. "Semua orang menyayanginya, bahkan Tuhan pun begitu mencintainya melebihi aku dan keluarganya. Jangankan aku, tangis Rei saja tak bisa membuatnya kembali pulang." Lirih Aldi kembali memejamkan matanya dengan mendongak menghadap langit biru yang cerah namun terasa begitu sendu.
"Lalu.... emmm lupakan. Aku salah faham." Ucap Dinda mengurungkan niat untuk bertanya siapa yang dimaksud Dewi dengan sebutan mommy?
"Kau mau pulang?" Tanya Aldi yang enggan membuka mata dan masih menikmati keramaian taman dan panasnya matahari.
"I-iya..." jawab Dinda.
"Ya sudah. Aku antar." Aldi kembali beranjak dari duduknya dan masih menatap keramaian di sekelilingnya.
"Apa tidak merepotkan?" Tanya Dinda dengan ragu dan masih enggan ikut beranjak. Ia memilih untuk lebih lama duduk karena kakinya masih terasa sakit untuk di bawa berdiri. Tapi, jika menolak ajakan Aldi, ia tak mungkin berjalan sendiri dengan kondisinya yang menahan sakit. Tapi jika menerima ajakannya, Dinda sudah tak cukup kuat menahan rasa tak enak hatinya pada Aldi karena selalu merepotkan.
"Ayo... aku bantu." Ucap Aldi mengulurkan tangannya yang ditatap dalam oleh Dinda.
"Tanganku tak akan jatuh cinta padamu." Tegur Aldi membuyarkan lamunan Dinda.
"Saya bisa sendiri." Ucapnya menunduk dan berusaha untuk bangkit meskipun Aldi tahu itu akan menyakitkan. Dan benar saja, Dinda terhuyung saat denyutan di kakinya tak bisa ia tahan. Ia memejamkan matanya bersiap kembali terjatuh ke tanah. Tapi, saat ia membuka mata, Dinda mendapati sebuah tangan yang menopang tubuhnya agar tak jatuh. Kemudian ia menoleh pada Aldi yang menatapnya dengan tajam. Tanpa bicara sepatah kata pun, Aldi menggendong Dinda di tengah keramaian dan menjadi pusat perhatian. Dinda yang tak nyaman terus meminta Aldi untuk menurunkannya, namun tak pernah di hiraukan Aldi. Beberapa pengunjung lain memanfaatkan momen itu dengan mengambil foto, namun siapa sangka bawahan Aldi siaga dan merampas ponsel siapa saja yang mengambil foto Aldi.
"Diam. Atau aku biarkan mereka mengambil foto wajahmu dan kau jadi pusat perhatian mereka di artikel karena adegan ini." Ancam Aldi berhasil membuat Dinda diam dan perlahan merangkulkan tangan ke leher Aldi. Dinda kembali melihat sebuah bulir bening yang begitu deras melewati pipi Aldi. Ia dengan refleks menyeka air mata itu dan membuat Aldi melirik kearahnya.
"Ma-maaf aku tak sengaja." Ucap Dinda menyadari tatapan tajam Aldi yang seakan ingin memakannya.
Siapa yang mengira, dalam pikiran Aldi saat ini adalah kenangannya yang terlintas dengan Syifa. Karena adegan ini membuat Aldi merasakan ada Syifa di dalam diri Dinda. Entah mungkin Aldi yang terlalu memikirkan Syifa, sampai Dinda pun ia anggap Syifa. Terasa seperti setelah mereka menikah, Aldi yang selalu menggendong Syifa dari sofa menuju tempat tidur. Ia mengingat betapa sangat pengertiannya Syifa pada dirinya, Syifa selalu menemani Aldi yang kerap kali menyelesaikan hasil pekerjaannya sampai larut malam. Sampai tak jarang Syifa tertidur di samping Aldi dengan menyandarkan kepalanya di bahu Aldi.
. Aldi melaju cepat di jalanan yang terhitung lenggang, ia beberapa kali menyeka embun di kelopak matanya. Dinda yang di sampingnya merasa sangat tak nyaman atas kejadian pagi ini. Niat hati ingin jalan-jalan santai menikmati keramaian taman kota, ia malah kembali berurusan dengan Aldi yang sama sekali tak pernah ia harapkan kehadirannya. Setelah kejadian dengan Andra saat itu, Dinda sempat berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak ingin lagi bertemu dengan Aldian dan itu terakhir kali ia berurusan dengan pria dingin itu. Bukan semata karena sikap Aldi, tapi karena alasan Aldi termasuk rekan bisnis ayahnya.
"Maaf... tak seharusnya aku menangis didepanmu." Ucap Aldi memaksakan senyumnya untuk membuat dirinya baik-baik saja di depan orang lain.
"Tak apa. Itu tandanya, anda masih memiliki hati yang lembut."
"Tapi sejujurnya, baru kali ini setelah Syifa pergi, aku menangis didepan orang lain." Dinda terdiam tak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana. Tapi, ia seakan merasakan bagaimana jika berada di posisi Aldi saat ini.
"Oh iya. Apa Rei baik-baik saja?" Tanya Dinda mendadak antusias.
"Yah.... dia selalu baik-baik saja jika bersama dengan temanku. Karena dia yang merawatnya dari bayi."
"Hemmm baik sekali teman anda."
"Hei... jangan formal begitu. Aku sedikit geli mendengarnya. Aku tidak terhormat dan aku juga bukan orang penting." Mendengar itu, Dinda tertawa kecil menanggapi teguran Aldi.
. Avril memegangi sisa pil kontrasepsi yang selama ini ia konsumsi tanpa sepengetahuan Alvi.
"Baiklah. Aku akan berhenti meminumnya." Ucapnya pelan sambil menghela nafas panjang. Belum sempat ia beranjak, terdengar ketukan di pintu membuat Avril terlonjak lalu meletakan kembali obat itu di laci meja riasnya. Ia kemudian membuka pintu dan mendapati Reifan yang sudah rapi.
"Mommy...." sapa Reifan dengan menggemaskan.
"Apa sayang?" Avril berjongkok lalu mencium pipi Reifan beberapa kali.
"Eifan mau kak Aven." Ucapnya sedikit murung. Mungkin selama ini Reifan merasa kesepian karena tak ada teman sebaya yang bermain dengannya. Avril tersenyum lalu meraih Reifan dan membawanya menuruni tangga.
"Nona akan ke rumah tuan Galih?" Tanya Siska yang mengikuti langkah Avril di belakang.
"Iya Sis. Rei sepertinya kesepian." Jawab Avril tanpa menoleh dan terus berjalan ke luar.
"Aku pergi dulu ya." Ucap Avril setelah memasuki mobil dan berpamitan pada Siska. Terlihat Reifan yang melambaikan tangannya pada Siska yang membalas lambaian tangan Reifan.
"Hati-hati nona...." teriak Siska saat mobil Avril melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.
. Sesampainya di rumah Galih, terlihat Ravendra berlari menyambut kedatangan Reifan. Keduanya berlari memasuki rumah dan dengan riang bermain bersama. Avril dan Nadia memilih duduk di ruang tengah dan sesekali melirik ke arah kedua bocah yang asyik bermain.
"Apa kau masih meminumnya?" Tanya Nadia menatap sendu pada Avril yang mungkin masih bimbang dengan apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Aku sudah berhenti kak. Tapi, aku masih ragu. Apa nanti aku bisa adil pada anakku dan Rei... aku khawatir nanti jika anakku lahir, perhatianku akan teralihkan sepenuhnya. Dan Rei mungkin akan membenciku karena aku pilih kasih." Jawabnya menerawang jauh ke arah Reifan bermain.
"Jangan kau khawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Sekarang pikirkan Alvi. Dia begitu mengharapkan kehadiran anak darimu. Meskipun dia sangat menyayangi Rei, tapi siapa yang tahu dalam hatinya bagaimana." Avril mengangguk pelan menanggapi nasehat Nadia yang sepenuhnya benar. Ia juga tak ingin egois dan memikirkan sebelah pihak saja. Bukankah bukti cinta seorang istri itu melahirkan anak untuk suaminya? Berkali-kali Avril menampar dirinya dengan kata-kata itu sampai memutuskan untuk berhenti mengonsumsi obat yang mungkin akan membuat Alvi marah besar padanya jika sampai ia tahu.
. "Dimana Aldi?" Tanya Andre dengan tatapan dingin dan mengintimidasi Baren.
"A-anu om... Aldinya..." Bagas mengusap pundaknya dan jelas sangat gugup menjawab pertanyaan Andre.
"Bagas..." tegas Andre membuat Bagas memejamkan matanya dan bersiap menjawab pertanyaan Andre.
"Aldi kencan dulu om." Jawabnya lantang membuat Reno melongo dan Andre seketika menyernyit mencoba mencerna jawaban Bagas.
"Kau gila? Kenapa kau bilang begitu?" Bisik Reno menyadarkan Bagas yang langsung mengatupkan mulutnya karena keceplosan.
Melihat Andre yang diam dan menatapnya tajam, Bagas menebak bahwa Andre akan memarahi Aldi.
-bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments