”
Aku berpamitan kepada semua orang yang masih ada. Tak lupa juga pada Mas Arlan dan Selli yang sudah aku kembalikan kepadanya. Lalu aku menghampiri mobilku berada.
Saat aku akan membuka pintu mobilku. Seseorang menghentikan gerakanku. Dan mau tidak mau aku membalikkanbbadan menatap siapa ia. Mas Arlan tengah berdiri dihadapanku sekarang. Entah apa maksudnya ia melakukan itu.
“Kenapa mas?” Tanyaku.
“Gak dek ini boleh gak saya minta nomer de Fanni?” Pintanya grogi.
“Haaah?”
“Anu-anu itu maksud saya takut Selli nanyain gitu sumpah saya beneran gak ada maksud lain kok. Baru kali ini anak saya bisa nyaman sama orang lain.”
Aku hanya tersenyum melihat Mas Arlan yang salah tingkah. Lalu mendiktekan digit nomor ponselku sekaligus nomor yang aku pakai untuk salah satu aplikasi chatting. Setelah itu aku berpamitan lagi dan bergegas kembali ke istana boneka milikku pribadi.
Bersambung...
budayakan like, komen dan bintang lima ya 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Lilis Effendi
walah aq ikut nimbrung disini sama anakku sayang perannya beda namaku Lilis anak ku namanya Rafif kebetulan banget si thorr
2021-12-30
1
Aruna Zahrani
feelingq arlan ini bos besarx d kntor fanny nih. cm dia g mu diketahui aja ama fanny.makax pas nike mo ngmg lgsg dipotong ama dia
2020-07-23
1
Komang Padmawati
kyakya bapakny jga nyman sm km fan....😂😂
2020-07-18
2