. Setelah jam menunjukan pukul 9, Aldi baru menampakan diri, ia dengan santai memasuki ruangan dan mendapati Andre tengah duduk di sofa menyilangkan kaki dan menatap datar pada Aldi.
"Om? A-Aldi bisa jelaskan." Ucapnya mendadak panik saat Andre beranjak dan berjalan semakin dekat padanya. Aldi terdiam seketika dan menarik nafas dalam dan menahannya, dan ia menghembuskan seketika saat Andre menepuk pundaknya dengan pelan.
"Jangan terlalu stres. Kau masih muda, dan masa depanmu masih panjang. Maaf jika om mengganggumu."
"Eh?" Ketiganya serentak dan kemudian bersamaan merasa heran dengan wajah konyol menatap pada Andre yang berlalu meninggalkan Aldi yang masih mematung.
Baren dan Aldi saling pandang dengan tatapan datar dari masing-masing matanya. Kemudian ketiganya tertawa bersamaan dan saat itu Andre menyaksikan mereka terpingkal-pingkal.
"Apa kepergianku dari ruanganmu adalah sebuah kebahagiaan untuk kalian?" Tanya Andre membuat ketiga anak asuhnya dengan bersamaan diam tak bersuara. Seketika ruangan menjadi hening dan mencekam dengan mereka yang menunduk tak berani mendongak menatap Andre.
"Nanti malam om tunggu kalian di rumah. Kita makan bersama, ajak istrimu Ren, dan ibumu juga Al." Ucap Andre selanjutnya.
"Aku bagaimana om?" Tanya Bagas dengan wajah polos, Aldi dan Reno hanya menoleh menatap datar pada Bagas seakan menyuruh Bagas untuk diam. Dan Bagas pun diam seketika lalu kembali menunduk.
"Kau ikut juga."
"Oke om...." jawabnya antusias dan mendongakkan kepalanya membuat Reno menundukkan kepala Bagas dengan paksa.
Setelah berlalu, Aldi menghela nafas lega dan berjalan menuju meja kekuasaannya.
. "Hei Avril..." panggil Dinda dengan suara lesu bersandar di sofa ruang tunggu. Terlihat Avril menoleh sesaat ketika ia menatap sebuah bunga yang masih ia pilih untuk di jadikan ucapan selamat untuk Famela.
"Aku harus bagaimana ya?" Tanyanya kemudian. Avril hanya menatapnya penuh penasaran dan tak balik bertanya kenapa Dinda bertanya demikian. Ia hanya menebak bahwa Dinda tengah gundah dengan hidupnya.
"Kenapa apanya?" Tanya Avril setelah ia duduk di samping Dinda.
"Aku jatuh hati. Tapi dia sudah punya anak. Dan..."
"Apa? Ka-kau mau jadi perebut suami orang?" Teriak Avril menyela dengan wajah konyol menatap Dinda yang terkejut dengan teriakan Avril.
"Ti-tidak.... di-dia su-sudah tak punya istri." Seketika, Avril menghela nafas lega mendengar jawaban Dinda yang begitu gugup dan terbata.
"Haihhh... kukira apa... hemmm padahal temanku juga sedang butuh pendamping. Yaaa sepertinya sihhh..."
"Kenapa kau seperti tak yakin?"
"Yaaa karena dia masih berada di dalam bayangan mendiang istrinya."
"Hemmm dan mengapa kau begitu bersikeras ingin mendekatkanku dengan dia yang jelas tak akan semudah itu menerima kehadiranku?"
"Hei... teman mana yang tak ingin melihat temannya bersanding dengan gadis baik sepertimu?" Mendengar pujian Avril, seketika Dinda tersenyum tipis lalu tertawa kecil dengan menutup mulutnya.
"Apanya yang lucu?" Tanya Avril menggembungkan pipinya dengan melirik tajam pada Dinda yang perlahan menghentikan tawanya.
"Tidak. Kau yang lucu." Jawabnya dengan nada ejekan membuat Avril semakin merajuk.
Di tengah kekesalan Avril, terdengar suara ponsel dengan nada pemanggil dari tas kecil Avril.
"Iya hallo."...... "aku membeli bunga dulu. Kau jemput saja kesini."...... "ya sudah jika tak mau, aku pergi sendiri saja."...... "ohhh tak boleh sendiri. Baiklah aku akan ajak Baren saja." Kemudian Avril sedikit menjauhkan ponselnya, dan di waktu yang bersamaan Avril tertawa kecil saat menekan tombol merah tanda mematikan panggilan.
"Suamimu?" Tanya Dinda menatap heran wajah Avril yang terlihat bahagia.
"Iya. Aku suka jika melihatnya marah."
"Ishh Avril... kau tak boleh seperti itu. Bagaimana jika dia mencari wanita lain?"
"Iihhhh jangan.... meskipun dia menyebalkan, tapi aku mencintainya."
"Hemmmm giliran di ambil orang tidak mau, tapi kau terus menjahilinya."
"Makanya nikah. Kau akan tahu bagaimana serunya membujuk suami yang sedang marah dengan...... yaa kau mengertilah!" Ucap Avril masih terselip sebuah tawa kecil membuat Dinda menggelengkan kepalanya. Namun ia sangat bersyukur karena belum genap satu bulan pelariannya, ia sudah punya teman sebaik Avril, dan pelindung seperti Aldian. Ia benar-benar merasa bahwa dirinya istimewa sehingga dipertemukan dengan orang-orang baik di sekelilingnya.
Tak berselang lama, terlihat sebuah mobil menepi tepat di depan toko Dinda, lalu Avril melihat jam ditangannya dan bergegas segera pergi dari sana. Ia seperti terburu-buru bahkan tak sempat memperkenalkan Alvi pada Dinda.
"Hei Al..." panggil Avril terdengar penuh keraguan.
"Hemmm...." jawab Alvi dengan singkat tanpa menoleh sedikit pun pada Avril di sampingnya. Alvi merasa ada sesuatu yang salah pada istrinya itu, dengan penasaran ia menoleh pada Avril yang menerawang jauh pada apa yang ia lihat di depan.
"Apa sayang?" Tanya Alvi selanjutnya, dan Avril masih diam membuat Alvi semakin penasaran.
"Hei... apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Sekali lagi Alvi bertanya dengan suara yang semakin lembut dan tangan yang meraih kepala Avril lalu beralih menggenggam tangan Avril dan membawa tangan itu ke pipinya. Terasa sangat nyaman jika Alvi melakukan hal ini, tangan Avril yang lembut membuatnya merasakan kenyamanan yang sederhana. Kemudian Alvi mengecup punggung tangan Avril sambil terus fokus pada jalan didepannya. Melihat perlakuan manis Alvi, Avril semakin takut jika benar Alvi punya perempuan lain di belakangnya.
"Apa kau mencintaiku?" Alvi seketika melirik tajam dan sekaligus heran dengan pertanyaan Avril.
"Haihhh mulai lagi. Aku sudah bosan menjawabnya Avril... jawabannya masih sama."
"Tapi aku menyebalkan Al..."
"Siapa bilang?"
"Aku yang merasa."
"Lalu?"
"Apa kau punya wanita simpanan?" Kali ini Alvi tertawa mendengar pertanyaan konyol Avril yang mungkin tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
"Kau ini bicara apa? Satu saja aku sudah pusing." Cetusnya yang tak berniat menghentikan tawanya. Avril terbelalak menatap tajam pada Alvi, lalu ia menarik tangan Alvi yang masih menggenggam tangannya dan segera menggigitnya dengan keras. Terdengar teriakan Alvi saat ia merasakan rasa sakit akibat gigitan Avril.
"Rasakan.!"
"Apa salahku? Kenapa kau suka sekali menyiksaku?"
"Kau yang menyebalkan"
"Aih... katanya kau yang menyebalkan"
"Tidak jadi. Kau yang menyebalkan."
"Kau ini kenapa? Benar-benar aneh."
"Iya aku aneh. Ihhhh kenapa kau tidak peka? Aku takut kehilanganmu sialan. Aku takut kau selingkuh dan mencari kenyamanan di wanita lain."
"Kau bicara apa?" Seketika Alvi menepikan mobilnya dan kemudian meraih kedua tangan Avril dan menatapnya penuh kelembutan. Avril mengingat ucapan Dinda yang mengatakan bahwa suami yang berselingkuh sikapnya cenderung manis dan hangat.
"Bohong. Kau ini tampan, kaya, dan juga.... iihhh pokoknya kau menyebalkan."
"Ehhh... Avril... tatap aku!" Dengan mendelik, Avril kemudian menatap Alvi dengan tatapan malas.
"Jika aku ada niat mencari wanita lain, aku tak akan membuang waktuku hanya untuk menemanimu, dan juga aku tak akan pulang cepat setelah pekerjaan selesai. Dan satu lagi, aku tak akan mengajak Ray jika ke luar kota. Kau pikir aku tidak menjaga hati? Ingat! Kau hanya satu-satunya. Cintaku tak akan terbagi sebelum ada yang memanggilku ayah, tapi bukan Rei." Tegasnya meluluhkan pandangan Avril lalu kembali melajukan mobil dengan pelan. Alvi tak sedikitpun berniat melepaskan tangan Avril dari genggamannya dan sepanjang jalan ia terus mengecup punggung tangan Avril, seakan itu menjadi sebuah candu untuknya.
-bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments