. Aldi mengerjapkan matanya lalu menatap tajam pada Dinda. Ia tersadar bahwa yang dihadapannya bukanlah mendiang istrinya, tapi orang lain.
"Ma-maaf." Ucap Aldian lalu ia berbalik dan pergi meninggalkan Dinda dan Bagas di dalam ruangan. Dinda beranjak dari tidurnya dan duduk kemudian menatap Bagas sesaat lalu kembali menunduk dengan tangan yang tak bisa diam karena gelisah.
"Te-terima kasih sudah menolong saya". Ucap Dinda dengan suara yang begitu lirih.
"Maafkan sikap teman saya." Balas Bagas yang mungkin menebak pikiran Dinda tentang Aldi.
"Tak apa tuan. Dan maaf, kenapa beliau memanggil saya Syifa?" Tanyanya dengan ragu. Namun Bagas hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Dinda yang semakin heran dibuatnya.
"Syifa itu teman kami. Syifa meninggal tiga tahun yang lalu dan entah kenapa, melihat nona, kami pun mengingat Syifa. Mungkin karena rambut kalian yang terlihat sama. Dari gaya dan warna, sekilas saya melihat mendiang Syifa." Jelasnya yang tak sedikitpun memudarkan senyum sambil mengingat kembali kenangannya yang ia lalui dengan Syifa dulu. Ia satu-satunya dari teman Aldi yang lebih dekat dengan Syifa setelah Aldi menikahinya. Karena Avril yang masih galau sebab Alvi yang tiba-tiba pergi, ditambah mantan kekasihnya menikah dengan temannya sendiri, Avril jarang bertemu dengan mereka. Bagas pun mulai mengingat betapa ia tersiksanya setelah ia resmi menjadi asisten pribadi Aldi. Karena, bukannya bekerja dengan Aldi langsung, ia malah di tugaskan untuk menjadi supir pribadi Syifa untuk menjaga kehamilannya. Yang lebih parah, Bagas selalu mencari apa yang Syifa mau saat ia masih hamil muda (ngidam). Meski begitu, Bagas melihat raut wajah bahagia dari keduanya meskipun dulu Aldi begitu sulit menerima kehadiran Syifa.
Ditengah lamunannya, Bagas mengerjapkan matanya lalu menggeleng kasar dan mengelus dadanya ketika muncul ingatan ketika ia yang datang ke rumah Aldi saat Syifa tengah memakai jubah handuk sehabis mandi. Meskipun tertutup, ia yang sebagai lelaki pasti merasa tergoda.
Dinda menyernyit memperhatikan sikap aneh Bagas yang seperti sedang menjauhkan sesuatu di kepalanya.
"Tuan baik-baik saja?" Tanya Dinda menyadarkan Bagas dari khayalannya.
"Jika sudah baikan, temui aku di depan dan aku akan mengantarkanmu pulang." Ucap Bagas mendadak bersikap dingin.
"T-tak apa tuan. Sa-saya bisa sendiri." Mendengar yang dikatakan Dinda dengan gugup, Bagas hanya tersenyum kecil dan ia menatap dalam pada Dinda.
"Jangan menolak. Ini perintah dari tuan Aldian. Kau tahu? Siapa saja yang membantah perintahnya, maka Aldi tak segan menghancurkan hidupnya." Ancam Bagas kemudian menyeringai sinis pada Dinda.
"Ta-tapi tuan.. sa-saya sudah banyak merepotkan tuan dan tuan Aldian." Ucap Dinda masih terbata dengan semakin menunduk karena ancaman Bagas. Dalam hati, Bagas tertawa karena ia pikir gadis didepannya sangat mudah ia bohongi. Siapa yang berani menghancurkan hidup orang lain, hidup Aldian sendiri saja sudah berantakan. Pikir Bagas kurang lebih seperti itu.
Dering ponsel Bagas berdering, dan ia mengerti dengan panggilan Aldi tanpa ia menjawab panggilannya.
"Ikut sekarang, atau kau akan aku serahkan pada penculikmu yang tadi?" Seketika mata Dinda membulat mendengar ancaman Bagas yang menurutnya sangat mengerikan itu.
"Ba-baiklah tuan. Terima kasih sebelumnya." Ucap Dinda yang mulai bergegas mengikuti Bagas.
Sampai di depan mobil Aldi, Bagas membukakan pintu untuk Dinda di samping kemudi. Dinda semakin gugup karena ia duduk berdampingan dengan pria dingin yang mendebarkan hatinya. Sesaat ia melupakan Emilio yang sudah menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya tanpa restu dari orang tuanya.
"Tu-tuan..." panggil Dinda penuh keraguan.
"Mulai hari ini aku akan memberi penjagaan di tokomu." Ucap Aldi menyela Dinda dengan tegas.
"Eh?" Dinda menyernyit dan hanya melontarkan satu kata itu saja. Ia berpikir mengapa Aldi harus memberi penjagaan untuknya? Dan atas dasar apa Aldi melakukannya?
Ditengah lamunan Dinda, ponsel Aldi berbunyi dan ia menjawab panggilan dari seseorang.
"Baiklah. Aldi pulang sekarang." Ucapnya menjawab dengan dingin dan tak merubah ekspresinya sedikitpun.
"Iya iya maaf... Aldi ada urusan sedikit." Ucapnya lagi yang kini sedikit merubah raut wajahnya menjadi lebih santai. Tak lama, Aldi kembali meletakkan ponselnya dan mulai melajukan mobil meninggalkan area rumah sakit.
Di sepanjang jalan, keduanya hanya diam dan hanya suara musik saja yang terdengar. Dan terlihat anggukan kecil Dinda mengikuti alunan musik dan sikap santainya menikmati perjalanan. Ia baru sadar saat di sebuah persimpangan, yang harusnya berbelok, tapi Aldi membawanya lurus. Ia menoleh seketika pada Aldi yang terlihat menatap jalanan dengan fokus dan tatapan yang kosong. Terlihat jelas bahwa Aldi sangat bersedih. Entah karena apa, tapi Dinda seolah merasakan kesedihan yang tersimpan dalam dihati Aldi.
Niat ingin menegur Aldi karena salah arah, Dinda hanya diam dan mengikuti kemanapun Aldi membawanya pergi. Hingga sampai disebuah rumah besar dengan taman yang begitu luas. Ketika Aldi turun, ia ragu untuk beranjak atau diam. Namun, Dinda terkejut karena tiba-tiba Aldi mengejutkannya dengan membuka pintu dan menyuruhnya ikut ke dalam.
Dengan ragu, Dinda melangkahkan kakinya keluar dari mobil dan berdiri di belakang Aldi yang menutup pintu. Kemudian terlihat seorang anak balita berlari dengan riang lalu memeluk kaki Aldi.
"Daddy.... Eifan mau main..." ucapnya mendongak dengan memberikan tatapan harap dan tawa kecil mengiringi wajah menggemaskannya.
Semula Dinda bertanya siapa anak kecil ini, namun mengingat panggilannya, Aldi memang seorang ayah. Dan ini adalah putranya. Dinda menunduk dengan sedikit kekecewaan karena sempat terkagum pada Aldi dan berpikir ia dibawa kerumahnya untuk dikenalkan pada orang tua Aldi.
"Apa yang aku pikirkan? Baru dua kali saja aku bertemu dengannya, tak mungkin aku menginginkan dia menjadi pendampingku. Lagi pula aku masih berstatus pacar Emilio. Meskipun aku tak tahu dia dimana sekarang." Batin Dinda menyentuh kepalanya dengan senyum tipis memaki dirinya sendiri.
Reifan begitu dalam menatap Dinda, lalu tatapannya menjadi semakin tajam seolah Reifan sangat waspada terhadap Dinda. Saat Dinda berjongkok, niat hati ingin menyapa dengan main-main, siapa sangka tiba-tiba Reifan memeluk Dinda dan tangannya melingkar di leher Dinda dengan erat.
"Bunda... Eifan mau bunda...." 'deg' seketika jantung Aldi menjadi berdebar keras. Begitupun Dinda yang terkejut mendengarnya. Aldi mematung mendengar apa yang di lontarkan Reifan. Entah dorongan apa, Reifan menangis pelan di pelukan Dinda. Seakan ia mendapatkan tempat ternyaman setelah Avril.
"Bunda...." rengeknya lagi sambil terisak. Dinda hanya mengusap punggung Reifan dan ia terhanyut dalam kehangatan pelukan seorang anak yang merindukan kehadiran sosok ibu dalam foto besar yang terpajang di ruang tengah.
Dewi setengah berlari sambil memanggil Reifan, dan ia terhenti saat melihat pemandangan yang begitu mengharukan. Reifan yang sulit beradaptasi dengan sosok wanita selain Avril, kini ia dengan erat memeluk orang asing yang bahkan Dewi sendiri baru bertemu beberapa kali. Namun yang membuatnya heran, mengapa gadis pemilik toko bunga itu bisa bersama putranya? Mengingat sikap Aldi yang sulit membuka hati untuk perempuan lain, tak mungkin jika alasannya karena Aldi ingin segera menikah lagi. Dan lebih tidak mungkin dengan alasan cinta pandangan pertama.
"Rei...".
"Oma... Eifan mau bunda." Teriaknya semakin erat memeluk Dinda.
Dewi menoleh pada Aldi yang memalingkan wajahnya dengan sendu.
-bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments