Disela kesibukkanku mengotak-atik komputerku. Aku teringat sosok kecil yang tidak lain adalah Selli. Entah mengapa aku merasa rindu kepadanya. Ataukah aku hanya merasa simpati atas perlakuan ibunya kepadanya? Yang pasti rasanya aku ingin bertemu dan memangkunya. Memperlakukan ia seperti anakku sendiri.
Namun semua penggandaianku segera aku tepis. Yeah, tidak mungkin aku bertemu lagi dengan Selli atau Mas Arlan. Karena memang pada awalnya kami tidak saling kenal. Dan kejadian tadi malam hanya bersifat mendadak tanpa perencanaan.
Yang pasti, aku mendo'akan yang terbaik untuk mereka. Terutama untuk Selli yang masih kecil dan harus mengalami hal yang sangat menyakitkan. Aku bersumpah suatu saat nanti, disaat Tuhan mengirimkan seorang pria yang mau menikahiku dan memberi keluarga kami seorang atau dua orang atau bahkan lebih dari dua orang anak. Aku tidak akan menyia-nyiakan mereka. Aku akan menyayangi mereka dan juga aku tidak akan membiarkan anakku berakhir sepertiku.
Aku kembali memfokuskan otakku untuk membuat desain dan kalimat iklan atas perintah dari Pak Ruddy. Aku akan bekerja sebaik mungkin. Tidak ada salahnya, bukan? Karena gaji yang aku terima pun lumayan besar. Jadi aku harus bekerja sampai Pak Ruddy merasa puas. Hanya itu, aku tidak akan meminta lebih seperti kenaikan jabatan atau meminta jadi menantunya. Aku tidak sekonyol itu.
"Fanni kayaknya lagi seneng deh," ujar Nike seraya melongokkan kepala yang terbalut hijabnya disisi bilik pembatas ruangan kami.
Aku menoleh ke arahnya. "Semoga ya, Ke. Hehe," jawabku.
"Habis dari tadi bersenandung merdu hehe."
"Ops, ... sorry kalau ngeganggu ya, Ke."
"Santai, Fann. Aku malah nggak ngantuk kok."
"Yah, gue jadi malu, Ke." Aku terkekeh. Aku tidak sadar sama sekali jika senandung kecilku terdengar oleh Nike. Atau jangan-jangan semua rekanku. Seketika ada rasa kikuk menembus hatiku. Aku tidak berani berdiri atau sekedar menangak-nengok. Sambil meringis salah tingkah sendirian.
Brak! Suara beberapa berkas dijatuhkan secara sengaja tepat di mejaku. Spontan aku membalikkan badan dan menatap sesosok manusia setan berwajah cantik sedang berdiri. Maksudku yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mita. Apalagi ini?
"Loe kalau kerja yang bener dong, Sapi!" bentaknya sebegitu kerasnya sampai mengisi seluruh ruangan.
"Apa yang salah wahai ibu Mita yang paling cantik?" tanyaku kembali dengan rasa bingung menerpa hati.
Dengan memasang wajah bangga ia sengaja menunjukkan paras dan tubuhnya yang cantik lebih tegas. Kelemahan Mita memang disini. Jika ia dipuji cantik sedikit saja, perasaannya ibarat dibawa ke awang-awang.
"Oh ... nggak kok, cuman benerin beberapa yang salah. Oke!"
"Tentu, Cantik."
"Yeah, lebih sering ya kayak gitu biar gue nggak jengkel sama loe. Dan gue saranin jangan diet, gini aja biar lebih menggemaskan."
Setelah membisikkan saran yang Mita rasa tepat untukku ia berlalu meninggalkan pekerjaan lagi untukku. Yang tak lain pekerjaanku kemarin bersama Nike.
Shitt!
Mau tidak mau aku kembali memeriksanya dan memperbaiki yang dirasa tidak tepat. Memang benar ada beberapa kesalahan di sini, mungkin karena aku terburu-buru kemarin.
****
Akhirnya jam istirahat telah tiba. Nike mengajakku untuk ke kantin kantor bersama. Sebenarnya Nike bisa saja mengajak yang lain, namun aku tidak tahu mengapa ia mau bersamaku. Mengingat sifatku yang gemar menyendiri daripada berbaur dengan banyak orang. Lebih tepatnya, aku minder dan tentu saja aku tidak mau mendengar sedikitpun perkataan yang mengarah ke body shaming secara blak-blakan.
"Ahay! Bebeb-bebeb akoh!" teriak Tomi mengagetkan acara berjalanku bersama Nike.
Aku menepuk pundaknya. "Kebiasaan, Tomi!" balasku.
"Ya, sorry. Eyke makan bareng kalian yah? Oke?!"
"Terserah!"
Kelakar Tomi sebenarnya bisa menghiburku. Ia juga sering menghabiskan hari di kantor bersamaku. Mungkin ia dikucilkan oleh rekan prianya atau ia lebih nyaman bersama rekan wanitanya. Yang pasti keberadaan Tomi bisa meramaikan suasana.
Walau disisi lain, Nike merasa sedikit risih. Dengan image wanita sholehah yang ia sandang. Ia memilih untuk tidak sampai berkontak fisik dengan Tomi dan hanya menyambut senyuman celotehan Tomi. Bahkan ia sering melontarkan nasehat agar Tomi bisa berubah sedikit demi sedikit sesuai kodrat lahirnya.
"Beb, eyke nitip yah teh botol," pinta Tomi seraya memberikan uang padaku yang akan menghampiri koperasi.
"Oke," jawabku singkat.
"Emm, aku aja deh Fann yang beli," sergah Nike, mungkin ia merasa tidak nyaman jika ditinggal di meja hanya berdua dengan Tomi.
"Oke deh, jadi enak guenya hehe."
Aku dan Tomi duduk di meja yang tersusun bak restoran dengan empat kursinya. Perusahaan tempatku bekerja ini memang sangat disiplin dalam menjaga kebersihannya. Dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada para karyawannya. Sehingga membuat betah dan menumbuhkan semangat bekerja.
Nike kembali dengan tiga botol teh ditangannya. Kami bertiga mulai menyantap hidangan gratis yang disediakan untuk para karyawan. Diselingi canda tawa dan celotehan Tomi yang terdengar sangat berisik.
Lambat laun waktu berjalan sebagaimana mestinya. Aku, Nike dan Tomi segera beranjak untuk kembali ke pekerjaan.
****
Jari-jariku disibukkan dengan beberapa berkas yang harus aku perbaiki. Belum lagi aku harus menata ulang kalimat-kalimat untuk iklan yang akan launching minggu depan. Hal ini berlangsung sampai jam kerja usai.
Beruntung aku tidak harus menambah jam kerja lagi. Usahaku yang tak bergeming sama sekali dari kursiku membuahkan hasil.
"Hai, Sayangku! Yang tadi udah selesai kan?" celetuk Mita yang kini sudah dihadapanku.
Aku menatapnya dengan sinis, namun sekilas saja. "Yeah," ujarku seraya memberikan berkas kepadanya.
"Bagus! Makanya lain kali kerja yang bener biar nggak ngulangin!"
"Lebih baik mengulangi daripada nggak kerja sama sekali dan dilimpahkan sama orang lain. Kan kelihatan tololnya."
"Maksud loe apa ngomong kayak gitu?!"
"Pikir aja sendiri kalo otak Ibu Mita yang cantik ini berguna."
Sebelum mendengar jawaban Mita, Nike spontan menarik tanganku setelah memberi ucapan permisi pada Mita. "Udah, Fanni. Biarin aja."
"Woe! Lihat aja loe ya gue sekarang atasan loe, bisa gue pecat loe!" ujar Mita yang masih terdengar dari telingaku.
Lagi-lagi saat aku akan membalasnya Nike melarangku. Padahal aku hanya ingin menunjukkan sedikit keberanianku agar Mita tidak lagi menggangguku.
"Udah ya jangan ditanggepin, Fann," ujar Nike.
"Gue nggak tahan lama-lama, Ke." Rasanya ingin menangis saja. Sudah banyak caci maki darinya yang aku dapatkan.
"Sabar aja, suatu saat dia bakal berubah lho kita doain aja ya."
"Yah, semoga enggak akan lama."
Nike tersenyum, ia melangkah lebih dulu menghampiri suaminya yang telah menunggu. Dan aku tetap sendirian tidak ada yang menunggu tidak ada yang peduli pastinya.
Drrrt! Kuambil ponsel yang berada di dalam ranselku. Tampak nomor ibuku sedang memanggil. Kuputar bola mataku dan menghembuskan nafas malas.
"Halo, Ma?"
"Kamu dimana, Sayang?"
"Bentar lagi pulang."
"Ya udah hati-hati ya."
"Iya, Ma. Makasih."
Kini panggilan telah ibuku matikan. Aku bertanya-tanya, tidak biasanya ibuku memberi perhatian kecil seperti ini. Mungkinkah ada rasa bersalah? Bukannya seharusnya aku yang merasa bersalah? Karena perkataan yang kuingat-ingat memang keterlaluan. Yah, nanti aku akan meminta maaf terlebih dulu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Gini Antika
aku dulu juga gadis gendut dengan tinggi 145 BB 66 kg bayangkan betapa bulatnya aku.. tapi aku tk berkecil hati karena bagiku di balik kekuranganku pasti ada kelebihanku dan itu yg membuat aku tetap bersyukur...
2022-12-22
0
sarfaras maqil fawwas
kaya aq banget itu sering minder..dengan BB 60 tinggi 155😢😢😢
2020-07-02
0
Zuzun Wahyun
hampir sama kayak q dulu. bkn gendut sih. tapi waktu itu q jelek banget jadi ngerasa tersisih.
2020-01-14
0