. Alvi menepikan mobilnya tepat di samping mobil Deyan sang tuan rumah. Ia turun dengan terus menggandeng tangan Avril tanpa ingin melepaskannya.
"Wahhh pengantin baru sudah sampai." Ejek Deyan yang menyambut kedatangan Alvi di ambang pintu.
"Diam kau.... atau aku culik anakmu." Ancam Alvi seketika membungkam mulut Deyan, ia hanya terkekeh mendapati kekesalan Alvi saat ini. Avril terlihat antusias saat melihat Famela yang kini sudah menggendong bayi. Matanya berbinar dan ia merasa gemas, sekilas ia mengingat bagaimana Reifan dulu.
"Wahhh kalau Rei di bawa, dia pasti langsung jatuh cinta pada putrimu Fam." Ucap Avril yang enggan memalingkan pandangannya dari putri Famela.
"Aihhh anak sekecil itu mana tahu jatuh cinta. Kau ini ada-ada saja Vil." Jawab Famela menggeleng pelan dengan sikap Avril yang masih saja seperti dulu.
Deyan menepuk pundak Alvi saat ia memperhatikan tatapan Alvi yang begitu dalam pada bayinya.
"Kau sudah menjadi ayah sepenuhnya." Ucap Alvi yang menoleh sesaat pada Deyan lalu kembali menatap bayi mungil yang sedang terlelap tidur di pangkuan ibunya.
"Iya. Aku bersyukur karena sudah dipercaya untuk menjadi ayah." Jawabnya menghela nafas lega namun menyesakkan untuk Alvi.
"Jangan berkecil hati, mungkin Avril yang belum siap, atau memang belum waktunya." Alvi mengangguk pelan mendengar penuturan Deyan yang menurutnya benar. Karena masalah keturunan, ia tak bisa melawan takdir. Hanya bisa berpikir positif dan tidak terus menyalahkan apapun yang membuatnya tertekan. Melihat Avril bahagia saja, Alvi sudah merasa lebih tenang dan tak menginginkan senyum dan tawanya memudar, apa lagi menghilang. Dan, Alvi merasa bahwa Avril belum sepenuhnya siap jika menjadi sosok ibu yang sesungguhnya.
. "Apa kakimu sudah baikan?" Tanya Aldi ketika meletakkan ponselnya di telinga. Bagas melirik sesaat kemudian kembali fokus pada berkas di tangannya dengan senyum yang sedikit mengembang.
"Sudah sedikit lebih baik." Jawab Dinda dari seberang dengan memijit kakinya pelan.
"apa perlu di bawa ke rumah sakit?"
"Ti-tidak usah... ini hanya terkilir sedikit. Mungkin besok juga sembuh." Terdengar suara kaku dari Dinda membuat Aldi merasa lebih cemas.
"Kau serius?"
"Iya tuan. Mak-maksud saya Al... di..." lirihnya dengan penuh keraguan menyebut orang yang harusnya di hormati oleh orang sepertinya.
"Berapa kali aku bilang, jangan formal seperti itu."
"I-iya maaf... a-aku hanya tidak terbiasa saja."
"Ya sudah, aku tutup."
"Baiklah." Setelah mendengar jawaban singkat dari Dinda, Aldi menekan tombol penutup panggilan dan ia segera beranjak dari duduknya membuat Bagas ikut beranjak.
"Kenapa kau?" Tanya Aldi menatap heran dan konyol membuat Bagas salah tingkah sendiri.
"A-aku haus." Cetusnya lalu mengambil air dari meja Aldi.
"Hei... itu air minumku." Ucap Aldi setengah berteriak.
"Sama saja kan?"
"Kau ini kebiasaan, selalu saja melakukan hal apapun sesukamu."
"Kita sudah bersama sejak SD."
"Lalu?"
"Apa kau masih canggung padaku?"
"Bicaramu seperti perempuan."
"Ahahaha Al... kau tidak ke rumah Famela? Bukankah Avil mengajak kita untuk melihat putrinya?"
"Kenapa harus di lihat? Anak kecil sama saja kan?" Bagas mematung mendengar pertanyaan konyol Aldian yang ia tebak itu hanya untuk menghibur hatinya saja, karena Bagas tahu, setiap Aldi melihat bayi, maka ia akan melihat Syifa pada ibunya. Entah karena pertemuan terakhir mereka saat Syifa yang tersenyum haru penuh bahagia dengan menimang Reifan sebelum ia meninggal. Benar-benar menyakitkan.
Meski begitu, Aldi dan Bagas berlalu menuju rumah Famela. Dan sebelum itu, Aldi mampir ke toko bunga Dinda untuk membeli buket terlebih dulu. Dinda sedikit terkejut saat melihat Aldi memasuki pintu toko yang ia design dengan kaca itu. Terlihat juga wajah Dinda memerah karena tersipu saat Aldi menatapnya dan menghampiri ke sofa. Dinda yang tak mungkin bisa beranjak karena kakinya masih sakit, menjadi tidak tenang ketika Aldi duduk di sampingnya.
"Bagaimana kakimu?" Tanya Aldi menatap hangat pada Dinda yang salah tingkah.
"Su-sudah lebih baik." Jawabnya gugup dan mengalihkan pandangannya agar tak saling tatap dengan Aldi.
"Kenapa kau gugup?"
"Hem? Oh? A-aku.... ti-tidak gugup."
"Lalu? Kenapa sikapmu seperti ini?"
"Sep-seperti ini bagaimana?" Bukannya menjawab, Aldi hanya terkekeh dengan kepanikan Dinda yang ia buat sendiri.
"Bisakah kau membuatkanku buket bunga?" Dinda mendadak serius menatap Aldi dan saat ini pikirannya mulai berkecamuk sekaligus penasaran untuk siapa bunga itu? Apa Aldi sudah memiliki kekasih? Atau.... Dinda menggeleng kasar dengan memejamkan matanya mengusir pikiran yang seharusnya tidak pernah ia pikirkan. Meskipun Aldi sudah memiliki kekasih, ia sadar diri bahwa ia bukan siapa-siapa, dan tak mungkin ia melupakan Emilio begitu saja.
"Ma-mau bunga apa?" Tanya Dinda sedikit pelan dengan raut wajah yang menunjukan kekesalan.
"Kenapa sikapnya terasa berbeda?" Batin Aldi menatap wajah Dinda dengan semakin lekat.
"Apa saja. Untuk ucapan selamat." Setelah mendengar kalimat itu, Dinda beranjak dan berjalan dengan sedikit pincang karena luka memar di kakinya. Dan Aldi menyernyit karena Dinda tak menunjukkan rasa sakit sedikitpun saat kakinya sedikit di hentakkan. Seolah Dinda mendadak sembuh seketika.
"Cepat sekali kakimu sembuhnya." Ucap Aldi dengan santai memainkan ponselnya. Tak seperti biasanya, Dinda hanya diam dan terus fokus membuatkan apa yang di inginkan Aldi. Aldi yang merasa aneh pun mendongak dan menatap lekat pada Dinda, kemudian ia merasakan jantungnya berdebar saat memperhatikan wajah Dinda yang jelas menahan kesal. Entah karena apa, namun Aldi menyimpulkan demikian. Ia yang sejak pertama mengenal Dinda, merasa bahwa gadis ini memiliki kepribadian yang lembut dan ramah. Dan saat ini, Dinda menunjukkan sikap lainnya.
Setelah selesai merangkai, Dinda dengan masih murung memberikan bunga itu pada Aldi.
"Apa ada masalah?" Tanya Aldi sembari melakukan transaksi pembayaran.
"Tidak ada." Jawabnya datar, dan Aldi merasa tak terbiasa mendapati sikap dingin dari Dinda seakan ia tak nyaman dan tak suka jika Dinda mendiamkannya.
"Atau kau masih marah padaku karena sudah menabrakmu?" Dinda menggeleng dan memalingkan pandangannya saat Aldi melontarkan pertanyaannya.
"Lalu?"
"A-apa ini u-untuk seseorang?" Tanya Dinda terbata dan masih memalingkan pandangannya, alisnya sedikit berkerut dan ekspresinya seperti orang yang sedang cemburu.
"Iya. Dia temanku." Jawabnya mengambil bunga itu dari tangan Dinda dengan perlahan.
"Perempuan?"
"Kenapa bertanya? Memang yang melahirkan laki-laki?" Aldi terkekeh sambil menepuk dahi Dinda membuat Dinda menatap wajahnya.
"Jangan memasang wajah seperti itu di depanku. Kau lebih cantik saat tersenyum." Lanjut Aldi berlalu meninggalkan Dinda yang masih mematung di tempatnya. Bukannya senang, Dinda malah semakin kesal karena sikap Aldi yang seperti selalu memuji banyak perempuan.
"Apa yang aku harapkan?. Ingat Emilio Dinda..." ucapnya pelan dengan mengelus dadanya sendiri.
"Cieee kak Dinda.... aku lihat tuan Aldian sepertinya menyukai kakak." Ejek Nisa yang sedari tadi melihat setiap adegan Dinda dan Aldi.
"Kau ini bicara apa? Aldi itu sudah menikah. Meskipun istrinya meninggal." Jawabnya murung.
---
. "Mas... apa tidak masalah kita membiarkan Dinda?" Tanya Salma pada Hadi yang begitu santai dengan kepergian putrinya.
"Jika Andra bilang Aldian yang melindungi Dinda, kenapa harus khawatir?"
"Tapi bagaimana jika hanya kebetulan?"
"Kebetulan atau bukan, jika memang benar mereka dekat, itu sudah takdirnya. Untuk apa kita menghalangi?."
-bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments