Kedatangan Rifal menambah kesakitan yang ada. Dia lebih baik memilih untuk menghindar daripada bertemu. Dia juga memiliki batas kesabaran. Tidak bisa terus disakiti seperti ini.
Jam lima subuh Elyna memilih untuk berangkat bekerja. Di mana orang-orang masih terlelap. Tak dia hiraukan tubuhnya tang sudah tak karuhan. Dia tidak ingin bertemu dengan suaminya. Bukannya dendam, tetapi hatinya akan selalu sakit jika mendengar perkataannya.
Memilih berjalan kaki itulah yang dilakukan Elyna. Ucapan demi ucapan yang menyakitkan tengah dia dengar kembali. Dia tersenyum tipis. Hatinya sangat teriris.
"Kapan kamu melihatku, Mas?" Hanya sebatas gumaman kecil nan lirih. Biarlah rasa kecewa, sakit, sedih dia pendam seorang diri. Seiring berjalannya waktu rasa itu akan menghilang.
.
Rifal bangun lebih awal. Dia langsung menuju kamar Elyna setelah membasuh muka. Tangannya mengetuk pintu dengan pelan. Dia tidak ingin mengganggu Elyna yang pastinya masih terlelap. Merasa lama menunggu membuat Rifal tidak sabar. Dia menekan gagang pintu dan matanya memicing ketika kamar tersebut sudah tidak ada siapa-siapa. Sudah rapih seperti tidak ada yang menempati semalam.
"Ke mana dia?" Rifal menuju dapur dan tidak ada siapa-siapa di sana. Dia kembali ke kamar Elyna. Mencari Elyna di kamar mandi. Namun, tetap tidak ada. Tas yang dibawa Elyna pun sudah tidak ada. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.
"Dia itu bukan robot! Harusnya dia istirahat." Rifal geram sendiri dengan kelakuan Elyna.
Ingin dia tidak peduli terhadap Elyna, tetapi hati kecilnya berkata lain. Nuraninya menolak. Rifal bergegas mandi dan menuju tempat kerja Elyna. Di tengah perjalanan dia melihat sosok yang percis dengan istrinya. Tengah terduduk di kursi kayu pedagang bubur ayam pinggir jalan. Wajahnya nampak pucat. Terlihat juga dia tidak berselera.
"Ngeyel!" umpatnya.
Bibir boleh berkata dengan ketus. Namun, hati tak tega melakukan hal yang kejam kepada seorang wanita. Rifal memarkirkan mobil di sebuah minimarket yang ada di seberang pedagang bubur tersebut.
Dia duduk tepat di depan wanita yang hanya mengaduk pelan bubur di dalam mangkuk. Dia tidak menyadari ada seseorang yang sudah duduk di depannya.
"Bang, bubur satu ya."
Suara itu membuat Elyna menarik napas panjang. Rasa sakitnya bukannya hilang malah semakin kentara. Merasa sedari tadi diabaikan, Rifal pun membuka suara.
"Makan! Jangan diaduk-aduk doang."
Kepala Elyna perlahan menegak. Rifal sudah ada di depannya. Tatapannya datar. Elyna pun bersikap sama. Dia memilih fokus kembali pada bubur yang belum dia makan sama sekali. Kesal dengan tingkah Elyna. Rifal pun mengambil mangkuk bubur Elyna. Dia menatap tajam ke arah Elyna yang juga tengah menatapnya.
"Makan yang benar." Rifal sudah menyendok bubur milik Elyna. Berniat untuk menyuapi istrinya tersebut. Ketika sendok sudah ada di depan mulut, bukannya menerima suapan sang suami dia malah membuka suara.
"Jangan perlakukan aku seperti ini, Mas. Aku hanya wanita biasa yang akan merasa bahagia ketika mendapat perhatian seperti ini dari kamu. Aku tidak ingin kecewa karena bukannya kamu cinta, tapi hanya sekedar iba."
Sekuat tenaga Elyna menahan sesak di dada. Ingin rasanya dia menyerah. Dia ingin mengakhiri semuanya.
"Jika, hatimu belum terbuka untukku. Lebih baik jangan mendekatiku, Mas. Aku wanita yang mudah GR. Aku wanita yang butuh pengakuan. Bukan hanya di atas kertas, tapi dari dalam hatimu juga."
Elyna pun berdiri. Dia meninggalkan Rifal yang termenung di sana. Tangannya masih memegang sendok yang berisi bubur. Perkataan Elyna kali ini teramat menusuk relung hatinya. Tamparan keras untuk dirinya.
.
Elyna, Echa dan juga Nesha tengah berada di sebuah restoran private. Sengaja kakak dan adik ipar itu mengajak Elyna bertemu.
"Apa keputusan Mbak sudah final?" tanya Echa. Dia berharap Elyna merubah keputusannya.
"Menjauh sejenak sepertinya lebih baik." Lelah, itulah yang dirasakan Elyna. Dua bulan lebih menjalani biduk rumah tangga tidak ada ucapan lembut yang Rifal berikan kepadanya.
"Aku tidak menyerah, tapi aku hanya lelah." Terlihat wajah tak bergairah yang Elyna tunjukkan.
Nesha mengusap lembut pundak Elyna. Dia pun memeluk tubuh adik iparnya. Echa pun ikut memeluk tubuh sang kakak ipar.
"Sabar ya, Mbak."
Tiga menantu Addhitama itu sangat kompak. Saling menyayangi satu sama lain walaupun jarang bertemu.
"Nanti Echa akan bantu bilang kepada Kak Rifal." Elyna pun menggeleng dengan cepat.
"Jangan," tolaknya. "Jangan pernah memaksanya. Cukup pernikahan ini saja yang penuh dengan keterpaksaan." Sakit sekali Echa mendengarnya. Bagaimana jika merasakannya.
Ketika Rifal tengah disibukkan dengan pekerjaan dan harus lembur, Radit, Rindra, Nesha dan juga Echa sudah berada di rumah sang ayah. Mereka melepas Elyna pergi. Itupun atas ijin Addhitama.
"Aku pergi ya," ucap Elyna.
Tidak ada satupun orang memberitahu kepada Rifal bahwa Elyna pergi. Biarlah Rifal tersadar sendiri. Kakak dan adiknya pun tidak membuka suara.
Tiga hari rumah terasa sepi. Semenjak kejadian di tukang bubur Elyna semakin menjauh. Begitu juga dengan Rifal. Dia memilih acuh. Namun, hati kecilnya tetap tidak bisa. Ketika menjelang tengah malam, Rifal akan memandangi pintu belakang. Di mana Elyna akan masuk lewat sana. Juga ketika fajar belum menyingsing Rifal sudah membuka mata untuk melihat Elyna pergi bekerja.
Ada yang berbeda tiga hari ini. Rifal tidak pernah melihat Elyna di malam atau pagi hari. Padahal dia sudah berdiam diri di tempat biasa. Rasa penasaran menyeruak. Dia pun memberanikan diri untuk datang ke florist ketika jam makan siang. Dia juga sudah mengesampingkan egonya. Mendengar ucapan Papihnya membuat Rifal berpikir cukup keras.
"Apa yang Papih lakukan ini mungkin kamu anggap kejam. Papih jahat, dan Papih tidak punya hati. Ingatlah, Pang ... Papih sayang kalian. Papih ingin yang terbaik untuk kalian. Kalau Papih egois, pasti Rindra dan kamu sudah Papih jodohkan dengan anak-anak kolega Papih. Bukan dengan orang biasa seperti Nesha dan Elyna. Ada alasan di balik ini. Namun, Papih gak mau memberi tahu alasannya. Papih tidak ingin kamu hanya memberi iba tanpa memberi cinta."
Jam dua belas siang Rifal sudah melajukan mobilnya menuju florist di mana Elyna berkerja. Dia menarik napas panjang ketika hendak turun dari mobil. Dia pun masuk ke dalam. Sambutan hangat diberikan oleh karyawan lain.
"Mau cari apa, Pak?" Senyum manis karyawan itu berikan kepada pria yang sudah matang tersebut. Mata Rifal bukan mencari bunga melainkan mencari seseorang.
"Pak," tegur karyawan florist tersbut. Sedari tadi mata Rifal terus mencari-cari.
"Elyna."
Karyawan itu menukikkan kedua alisnya ketika mendengar nama Elyna. Dia melihat Rifal dari atas hingga bawah.
"Ada perlu apa, ya?" Tatapan tajam Rifal berikan membuat nyali karyawan itu mendadak ciut.
"Saya ingin bertemu dengan Elyna," tekannya.
"Ma-maaf, Mbak Elyna sudah tidak bekerja di sini. Sudah hampir seminggu beliau resign."
"Jangan bohong!" Rifal menjadi pria arogan sekarang.
"Betul, Pak. Resign-nya Mbak Elyna pun sangat mendadak. Beliau juga tidak menyertakan alasan yang men-detail. Lelah, begitu katanya."
Wajah Rifal berubah tegang. Rasa tak karuhan bersarang di hati.
...***To Be Cintunue***...
Komen dong ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
TRIDIAH SETIOWATI
lelah lahir batin ya el
2024-05-23
0
guest1054465034
lelah....dalam banget ...buat seseorang yang menanti sebuah kepastian...
2023-06-25
0
Rita Purwanti
emang enak rifal dicuekin
2023-06-18
0