. Alvi membuka mata dan mendapati wajah menggemaskan dari Reifan. Karena terlalu gemas, Alvi melahap pipi Reifan dan menggigitnya. Reifan menangis sejadi-jadinya karena kesakitan. Ia menghampiri Avril yang menatap tajam pada Alvi.
"Lihat! Pipi Rei seperti bakpao." Elak Alvi yang terkekeh dengan lirikan Avril.
"Tapi jangan menggigitnya. Dia kesakitan! Isshhhhh sudah ya... ayahmu memang jahat." Ucap Avril beralih menenangkan Reifan yang masih menangis keras dengan memegangi pipinya. Terlihat bekas gigitan Alvi membuat pipi Reifan merah.
"Ya wajar saja aku jahat, aku kan ayah tiri." Cetus Alvi kembali memejamkan matanya seakan tak peduli dengan tangisan Reifan.
"Al... mau sampai kapan kau berkata seperti itu terus?" Delik Avril yang mulai tak nyaman dengan celotehan Alvi tentang hal itu.
"Apa? Ayo menangis terus! Mau ngadu sama mommy kalau ayah jahat?" Bentak Alvi melotot tajam pada Reifan yang semakin ketakutan.
"Al.. ihhh kau membuatnya takut." Rengek Avril berdecak kesal memeluk Reifan yang terus menangis.
"Kamu itu sudah besar. Jangan menangis seperti itu. Jika kau lemah, siapa yang akan melindungi mommy saat ayah tak ada? Jika mau jadi anak ayah, kau harus kuat!" Lanjut Alvi seketika membuat Avril termangu. Benar-benar pendidikan yang keras jika pendidiknya adalah Alvi. Begitu batin Avril saat ini.
Dan, tangis Reifan terhenti seketika. Namun masih terdengar sesenggukan yang mungkin ia berusaha menghentikan tangisnya dengan paksa.
"Kenapa? Mau nangis? Ayo nangis. Tapi kau bukan anak ayah jika kau menangis lagi." Ucap Alvi lagi masih menatap Reifan dengan tajam.
"Ei-fan kuat ayah.... ei-fan tia (tidak) nangis." Alvi tak kalah termangu mendengar Reifan dan usahanya yang memaksakan untuk tidak menangis. Reifan yang berhenti menangis, kini giliran Avril yang menangis membuat Alvi menjadi khawatir.
"Avril.. kau kenapa?" Tanya Alvi kemudian meraih Avril yang memeluk Reifan dengan erat.
"Rei... mommy semakin menyayangimu" lirihnya yang mengingat Syifa yang jelas tak akan bisa memberikan kasih sayang seorang ibu kandung pada Reifan, dan Aldi yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bahkan Aldi jarang berada di rumah dan selalu pergi keluar kota dengan alasan mencari nafkah untuk Reifan. Namun Avril tahu, yang dilakukan Aldi bukan semata-mata untuk bisnis saja, tapi ia ingin melupakan Syifa dengan cara itu.
"Hei... apa ucapanku keterlaluan?" Tanya Alvi sama lirihnya.
"Menurutmu?"
"Avril maafkan aku."
"Sudahlah.. aku hanya merindukan Syifa saja." Seketika itu, pandangan Alvi menunduk. Ia pun merasakan bagaimana hampanya tanpa kehadiran ibu kandung. Ia mungkin beruntung di besarkan oleh sosok ibu sampai umur 18 tahun. Tapi tidak dengan kedua anak didepannya. Avril yang kehilangan ibunya di umur 12 tahun, lalu Reifan yang lebih miris. Ibunya pergi beberapa saat setelah ia lahir.
. Di waktu yang sama, seorang gadis tengah mengemas barang-barangnya pada sebuah koper besar dan bersiap untuk pergi dari rumah. Namun, saat ia hendak menarik koper menuju pintu, ia mendengar seseorang mengetuk pintu dan perlahan membukanya. Dengan santai, Dinda duduk di ujung kasur setelah menyembunyikan koper di ruang ganti.
"Kamu ada acara?" Tanya Salma, ibu dari Dinda yang hanya melihat dengan menjulurkan kepalanya saja.
"I-iya bu. A-aku mau..."
"Bertemu Emilio?" Tanyanya menyela cepat dengan merubah raut wajahnya menjadi kesal. "Sudahlah Dinda... jangan mengharapkan Emilio. Dia jelas-jelas tidak mau memperjuangkanmu. Kalau ibu boleh kasih saran, sebaiknya kamu...."
"Bu... aku sudah dewasa. Apa harus ada perjodohan? Apa tidak bisa aku menentukan pilihanku?" Kini Dinda yang menyela ucapan sang ibu yang sempat menggantung.
"Tapi tak ada salahnya kamu bertemu dengan dia. Menurut ibu, dia masih muda. Mungkin seumuran denganmu dan dia juga sukses di usiannya yang masih 25 tahun. Itu sebuah pencapaian yang langka loh." Jelas Salma tak ingin kalah.
"Bu.... dia sudah menikah kan?"
"Tidak. Dia duda." Jawab Salma tanpa berpikir ulang. Ia hanya tahu cerita dari Hadi saja bahwa Hadi berniat menjodohkan putri sulungnya dengan presdir muda yang berbakat yang ia temui di sebuah acara besar saat pertemuannya dengan beberapa pebisnis lain di ibu kota. Kemudian Hadi mendengar bahwa dia akan ke kotanya untuk beberapa alasan. Salah satunya, memenuhi undangan Hadi untuk datang ke rumahnya secara resmi.
"Ishhh ibu...." rengek Dinda mulai berkaca-kaca yang membayangkan pria yang akan dijodohkan dengannya sangat bajingan karena bercerai di usia muda dan kemungkinan alasannya yang sudah tidak cocok lagi.
"Ibu dan ayah mau menjualku?" Lanjutnya dengan rengekan semakin manja.
"Kamu berpikir kesana rupanya. Sudahlah. Jika kau ingin pergi dengan Emilio silahkan saja. Ibu sudah tidak akan mempedulikan kamu. Tapi, setidaknya temuilah dulu tamu ayahmu. Setelah itu, kau boleh memutuskan untuk menolak atau menerima dia." Ucap Salma yang kini berlalu dari hadapan Dinda dan menutup pintu dengan keras. Dinda hanya menghela nafas kasar dan dalam. Ia melirik pada kamar ganti yang kini tersimpan koper besarnya. Ia seakan ragu untuk pergi jika ibunya berbicara seolah Dinda adalah anak yang durhaka karena tidak mau mendengar nasehat orang tua.
. Malamnya, Aldi disambut hangat oleh Hadi dan Salma di teras rumah. Bagas semula merasa ragu untuk masuk karena sepertinya ada hal yang lebih penting dari sekedar membahas bisnis saja. Namun Salma menyuruh Bagas untuk ikut masuk dan bergabung dengan perbincangan mereka. Kedua suami istri itu sudah tahu dari data yang di laporkan oleh bawahannya tentang Aldi dan orang-orang terdekatnya.
"Begini... maaf sebelumnya. Apa nak Aldi ada niat untuk menikah?" Aldi menyernyit dan matanya menyipit menatap pada Hadi, lalu pada Salma dan Bagas bergantian dengan raut wajah yang kebingungan.
"Apa anda sudah tahu status saya?" Tanya Aldi ragu tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Hadi.
"Tentu saja. Dan karena itu, saya bertanya." Jawabnya penuh keyakinan bahwa Aldi akan mengerti dengan arah pembicaraan mereka.
"Ma-maaf pak... saya... belum terpikirkan untuk menikah lagi." Ucap Aldi menunduk lalu kembali menatap pada Hadi dengan tatapan serius.
"Hemmm begitu ya? Oh iya... bolehkah saya memperkenalkan putri saya? Tapi saya tidak bermaksud menjodohkan kalian. Hanya ingin memperkenalkan saja, siapa tahu jika putri saya berada di kota J, nak Aldi bisa mengenali putri saya nantinya. Dan saya bisa mempercayakan pada anda untuk mengawasi mereka." Tutur Hadi membuat Aldi semakin menyernyit. Ia mulai merasa tak nyaman dengan arah pembicaraan mereka. Namun demi menjaga perasaan Hadi, Aldi bersedia berkenalan dengan putri yang dimaksud Hadi. Dengan mengatakan kata 'mereka', Aldi menebak bahwa putrinya lebih dari satu. Kemudian Salma memanggil Dinda dan Yasmin untuk menemui tamu ayahnya. Namun saat Salma kembali, Hadi menyernyit mengapa hanya Yasmin yang ikut dengan Salma. Dimana Dinda? Melihat raut wajah Salma, Hadi menyimpulkan bahwa anak sulungnya menolak untuk bertemu dengan Aldi.
"Ini Yasmin. Putri bungsu kami. Dia baru kelas 3 SMA, dan dia ingin kuliah di kota J. Jadi saya mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjaga Yasmin disana." Tutur Hadi.
Yasmin menatap Aldi tanpa berkedip, ia terpikat oleh pesona duda anak satu yang akan di kenalkan dengan kakaknya itu. Siapa yang tahu, Dinda minggat tanpa memberi pesan apapun.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments