. Pada akhirnya Aldi mengantarkan Dinda ditemani Reifan yang tak ingin lepas dari Dinda. Sampai Aldi menepikan mobil di toko Dinda pun, Reifan enggan melepaskan Dinda begitu saja. Ia semakin meronta-ronta saat Aldi dengan paksa memisahkan Reifan dari gadis yang sangat diinginkan Reifan.
"Apa tidak masalah tuan?" Tanya Dinda begitu khawatir melihat Reifan menangis di dalam mobil.
"Bagaimana lagi, jika di biarkan dia akan merepotkan nanti."
"Saya tidak merasa di repotkan tuan." Ucap Dinda menyela jawaban Aldi dengan cepat. Terlihat Dinda sedikit salah tingkah saat Aldi menatapnya seakan penuh arti.
"Ma-maaf tuan. Tapi jujur saya tidak tega melihat Rei menangis seperti itu. Jika anda berkenan, biarkan saya menenangkan Rei sebentar."
"Tidak. Aku akan membawanya pada temanku. Dia akan tenang jika dengannya." Kali ini Aldi yang menyela cepat membuat Dinda terdiam. Aldi kemudian berbalik dan bergegas memasuki mobil.
"Bunda..... Eifan mau bunda.... daddy jahat.... Eifan benci daddy...." teriak Reifan tak henti-henti menangis keras. Aldi berlalu begitu saja dari hadapan Dinda yang menatap sendu kepergian ayah dan anak itu.
"Apa yang aku harapkan? Aku hanya tak tega pada Rei... bukan ingin menjadi ibunya." Gumam Dinda perlahan berlalu memasuki tokonya yang masih terbuka.
"Kak Dinda..." panggil Nisa berlari menghampiri.
"Maaf ya... sudah membuatmu khawatir." Nisa menggeleng kemudian meraih tangan Dinda dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tak tahu jika tuan Aldian tidak menolong kakak. Dan aku mendengar kakak pingsan?" Dinda mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Nisa.
"Tapi sudah tak apa. Aku hanya panik saja." Jawab Dinda melempar senyumnya agar Nisa percaya dirinya baik-baik saja.
. Aldi memarkirkan mobil tepat di samping mobil Alvi. Ia membawa Reifan yang masih menangis keras hingga tanpa Aldi mengetuk pintu pun, Avril lebih dulu membuka pintu dan langsung meraih Reifan. Terlihat Reifan begitu menyedihkan membuat Avril menatap tajam pad Aldi.
"Kau apakan Rei? Kenapa dia sampai menangis seperti ini?"
"Daddy jahat mommy..... Eifan mau bunda. Tapi daddy tak boleh Eifan pada bunda." Seketika Avril menyernyit siapa yang dimaksud Reifan.
"Sayang... bunda Rei sudah tenang... sudah ya... ada mommy sekarang. Atau Rei mau bunda baru?" Tanya Avril niat hati ingin menenangkan Reifan, namun malah membuat Reifan semakin keras menangis.
"Eifan mau bunda... Eifan tak mau lain.... daddy jahat. Eifan tak mau daddy...." mendengar suara Reifan yang berteriak, Alvi menghampiri dengan wajah panik lalu ikut meraih Reifan dari pangkuan Avril. "Ayah..... daddy jahat...."
"Rei. Hentikan! Kau mengadu pada ayah dan mommy mu seperti ini. Daddy tidak jahat." Elak Aldi yang terlihat menahan emosinya.
"Apa yang terjadi Al?" Tanya Alvi masih mencoba menenangkan Reifan.
"Bunda siapa Al? Kau tak mungkin kan Rei menginginkan Syifa.?" Timpal Avril bertanya penuh penekanan.
"Ini memang salahku yang membawa gadis itu ke rumah. Dan Rei malah ingin bersamanya terus."
"Gadis?" Tanya Avril dan Alvi bersamaan menatap Aldi semakin lekat.
"I-iya... te-temanku. Di-dia...." Aldi berhenti bicara ketika melihat Avril tersenyum lalu tertawa kecil.
"Jadi, apa dia membuatmu jatuh cinta? Siapa? Apa aku mengenalnya?"
"Avil.... jangan bercanda. Hanya kebetulan. Tidak ada yang... sudahlah Avil! Kau tahu sendiri aku masih belum bisa membuka hati untuk siapapun." Jelasnya terbata.
"Ya ya ya... baiklah tuan Aldian Mahendra. Maaf saya sudah salah faham pada anda. Tapi, bisakah kau mengatakan dia siapa?" Tanya Avril dengan nada ejekan dan menggoda Aldi agar memberitahu siapa gadis yang sangat di inginkan Reifan itu.
"Avil... sudah ku bilang itu hanya kebetulan. Aku hanya menolongnya, dan....."
"Kau langsung membawanya ke rumah?" Tanya Alvi menyela, dan terlihat Aldi terkejut kemudian menatap tajam pada Aldi.
"Sudahlah... pokoknya semua tidak seperti yang kalian pikirkan." Delik Aldi kemudian berlalu kembali memasuki mobil dan bergegas meninggalkan kediaman Alvi begitu saja.
"Al... siapa ya kira-kira gadis yang Aldi maksud?" Tanya Alvi masih menatap kepergian Aldi dan enggan beranjak walaupun Alvi sudah beberapa langkah meninggalkannya.
"Apa kau cemburu?" Tanya Alvi dingin dan terus melangkah dengan membawa Reifan di pangkuannya. Terlihat kini Reifan sudah tenang meskipun masih terlihat sesenggukan. Ia bersandar begitu nyaman di dada Alvi.
"Deg deg deg." Ucap Reifan tak sedikitpun menjauhkan telinganya dari letak jantung Alvi.
"Kau sedang apa?" Lirik Reifan yang terus beralih bersandar pada dadanya.
"Ayah... ada suara.... deg deg deg." Jawabnya polos.
"Itu jantung ayah Rei...." delik Alvi menepuk kepala Reifan pelan. Terdengar Avril tertawa kecil mendengar jawaban polos dari Reifan itu.
"Diam kau. Aku sedang marah padamu." Delik Alvi pada Avril dengan sedikit membentak.
"Ayah.... tak boleh marah pada mommy... mommy sayang ayah. Ayah juga sayang mommy..." ucap Reifan meraih wajah Alvi dengan tatapan mata yang menggemaskan.
"Sudahlah Al... jangan seperti itu padaku. Mau bagaimanapun apa yang di katakan Rei itu benar. Mau Aldi atau siapapun, aku tak akan berpaling darimu." Ucap Avril tertawa kecil kemudian berlalu meninggalkan Alvi yang mematung mendengar yang di katakan Avril. Senyum tiba-tiba tersimpul dari bibir Alvi dan membuat Reifan ikut tertawa kecil.
. Tak biasanya, pagi ini Aldi berangkat sangat pagi, bukan untuk ke kantor, melainkan untuk berolah raga di taman. Bahkan Bagas pun yang sulit bangun pagi dipaksa Aldi untuk ikut. Dan dengan terpaksa, Bagas menuruti kemauan Aldi untuk menemaninya joging. Sepanjang jalan yang di lalui, Bagas melirik sinis bertanya-tanya dengan sikap Aldi yang tiba-tiba terasa berubah menjadi energi positif. Bahkan ia melihat tatapan Aldi kini lebih hangat dari biasanya. Setiap anak kecil yang ia lewati pun ia sapa dengan ramah dan penuh candaan. Hal itu membuat beberapa pengunjung lain merasa heran. Karena rumor yang tersebar, Aldi begitu dingin.
"Siapa yang membuatnya seperti ini?" Batin Bagas berhenti membiarkan Aldi berlari sendiri. Kemudian Bagas melihat Aldi bertabrakan dengan seseorang tepat disebuah jalan persimpangan. Keduanya di duga tidak memperhatikan jalan membuat mereka mengalami tragedi ringan itu. Bagas yang semula berlari pun mendadak terhenti saat menyadari siapa yang bertabrakan dengan Aldi. Bagas memilih duduk dan melihat dari kejauhan Aldi yang menolong Dinda untuk berdiri dan membantunya duduk di sebuah kursi. Bagas menebak kaki Dinda terkilir karena Aldi yang langsung meraih kaki Dinda.
"Aw..... pelan-pelan." Dinda tak henti meringis saat Aldi memijit pelan kaki Dinda. Di waktu yang sama, Dinda menatap dalam pada sebuah bulir bening mengalir perlahan dipipi pria yang didepannya.
"Tu-tuan... ma-maaf. Apakah anda terluka?" Tanya Dinda ragu lalu meraih tangan Aldi yang masih memegang kakinya.
"Hatiku yang terluka." Jawab Aldi lirih.
"Eh?" Dinda menyernyit menatap dalam menembus mata Aldi yang menunduk. Tatapan yang begitu sayu membuat Dinda ikut terhanyut kedalam suasana sendu yang di ciptakan Aldian.
Perlahan Aldi melepaskan tangannya dari kaki Dinda, kemudian ia beralih duduk di samping Dinda sambil mengusap wajahnya.
"Maaf. Aku tidak sengaja." Ucap Aldi kembali ke mode dinginnya.
"Tak apa tuan. Saya juga minta maaf. Jika saya memperhatikan jalan, mungkin tak akan bertabrakan." Jawabnya menunduk.
"Aldi. Panggil saja Aldi." Tegasnya menoleh pada Dinda yang mendadak gugup dibuatnya.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments