. Dinda mematung saat Emilio langsung memeluknya. Bukannya Aldi yang datang, tapi malah pacar yang jelas menghilang saat dirinya akan di jodohkan. Dan bukannya berjuang agar orang tua Dinda merestui hubungan mereka, Emilio malah memilih menghindar dari masalah. Hal itu membuat Dinda merasa bahwa Emilio tak pernah serius pada hubungannya yang sudah terjalin lama.
"Akhirnya aku menemukanmu." Ucapnya berbinar melepas pelukan dan menghela nafas lega.
"Dinda... kenapa tak bilang kau pergi dari rumah? Aku mencarimu kemana-mana. Saat aku pulang, ayahmu langsung menuduhku dan mengancamku. Sekarang karena sudah menemukanmu, ayo pulang.!"
"Lio... kenapa kau bisa disini?" Emilio seketika menyernyit mendapati pertanyaan dari Dinda.
"Apa kau tak senang aku ada disini?"
"Bu-bukan begitu... tapi bukankah kau pergi meninggalkanku? Kenapa sekarang datang? Kau mau mempermainkan perasaanku?"
"Dinda... sayang... kau bicara apa? Aku pergi untuk--"
"Untuk apa? Kerja? Hasilnya mana? Setiap kau kembali kau selalu mengelak saat aku tanya kau kemana. Dan selalu alasan kerja yang kau berikan. Apa tak ada jawaban lain? Lio.. kita ini sudah dewasa. Aku juga butuh kepastian darimu. Aku tak mau kalau kau terus menggantungkan perasaanku seperti ini." Ungkapnya mulai berkaca-kaca.
"Dinda... maafkan aku. Aku berjanji akan meyakinkan orang tuamu. Bersabarlah."
"Sampai kapan Lio? Sampai kau menyerah pada ayahmu dan menerima tawarannya agar kau mewarisi perusahaan ayahmu? Begitu?" Emilio hanya bisa menunduk dan tak bisa menjawab apa yang baru saja dikatakan Dinda. Ia begitu enggan menjadi seorang pebisnis. Ia lebih suka menjadi seorang photografer dan memilih jalannya sendiri.
"Beri aku kesempatan Dinda... aku janji akan memperjuangkan hubungan kita." Dinda hanya terdiam tak menanggapi penuturan Emilio. Baginya semua janji Emilio kini sudah tak ada artinya. Namun ia sendiri merasa heran, sejak kapan ia tak lagi mengharapkan kehadiran Emilio.
Ditengah lamunannya, terlihat sebuah mobil menepi tepat didepan tokonya. Ia mendadak merasa senang dan segera berlalu menuju area depan. Namun senyumannya kembali memudar saat melihat pengunjung yang bukan ia harapkan.
"Hai Dinda..." sapa Avril langsung memeluk Dinda.
"Avril." Balasnya dengan sendu.
"Kau sedang sakit? Kenapa tak bersemangat begitu?" Tanya Avril kemudian.
"Tidak... aku hanya sedikit lelah saja." Jawabnya sedikit tersenyum.
"Oh iya. Aku mau bunga seperti biasa."
"Baiklah. Kau tunggu disini." Avril menyernyit, mengapa disini? Bukankah dia biasa menunggu di ruang tunggu? Pikirnya dengan menurut saja.
"Sayang. Aku pergi dulu." Ucap Emilio mengejutkan Avril yang mendengarnya.
"Sayang?" Batin Avril kemudian menoleh datar pada Dinda yang tengah fokus menata apa yang di minta Avril. Lalu ia menghentikan aktifitasnya dan berjalan menuju Emilio berdiri.
"Avril... kenalkan ini pacarku Lio." Ucap Dinda yang membawa Emilio ke hadapan Avril.
"Lio... ini Avril teman pertamaku disini." Ucap Dinda selanjutnya. Emilio dan Avril saling melempar senyum lalu berjabat tangan dan mengucapkan nama mereka sendiri.
"Avril."
"Emilio. Salam kenal. Dan terima kasih sudah menjadi teman Dinda." Lagi, Avril hanya tersenyum tanpa menanggapi dengan kata-kata.
"Sepertinya saya pernah melihat anda di tv. Apakah anda Avril Vania?" Dan kali ini, Avril kembali mengangguk.
"Benar ternyata."
"Kau mengenal Avril?" Tanya Dinda mendadak penasaran.
"Aih kau tak tahu? Dia ini adik dari Presdir ternama bernama Galih Permana. Dan istri dari--"
"Maaf Dinda... aku sedang buru-buru. Bisa dipercepat mengemasnya?"
"Ohhh maaf Avril. Aku lupa." Dengan bergegas, Dinda kembali menyelesaikan tugasnya dan meninggalkan Avril dan Emilio dengan situasi canggung.
"Ini... terima kasih ya..." ucap Dinda dengan membawa bunga pesanan Avril.
"Oke.. aku pergi ya..." balas Avril kemudian berlalu begitu saja. Dinda merasa penasaran siapa Avril dan mengapa baru kali ini ia tersadar akan identitas temannya itu. Namun saat ia hendak bertanya pada Emilio, Emilio segera bergegas karena sudah terlambat.
Karena rasa penasarannya yang tinggi, Dinda memilih untuk bertanya pada Nisa yang mungkin tahu siapa Avril karena dia sudah lama di kota J.
"Emm aku pernah dengar nama Avril itu. Kalau tak salah, dia putri pemilik perusahaan, dan kakaknya menjadi presdir di perusahaan ayahnya, dia juga menikah dengan seorang presdir perusahaan apa ya? Pokoknya suaminya itu sangat tampan. Setampan tuan Aldian. Ahhhh namanya juga Al...." ucapan Nisa terhenti dan ia menutup mulutnya dengan ekspresi tak percaya.
"Kenapa Nis?" Tanya Dinda penasaran.
"Kenapa aku berpikir suami Avril itu tuan Aldian?" Dinda tak kalah terkejut menanggapi penuturan Nisa. Memang jika di ingat pun ada benarnya, secara dengan kebetulan Avril menikah dengan seorang presdir. Dan Aldian pun seorang presdir.
"Sut... mana mungkin. Istri Aldi kan sudah meninggal. Dan aku mendengar itu dari ibu Aldian langsung."
"Hemmm mungkin iya." Pikir Nisa yang masih bergelut dengan tebakannya.
Tak lama berselang, Dinda menundukkan kepalanya pada meja pribadi miliknya, Hari ini meskipun bertemu dengan Emilio, namun ia merasa tak bersemangat sama sekali.
"Aku mau bunga mawar putih. 10 tangkai. Sekarang!" Suara dalam seorang pria berhasil membuat Dinda terkejut, Dinda langsung mendongak dan terbelalak menatap pada pemilik suara yang tengah ia harapkan kehadirannya.
"Hei.... aku bicara padamu." Ucapnya lagi sambil melambaikan tangannya dengan niat membuyarkan lamunan Dinda. Namun, tatapan Dinda semakin sendu dan ia menunduk saat sebuah bulir bening terjatuh begitu saja dari kelopak matanya.
"Apa ada masalah? Mengapa kau menangis?" Tanya Aldi kemudian.
"Tidak. Hanya terharu saja." Jawabnya sembari melempar senyum.
"Terharu?" Tanya Aldi kini menyernyit heran.
"Dari mana saja kau? Mengapa baru terlihat?" Balas Dinda dengan pertanyaan dan tanpa menjawab lebih dulu.
"Apa kau merindukanku?" Aldi mendekatkan wajahnya pada Dinda dan mereka hanya berjarak beberapa cm saja. Sontak hal itu membuat Dinda salah tingkah dan memalingkan wajahnya yang memerah karena tersipu.
"Ti-tidak... si-siapa yang merindukanmu." Jawabnya gugup.
"Mengapa gugup? Jika kau merindukanku juga tak apa." Dan Dinda semakin tak bisa menahan rasa malunya lalu mendorong wajah Aldi menjauh dari dirinya.
"Ya ampun. Al maafkan aku. A-aku tak sengaja."
"...."
"Ihhh aku sudah minta maaf. Lagi pula kau yang salah. Kau yang seenaknya menatapku dari dekat seperti tadi. A-aku jadi..."
"Jadi gugup? Salah tingkah? Atau jatuh cinta padaku?"
"Ehhh... ma-mana ada. A-aku.... iihhh sudahlah! Ini pesananmu. Ini untuk pacarmu kan?" Dinda memberikan bunga itu dengan wajah yang berpaling dan alis yang berkerut. Aldi tersenyum tipis melihat ekspresi kesal gadis didepannya yang mungkin memang gugup dibuatnya.
"Pacar ya? Hemmmm aku tak tahu dia mau jadi pacarku atau tidak. Siapa yang sudi menjadi pacar seorang pria yang sudah memiliki keluarga." Ucap Aldi sambil meraih bunga dari tangan Dinda yang perlahan menoleh ke arahnya.
"Tidak semua wanita seperti itu kan? Mungkin ada diantaranya yang sangat mengharapkan mu menjadi pendampingnya." Tutur Dinda membuat Aldi terkekeh.
"Dan apa kau salah satunya?" Lagi, Dinda menjadi salah tingkah karena ucapan Aldi.
"Haha bercanda. Sepertinya, bunga ini untukmu saja." 'Deg, deg, deg' jantung Dinda mendadak tak bisa ia kendalikan. Wajahnya semakin memerah ketika ia dengan ragu menerima bunga dari Aldi.
"Gadis yang mampu menerima bunga dariku mungkin hanya kau saja. Dan mungkin juga dia." Tuturnya membuat Dinda penasaran.
"Dia?"
"Mommy Reifan."
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments