Aku menggemudi mobil merahku dengan sangat santai. Toh, tidak ada siapapun yang menungguku. Sembari menikmati suasana sore hari yang lumayan ramai. Banyak bapak-bapak penjual kaki lima yang sedang berlalu lalang. Memang suasana kota ketika memasuki malam hari lebih terasa padat. Karena siang harinya pasti banyak orang yang akan bekerja.
Bola mataku menangkap keberadaan seorang nenek yang sudah renta. Sedang duduk dipinggiran jalan sembari menjajakan dagangan. Nenek tersebut tampak menjual nasi pecel yang tersusun sederhana di tampah bambu kecil dan tentunya terlihat begitu kasihan. Apalagi dagangan beliau belum banyak terjual.
Aku beringsut meminggirkan mobilku tak jauh dari keberadaan sang nenek. Hatiku merasa iba ketika menangkap raut sendu dan pasrah di wajah beliau. Aku keluar dari mobil dan perlahan menghampiri sang nenek. Aku ingin menyisihkan sedikit saja uangku untuk membeli dagangannya.
"Assalamu'allaikum, Nenek," sapaku dengan ucapan salam yang begitu tulus.
"Wa'alaikumsssalam Cu. Ini Cu dijamin enak lho pecel Mbah," jawab Nenek tersebut.
Aku tersenyum. "Oh iya, Mbah. Saya mau beli tiga bungkus ya, Mbah."
"Alhamdulillah tunggu ya, Cu."
Terbesit rasa sesak yang tumbuh di hatiku. Pandanganku tidak lepas dari pergerakan nenek penjual pecel ini. Beliau melayaniku dengan tubuh yang sudah kurus dan renta. Dengan tangan yang sudah bergematar karena usianya, disusun pelan-pelan setiap bumbu dan sayur mayur untuk pecel. Benakku bertanya-tanya. Kemanakah anaknya? Atau sanak saudaranya?
"Mbah tiap hari jualan ya?" tanyaku mencoba mengorek sedikit kehidupan sang nenek.
"Kadang-kadang aja, Cu. Kalau Mbah lagi sehat. Badannya sudah tua sering sakit-sakitan."
"Anak Mbah, kemana?"
"Ada, Cu. Mereka sama susahnya seperti Mbah. Udah pada punya keluarga sendiri juga."
"Oh, ... Tapi nggak seharusnya Mbah bekerja diusia begini mbah."
"Nggak apa-apa, Cu. Mbah takut ngrepotin anak Mbah. Yang penting anak cucu Mbah sehat hidup kecukupan. Mbah nggak bisa nyekolahin tinggi. Sekarang mereka hidupnya jadi susah. Biasa Cu, jaman dulu sekolah itu dinilai tidak terlalu penting. Kalau ditanya sekarang, Mbah menyesal padahal saat suami masih ada. Hidup kami nggak sesusah sekarang. Nyari uang masih gampang apalagi buat nyekolahin anak juga masih bisa tapi memang sudah takdir yang diatas, Cu."
"Yang sabar ya, Mbah. Setiap orang punya cobaannya masing masing."
"Terima kasih ya, Cu. Ini pecelnya sudah jadi."
Aku cukup terkesiap mendengar penuturan nenek penjual pecel ini. Aku menyimpulkan sesuatu berharga. Bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali dan sebaiknya mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik mungkin. Tentu saja untuk hal positif yang berguna untuk masa depan. Karena pada dasarnya takdir terjadi tergantung diri sendiri akan melangkahkan tujuannya ke jalan seperti apa. Tuhan pasti akan membalasnya sesuai ikhtiarnya.
Aku meraih tiga bungkus nasi pecel yang berada dalam sebuah kantong keresek hitam. Dan memberikan bayaran dengan dua lembar uang ratusan ribu.
"Aduh, Cu. Ini kebanyakan," sergah sang nenek.
"Nggak apa-apa, Mbah. Anggep aja rezeki buat Mbah," ujarku.
"Nggak boleh gitu, Cu. Ini lho harga pecelnya aja gak seberapa kok semua cuma lima belas ribu aja."
"Terima saja ya mbah bantu aku buat bersedekah hehe."
"Ya Allah, Cu. Terima kasih Mbah nggak tahu harus bales pake apa."
Aku membalas ucapan terima kasih dari sang nenek penjual pecel dengan senyuman yang sangat tulus. Kemudian beranjak dan kembali ke dalam mobilku. Aku menggemudikan mobil dan bergegas pulang karena hari semakin sore.
Di perjalanan benakku kembali terbayang raut wajah nenek penjual pecel. Betapa kasihannya, seandainya aku adalah orang yang kaya raya. Ingin sekali aku membangun sebuah yayasan panti jompo. Untuk tempat para lansia bersantai menikmati hari tua dan tentunya aku tidak akan membiarkan mereka bekerja keras lagi di usia yang sudah sangat renta.
Yeah, apa mau dikata, saat ini aku masih menjadi bawahan di perusahaan orang lain. Semoga saja aku bisa mewujudkannya suatu saat nanti. Aku juga menjadi teringat pertengkaranku dengan ibuku semalam. Aku merasa sudah sangat keterlaluan. Aku merasa sangat tidak tahu diri padahal selama ini ibuku selalu merawatku dengan baik. Hanya karena masalah sepele saja aku bisa meledakkan emosi yang sangat egoisnya.
"Aku pengen minta maaf sama Mama ...," gumamku pelan.
****
Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di apartemenku. Dengan langkah gontai karena kelelahan dan sudah tidak sanggup menopang badan besarku. Aku melenggang ke dalam lift alias elevator.
Sesampainya di istana bonekaku, dengan cepat kutekan tombol digit angka yang menjadi kode pengaman sekaligus kunci pintu apartemenku. Kuhela nafas dalam dengan begitu leganya. Akhirnya aku bisa bersantai juga. Tanpa harus bertatapan dengan komputer dan berkas-berkas yang membosankan. Dan tentunya untuk sementara aku terbebas dari sesosok setan cantik yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mita.
Karena beberapa bagian tubuh begitu sangat pegal dan penat, aku berencana segera bergegas mandi. Setelah mengambil baju ganti, aku melangkah menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur. Aku sedikit terperanjat ketika bola mataku menangkap seorang wanita sedang sibuk di meja kompor. Ibuku tampaknya sedang memasak sejak tadi, terbukti sudah ada beberapa hidangan yang telah tersaji di meja makan.
"Hai, Ma. Assalamu'alaikum," sapaku, berhasil membuatnya membalikkan badannya menatapku.
"Hai juga Sayang. Wa'alaikumssalam, kamu sudah pulang to?" jawab ibuku sembari tersenyum. Setelahnya kembali memainkan centong diatas wajan berisi masakan.
Aku merasa sedikit kikuk. "Emm ... Mama sudah dari tadi ya disini?"
"Seperti yang kamu bilang, Sayang."
Ada rasa canggung menerpa hatiku sekarang. Padahal baru saja aku akan berencana meminta maaf. Namun kini boro-boro minta maaf, ingin bersikap biasa saja aku tidak bisa. Anak macam apa aku ini, dengan ibuku sendiri aku malah merasa malu dan kikuk. Sedangkan dengan orang lain aku malah bisa memberi sedikit motivasi.
"Ma ... emm.. itu," ujarku tergagap.
"Apa, Sayang? Kamu kayaknya capek lho mandi dulu sana."
"Emm ... Mama nggak perlu bantuankah?"
"Enggak, Sayang. Ini bentar lagi beres kok."
"A-aku mandi dulu ya, Ma. Entar aku bantuin."
"Iya, Sayang."
Aku berusaha menatap ibuku dan memberikan senyuman setulus mungkin. Meski, akan terlihat sangat kaku dan canggung. Aku beranjak ke kamar mandi dan membasuh setiap inchi tubuhku sebersih mungkin.
Dan nyatanya, otakku masih berputar mencari kalimat yang tepat. Tentunya untuk ucapan maafku untuk ibuku. Aku memberi motivasi supaya tidak malu untuk melontarkan permintaan maaf kepada ibuku dari diriku sendiri.
****
Malamnya kami makan bersama, beserta tiga bungkus pecel tadi. Lagi-lagi, bibirku masih terkunci. Belum keluar kata maaf yang bisa aku lontarkan kepada ibuku.
Bersambung...
Yang sudah baca silahkan like dan komennya ya biar saya tambah semangat mau lanjutin novelnya.
Terima kasih juga sudah mampir di novel singkat dari saya.
Semoga menjadi manfaat dan motivasi untuk kita semua 😊😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
MaiRa Rai Matsui 💖
ceritanya bagus thor 😍😍
aq menangis terharu di part ini
2021-05-20
1
Dzie yudith
aku prnh ngalamin yg fanny alamin,.. beda nya sampai skrg aku msh perang dingin sm mmh ku😔
2020-11-11
0
Emilisdapanjaitan
minta maaf buruan nanti nyeseo
2020-06-10
0