****
"Neng Febi, mau daging kan? Sini, sini, Tante ambilin, Sayang," ujar ibuku seraya menuangkan makanan yang akan diperuntukkan untuk Febi.
"Jangan sungkan ya, Sayang. Anggep rumah sendiri hehe," sambung kakakku.
Febi menyunggingkan senyum yang begitu cantik di wajah ayunya. "Terima kasih, Tante," jawabnya lembut.
Aku hanya berdehem kesal. Bola mataku menatap tajam dengan perhatian-perhatian ibu dan kakakku untuk Febi yang akan menjadi bagian keluarga kami. Maksudku, mungkin saja kalau tidak gagal lagi karena sifat playboy dari kak Pandhu.
Sedangkan ayahku, beliau sedang sibuk menikmati makanannya. Beliau hanya menyunggingkan senyum ramah beberapa kali saja. Ayahku memang tidak terlalu banyak bicara. Namun, senyum ramah milik beliau sudah memberikan kesan ramah untuk semua orang yang berjumpa dengan beliau.
Sejujurnya rasa kesal telah menggerayangi hatiku sejak kedatangan Febi. Memang sih, ia tidak memiliki salah apapun. Mungkin yang membuatku kesal adalah sikap ibu dan kakakku yang luar biasa lebaynya. Bahkan keberadaanku seperti tidak terlihat.
Thang! Aku ketukkan sendok dengan begitu kencang. Sampai membuat orang yang berada disini tersentak dan spontan menatapku. Lalu siku ibuku disenggolkan pada tanganku. Seolah memperingatkanku untuk bisa menjaga sikap agar lebih sopan.
"Udah lanjutin aja makannya, tadi Fanni gak sengaja hehe," ujar ibuku untuk menutupi perbuatanku.
"Iya, Tante. Febi paham kok hehe," Jawab Febi.
Aku hanya bisa menghela nafas begitu dalam menghembuskannya dengan kasar. Bukannya lebih peka malah menambahi rasa kesal saja.
Aku mengoyak-oyak daging sapi yang berada di piringku dengan wajah masam tidak berselera. Aku menanti-nanti jarum jam yang terasa begitu lambat gerakannya. Ingin rasanya segera pulang ke apartemenku dan merebahkan badan besarku yang berat pada ranjang yang sekuat baja, supaya tidak menyaksikan pemandangan yang luar biasa terasa membosankan ini.
Mereka semua semakin hangatnya menikmati hidangan disertai obrolan-obrolan yang garing. Terlebih Febi bak menjadi seorang putri malam ini. Tidak hentinya ia mendapat pujian-pujian dari ibuku. Sedangkan kakakku masih tersenyum dengan jawaban yang terasa begitu membangga-banggakan kekasihnya.
Memuakkan!
Akhirnya aktivitas menyantap sudah selesai. Dan lagi-lagi rasa kesalku ibarat disiram pupuk agar tumbuh subur. Ibuku memberikan tugas cuci piring padaku. Kalau tahu akan begini aku tidak akan mau datang.
Dengan berat hati aku menurutinya, aku gerakkan tanganku mengantar piring menuju wastafel yang berada di dapur. Setelah sampai, aku putar kran air wastafel dan mulai membersihkannya.
"Fann, aku bantuin ya?" pinta Febi yang sudah berada di dapur, lebih tepatnya sekarang ini ia di sampingku.
"Nggak usah!" jawabku jutek.
"Nggak papa kok." Febi tersenyum.
"Dibilangin susah amat sih loe!"
Tanpa mau mendengarku Febi mulai membantuku. Ia membasuh piring-piring yang sudah aku gosok dengan sabun pencuci piring. Hal ini tidak membuatku senang sama sekali. Apalagi tubuhku yang besar terasa sesak karena keberadaan Febi di sampingku.
"Ih! Dibilangin nggak usah!," tegasku jengkel.
"Jangan marah gitu atuh," jawab Febi.
"Udah loe sono aja, ngobrol cantik sama yang lain. Kan sayang sama tangan loe entar jadi kasar!"
"Nggak apa-apa, Fann. Aku enggak, aaa!"
Prang! Piring terjatuh dari tangan Febi. Hatiku semakin panas dibuatnya. Entah bara api dari mana yang seolah membakar ubun-ubunku saat ini. Aku juga tidak tahu mengapa jadi seperti ini.
"Kan gue udah ngomong nggak usah, ya nggak usah!"
"Aduh, maaf, Fann. Aku nggak sengaja," jawab Febi dengan raut wajahnya yang saat ini sedang gugup.
"Makanya keluar aja ngobrol sama yang lain. Nggak usah sok cari muka loe! Emang orang cantik tu kagak becus ngapa-ngapain,"
Entah setan apa yang sedang merasukiku. Aku semakin gencar memaki Febi. Bahkan sampai menusuk hati. Mungkinkan aku iri padanya atau merasa cemburu dengan sikap ibuku padanya.
"Woe! Biasaaja loe!" teriak kencang Kak Pandhu sembari menghampiri keberadaan kami di dapur. "Loe bener-bener keterlaluan, Gajah! Loe harusnya sopan dikit sama calon ipar loe!" lanjut kak Pandhu lagi.
Dahiku mengernyit. "Kakak ipar?! Haha, serius loe? Yakin, Kakak nggak bakal ganti lagi? Nggak inget nih, cewek ini udah orang ke lima puluh yang dibawa pulang!" balasku tak kalah kencang.
Mata Kak Pandhu terbelalak lebar. Mungkin sangat marah dengan perkataanku. Tangannya bergerak ingin dihantamkan pada wajahku.
"Udah Pandhu! Aku yang salah," sergah Febi berhasil membuat kak Pandhu tidak sampai menamparku.
"Sialan loe! Udah badan bengkak, hati loe ternyata busuk juga!" Ujar kak Pandhu.
"Emang masalah buat loe hah?! Bisanya cuma jual tampang padahal aslinya biadab dan loe itu Kakak termiskin di dunia bisanya minta duit sama Mama doang, kan?!"
Umpatanku dengan kak Pandhu terdengar saling bersahut-sahutan. Bisa jadi telinga tetangga mendengar pertengkaran kami.
Tak berapa lama ibuku mengendap-endap menghampiri. Wajahnya telah memerah menandakan amarah yang sudah siap diledakkan. Lalu ayahku berjalan tepat dibelakang ibuku.
"Udah! Jangan pada berantem. Ya Allah! Nggak malu apa kalian? Ini ada Febi !" bentak ibuku yang lagi-lagi tetap mementingkan keberadaan Febi.
"Tu lihat, Ma. Anak gajah nggak bisa sopan sama Febi, nggak bisa sedikitpun ngehargain calon kakak iparnya," lapor kak Pandhu pada ibu sembari menudingkan jari telunjuknya kepadaku.
"Enggak kok, Tante. Ini salah Febi," sela Febi.
Ibuku menatapku tajam. "Aduh Fanni, Fanni! Coba deh kamu sopan dikit Ya ampun daritadi mama udah diem kok gak bisa senyum dikiiit!" tegur beliau yang tidak lain dan tidak bukan ditujukan kepadaku. Tangannya bergerak mengelus-elus dada.
Dahiku mengeryit. Jantungku berdebar begitu kencang. Ditambah telingaku yang terasa panas. Sudah tidak adakah yang membelaku saat ini. Sampai ayahku hanya menepuk-nepuk perlahan bahu ibuku agar lebih tenang. Aku sungguh muak!
"Nggak sopan, Ma?! Siapa yang nggak sopan, daritadi siapa yang nggak nganggep keberadaanku? Semua mata, semua perhatian cuma buat Febi yang masih orang asing. Terus Fanni apa, Ma?Apa karna Fanni paling buruk di sini sampai enggak dianggap. Apa Mama cuma lihat Fanni kayak pembantu. Oh, ... bukan maksudku sampah?!"
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat ke pipiku sekarang. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah berasal dari tangan ibuku. Aku tersentak. Semua orang menganga dan terbelalak. Mataku mulai berderai air mata.
"Udah, Ma. Jangan kasar-kasar," ujar ayahku sembari merangkul bahu ibuku dari belakang.
"Siapa yang ngajarin kamu kurang ajar, Fanni? siapa?!" tanya tegas ibuku dengan mata yang sudah memerah.
Aku sudah muak. "Br*ngsek!"
Aku mengumpat dengan begitu keras. Kulangkahkan kaki besarku yang seolah-olah sanggup mengguncang dunia, meninggalkan mereka semua. Aku melarikan diri dengan deraian air mata. Panggilan ayahku sudah tidak aku gubris lagi.
Aku memasuki mobil merahku dan menutup pintunya dengan kasar. Dengan segera menggemudikannya dengan cepat. Bola mataku masih menangkap keberadaan ayahku yang masih memanggil-manggilku untuk tetap tinggal.
"Maaf, Pa. Aku udah muak," ujarku disela isak tangisku.
Perasaan putus asa kembali menderaku. Padahal sisa perkataan Anton belum kunjung sembuh dari hatiku dan sekarang aku malah mengalami ini semua. Saat ini aku merasa dunia benar-benar tidak adil.
Bersambung...
______________________________________________
Sedikit clue untuk para reader nih.
Saya menulis novel ini dilihat secara real life saja. Mungkin bisa mengarah ke motivasi.
Tentang perjalanan hidup seorang Fanni yang berbadan gemuk dan putus asa. Tapi tidak dipungkiri bahwa ia cukup keras kepala.
Saya tidak akan membuat novel ini seperti drama kebanyakan.
Karena berdiet tidak semudah itu membalikkan telapak tangan bukan??
Tetap stay yah kaka-kaka ikuti alur perjalanan Fanni
Terimakasih :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
mine🖤
thorr
naro bawang kira kira dong😭
2022-11-30
0
Widarti Prayitno
ak aja gendut tp ak happy dengan keadaanku yg penting tidak merepotkan orang lain makanya ak suka baca novel yg bau² gendut atau gemuk
2022-09-21
0
reza gaming 30
othor endut yaaa......... cama dong, sebetulnya bisa kurus kog apalagi yg masih muda, nnt kalo sdh tua unt wanita makin susah turun, dgn olga yg tepat baru bisa membantu, sy dr kecil gemuk SMA sy diet yg tdk makan karbohidrat namanya tiger diet d sukses kog, tp krn sy kurang olga d tdk kontrol makan, jd makin tua BB naik lagi, jd unt yg gemuk jgn putus asa unt diet, demi kesehatan, jrn gemuk itu penyakit menurut dokter gizi sy, semangat 💪🏾💪🏾💪🏾
2022-09-03
0