. Tengah malam, terdengar rengekan Reifan yang memeluk lengan Alvi dan menggesekan wajahnya pada Alvi.
"Da-ddy....mau daddy...." rengek Reifan dengan tangis kecil sambil terus mengganggu tidur Alvi. Alvi terbangun dan melihat Reifan masih menutup matanya namun terus merengek karena tak nyaman tidur.
"Da-ddy....." Reifan terus merengek membuat Alvi beranjak dari tidurnya dan meraih Reifan. Niat hati ingin menenangkan, namun ia malah terkejut dan panik saat menyentuh tubuh Reifan yang begitu panas. Pantas saja Reifan ingin dengan Avril terus, mungkin ia sudah merasa tak enak badan dari siang.
"Rei.... ya ampun tubuhmu panas." Ucap Alvi yang panik sendiri dan tak tahu harus berbuat apa. Ia melirik pada Avril yang masih terlelap karena mungkin kelelahan dari pagi Avril yang mengurus semua keperluan acara. Alvi semakin bingung karena tak tega jika harus membangunkan Avril sekarang. Tapi ia juga tak bisa mengurus Reifan jika sendirian. Dengan ragu, Alvi meraih tangan Avril dan menepuknya pelan.
"Yang... bangun. Sayang!" Alvi semakin keras membangunkan Avril membuat Avril terkejut dan seketika membuka matanya.
"Eh apa? Sudah pagi?" Tanya Avril polos yang langsung terbangun dan melihat kearah jendela.
"Ini jam berapa Al? Kenapa masih gelap?" Tanya Avril lagi dengan polos dan belum menyadari bahwa ini masih malam.
"Ini masih malam." Jawab Alvi sedikit kesal dan kembali meraih Reifan.
"Lalu kenapa kau membangunkanku? Al aku lelah, untuk saat ini maaf aku masih mengantuk tak bisa melayanimu. Kumohon maafkan aku ya!" Bujuk Avril yang langsung berpikir kesana, karena seingatnya sebelum ia ke kamar Reifan, Avril melihat raut wajah Alvi yang mungkin marah karena kehadiran Reifan dan keduanya tak bisa berhubungan.
"Apa yang kau pikirkan? Aku tidak memintamu untuk itu." Ucap Alvi berdecak kesal dan mendelik sambil menahan kesal pada Avril.
"Eh? Terus? Dan kenapa kau membawa Rei? Jika kau marah padaku, jangan melampiaskannya pada Rei." Ucap Avril mendadak panik takut jika Alvi memang marah dan membenci Reifan karena alasan itu. Namun seketika Avril terdiam dan meraba seluruh tubuh Reifan yang panas dan ia tersadar sepenuhnya ketika Reifan terus bergumam memanggil Aldi dan dirinya.
"Rei... ka-kamu sakit?..." kini Avril yang mendadak panik dan sibuk tak karuan mencari obat yang tersimpan di lemari Reifan.
"Yah... habis..." ucapnya polos lalu melirik kearah Alvi yang tengah menenangkan Reifan.
"Telpon Noah." Ucap Alvi yang ikut menjadi panik.
"Kita ke rumah sakit saja. Jika Noah tak ada harapan di jam ini Al." Ucap Avril masih panik tak karuan. Ia menoleh pada jam dinding yang masih menunjukan pukul 2 malam. Alvi memutuskan untuk membawa Reifan ke rumah sakit karena khawatir jika terjadi apa-apa padanya.
Di perjalanan, Avril terus berdoa sambil menciumi wajah Reifan yang terlelap dan sesekali bergumam pelan memanggil ayahnya. Saat Avril menghubungi Aldi dan Bagas, keduanya tak kunjung menjawab panggilan Avril hingga ia berdecak kesal dan memaki kedua temannya yang sedang di luar kota.
"Avril. Tenangkan dirimu." Ucap Alvi di sampingnya. Sesekali ia mengusap air mata Avril yang terjatuh tanpa izin karena takut ada apa-apa pada anak asuhnya. Meski bukan anak kandung, tetap saja Avril sudah merawatnya dari bayi.
Sampai di rumah sakit, keduanya bergegas mengikuti petugas yang menjemputnya di depan. Avril menatap pintu dengan penuh harapan akan kesehatan Reifan.
"Al...." lirih Avril menoleh dan menatap Alvi dengan begitu sayu menunjukan ia tak kuat menahan diri untuk tidak khawatir.
"Berdoa saja." Ucapnya memeluk Avril dari samping dan mengusap kepalanya dengan lembut.
Avril beranjak cepat saat dokter keluar dari ruangan dan menatap pada Alvi dengan tatapan yang penuh arti.
"Bagaimana dengan putra saya dok?" Tanya Alvi menatap harap pada kedua mata dokter.
"Putra anda baik-baik saja tuan. Dia hanya demam dan saya sudah memberi obat penurun panas dan vitamin agar kondisinya membaik."
"Baiklah terima kasih dok." Ucap Alvi kemudian memasuki ruangan dan langsung meraih Reifan kedalam pelukannya.
"Ayah cakit..." rengek Reifan menunjuk pada jarum infus yang menancap di tangannya. Hati Alvi terasa terhenyak melihat jarum yang sebesar itu menancap di tangan mungil putra angkatnya itu.
"Tahan ya... sebentar lagi di lepas." Balas Alvi mencium pipi Reifan dengan gemas dan meyakinkan agar Reifan tidak terlalu takut pada infusan.
"Ayah... bobo." Ucapnya memejamkan mata membuat Avril merasa sedikit lebih tenang.
"Tuan dan Nona sangat beruntung mempunyai putra sepertinya. Saya lihat, tuan muda ini sangat mengerti dan sudah memahami kondisi disekitarnya." Ucap dokter yang masih memantau didalam ruangan. Avril hanya tersenyum tak tahu harus menjawab apa. Karena ia pun tak menyadari apapun dari Reifan. Ia hanya mengajarkan apa yang ia tahu dan apa yang bisa lakukan untuk mendidik Reifan menjadi pribadi yang baik dan bisa dibanggakan.
"Apa ini waktunya aku melepas kontrasepsiku agar Reifan ada adik untuk menemaninya? Dan sepertinya Alvi juga sudah menginginkan kehadiran seorang anak." Gumam Avril menatap kosong pada Alvi yang sedang menimang Reifan agar tertidur.
"Kenapa?" Tanya Alvi membuyarkan lamunan Avril. Avril seketika menggeleng kasar menanggapi pertanyaan Alvi.
"Biar aku saja yang menidurkannya. Kau pasti lelah." Ucap Avril menghampiri Alvi lalu bersiap meraih Reifan dari pangkuan Alvi.
"Tidak... kau istirahat saja. Reifan biar aku yang jaga."
"Tapi kau besok harus bekerja Al."
"Tak apa... aku bisa tidur di ruangan belakang kantor ku."
"Tapi..."
"Sudah.... tidur sana!"
"Kau mengusirku?" Avril menatap tajam dan memangku tangan dengan kesal pada Alvi.
"Tidak." Elak Alvi tersenyum ejek.
"Terus?"
"Hanya menyuruh pergi."
"Ihhhhh dasar kau." Avril memukul lengan Alvi sambil menahan tawa karena Alvi.
. Paginya, setelah cairan infus habis, Reifan bisa pulang dan di rawat di rumah saja. Avril dan Alvi berpisah di rumah sakit karena berbeda tujuan.
"Hati-hati. Kabari aku jika ada apa-apa." Avril mengangguk dan memasuki mobil bersamaan dengan Alvi yang melaju berlawanan arah dengannya.
"Mau ikut ayah." Ucap Reifan menunjuk ke belakang dan menatap harap pada Avril.
"Kamu kan sakit sayang. Pulang saja ya..." Reifan menggeleng kasar tanda menolak ajakan Avril.
"Eifan mau ayah." Rengeknya setengah berteriak membuat Avril mendesah kesal.
"Tapi ayahnya sibuk sayang. Nanti tidak fokus bekerja." Bujuk Avril agar Reifan bisa di ajak pulang. Tapi, Reifan tetap menggeleng kasar menolak untuk pulang dan kekeuh ingin menyusul Alvi. Dengan berat hati, Avril berbalik haluan menuju perusahaan D. Reifan semula berlari dari mobil menuju loby, namun Avril memarahinya membuat Reifan terdiam seketika.
"Pegang tangan Mommy.!" Titah Avril tegas, dan Reifan mengangguk menuruti perintah Avril. Reifan menggandeng tangan Avril menuju ruangan Alvi. Jelas disana terdengar kembali para netizen yang membicarakan Avril dengan bisik-bisik. Namun, Avril sudah terbiasa dengan gosip apapun tentangnya yang dianggap sudah memiliki anak dari Aldi dan ia sering di anggap berselingkuh dengan Aldi di belakang suaminya.
"Ayah...." teriak Reifan saat Ray membukakan pintu. Terlihat Alvi sedang tertidur lelap di sofa membuat Avril semakin merasa bersalah karena membawa Reifan padanya dan mungkin akan mengganggu tidur Alvi sekarang.
"Ayah...." ucapnya pelan menyentuh pipi Alvi dengan rasa takut.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments