Menjalani biduk rumah tangga hampir sebulan tanpa ada perubahan membuat Elyna bosan. Selalu tak dianggap oleh suaminya sendiri. Meskipun Elyna sudah menjalankan kewajibannya dengan baik.
"Mas," panggil Elyna ketika suaminya baru pulang tepat di tengah malam. Langkah kaki Rifal pun terhenti. Dia mematung tepat di belakang Elyna.
"Sudah saya katakan jangan pernah menunggu saya." Ucapan yang penuh dengan penekanan.
"Aku ini istrimu, Mas. Pasti ada rasa cemas di hati setiap kali kamu belum kembali." Senyum tipis terukir di wajah Rifal.
"Istri," cibirnya. "Harus kamu tahu bahwa saya menikahi kamu bukan karena cinta. Melainkan karena Papih saya. Saya harap sampai di sini kamu paham."
Elyna seperti orang yang terkena asma mendengar ucapan dari Rifal. Sakit jangan ditanya. Pedih bukan lagi. Namun, dia tidak boleh menyerah begitu saja.
Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari mulut Elyna. Dia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sudah biasa suaminya tidur di sofa. Kali ini dia tidur tidak menghadap ke arah sofa yang biasa Rifal gunakan untuk tidur. Akan tetapi membelakangi sofa tersebut.
Rifal yang baru selesai membersihkan tubuhnya sedikit melirik ke arah Elyna yang sudah menutup tubuhnya dengan selimut. Dia tidak peduli dan memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Di malam-malam selanjutnya Elyna tidak pernah menunggu suaminya pulang kerja. Rumah pun nampak sepi sekali. Lampu di ruang tamu sudah padam. Apalagi sekarang sudah tengah malam. Tiba di kamarnya pun hanya lampu temaram yang menyala. Penghuni ranjang sudah terlelap dengan selimut tebal menutupi sebagian tubuhnya.
Rifal membuka dasi yang melingkar di leher. Mendudukkan tubuhnya dengan kasar ke atas sofa. Sungguh hari yang melelahkan. Ingin rasanya Rifal berendam air hangat. Namun, dia sudah terlalu lelah untuk menyiapkannya sendiri. Refleks matanya kini tertuju pada sosok wanita yang tengah tertidur memunggunginya. Dia ingin minta tolong kepada Elyna, tapi dia tidak tega membangunkannya.
Akhirnya, Rifal berendam dengan air dingin. Sama saja bukan. Sama-sama air. Rifal masuk ke dalam bath up. Suhu air cukup menusuk tulangnya. Namun, dia tetap membiarkannya. Cukup lama berendam hingga tubuhnya terasa menggigil barulah dia menyudahi acara berendam air dingin di tengah malam. Bukannya segar tubuhnya malah menggigil. Selimut tebal sudah menyelimuti tubuhnya. Masih saja tubuhnya menggigil cukup kuat.
Rifal coba untuk merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Berharap itu akan membuat rasa dingin di tubuhnya menghilang. Sayangnya, tubuhnya semakin tak karuhan. Terpaksa Rifal harus turun ke lantai bawah untuk membuat teh manis panas untuk menghilangkan rasa dingin di sekujur tubuhnya.
Rifal sengaja memasak air agar panasnya seratus derajat celsius di teko bunyi. Itulah yang dia tahu. Sudah lama dia tidak pernah masuk ke dalam dapur. Rifal menunggu di meja makan dan masih melilit tubuhnya dengan selimut.
Teko yang berada di atas kompor pun berbunyi sangat nyaring. Namun, si manusia berselimut tidak mendengarnya. Cukup lama teko itu berbunyi. Memanggil-manggil orang yang tadi meletakannya.
"Astaghfirullah!"
Pekikan suara seseorang membuat Rifal terbangun. Dia melihat Elyna sedang mematikan kompor.
"Sudah mendidih?" Pertanyaan Rifal hanya dijawab dengan sebuah anggukan oleh Elyna. Tanpa ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya.
Rifal mengambil teh celup kantong juga gula dengan tangan gemetar. Elyna meraih gelas di tangan Rifal. Menuangkan air panas pada gelas yang sudah berisi teh celup juga gula. Rifal hanya memperhatikannya saja. Air panas yang Elyna tuangkan hanya setengah gelas lebih saja. Sisanya dia berikan air galon.
Tanpa kata Elyna memberikan gelas yang sudah berisi teh hangat kepada Rifal. Tangan Rifal pun meraihnya. Elyna beralih mengisi gelas yang dia bawa. Kemudian, meninggalkan Rifal begitu saja.
Rifal membawa teh hangat itu menuju meja makan. Dia sendirian di sana. Tidak ada yang menemani. Akhir-akhir ini Elyna seakan menjauhinya.
Pria yang sudah tidak muda itu menatap ke arah teh hangat yang asapnya masih mengepul. Dia sendirian, tidak ada yang menemani sekarang. Tiupan lemah pada asap yang mengepul menandakan bahwa tubuh dan hatinya berada di titik lemah malam ini. Helaan napas kasar untuk kesekian kalinya dia buang.
.
Elyna masih tetap diam. Dia memang satu kamar dengan Rifal, tapi tidak pernah ada pembicaraan di antara mereka. Ruang makan pun semakin sunyi senyap.
"Mbak mau pulang kampung." Elyna membuka suara di tengah sarapan mereka. "Kalau Mas tidak mau aku masakkan, aku bisa pesankan cathering untuk sarapan dan makan malam."
"Tidak usah."
Elyna melanjutkan makannya lagi. Ini bukan pertama kalinya Rifal bersikap dingin kepadanya. Namun, hatinya tetap merasa perih ketika suaminya itu berucap demikian.
Addhitama belum kembali ke Jakarta. Dari Kalimantan dia langsung terbang ke Singapura. Dia juga membiarkan putra keduanya melakukan pendekatan dengan Elyna. Siapa tahu dengan cara ini akan berhasil.
Selama mbak ART tidak ada, Elyna hanya menyiapkan sarapan untuknya. Bukannya Elyna tega. Akan tetapi, hatinya terlalu sakit jika setiap dia menyiapkan sarapan selalu ditolak dan berujung dibuang oleh suaminya. Begitu juga dengan makan malam.
"Sabar itu tidak ada batasnya. Namun, aku hanya manusia biasa yang memiliki batas kesabaran." Gumaman yang hanya bisa didengar oleh Elyna.
Rifal masuk ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Namun, kopi yang biasa dia minum tidak ada di sana.
"Apa jangan-jangan habis." Kalimat itu mampu Elyna dengar. Dirinya mencoba untuk diam saja.
"Kopi hitam sajalah."
Elyna menarik napas panjang. Dia pun berdiri dan menghampiri Rifal. Mengambil sesuatu dari dalam laci dapur.
"Ini." Elyna menyerahkan kopi yang biasa Rifal minum. Sontak pria itupun terkejut. Sejak kapan wanita yang berstatus istrinya itu mengetahui kopi yang sering dia minum.
Elyna memilih untuk kembali ke meja makan. Dia mengunyah pelan roti bakar yang dia buat. Matanya memandang lurus ke depan dengan nanar.
"Kopi yang setiap pagi menyambutmu itu adalah kopi yang dibuat olehku. Hanya saja Mbak yang selalu mengantarkannya kepadamu, Mas. Hanya dengan cara itu kamu mau meminum atau memakan apa yang aku buatkan." Batin Elyna berkata dengan begitu lirih.
Ketika mendengar langkah kaki mendekat. Elyna buru-buru menghabiskan sarapannya. Tepat ketika Rifal duduk Elyna pun berdiri. Terlihat jelas Elyna sangat menghindari Rifal saat ini. Rifal terdiam dan menatap ke arah punggung Elyna yang tengah mencuci piring bekas sarapan.
Rifal pun memandang lurus ke depan. Tak menyentuh kopinya sama sekali. Dia teringat akan sesuatu yang pernah terjadi dengannya juga Elyna pada malam itu. Terdengar suara piring diletakkan di rak. Rifal bangkit dari duduknya dan menghadang langkah Elyna.
"Maafkan saya." Kalimat itu begitu tulus. Baru kali ini Rifal menatap wajah Elyna. Nektra mata mereka terkunci.
"Lupakanlah apa yang telah terjadi di antara kita pada malam itu." Elyna terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Rifal. Dia menggeleng dengan senyum tipisnya.
"Tidak semudah itu, Mas," sahutnya. "Itu yang pertama untukku."
...***To Be Continue***...
Komennya mana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Julia Inp
lah gmn cerita nya ...kok uda mlm.pertama ...kapan ? waduh bingung nich ceritanya
2023-10-13
1
Ita Mariyanti
right El 👍👍👍
2023-06-15
0
Sweet Girl
ada apa nie.... dimalam itu...???
apa terjadi Unboxing secara paksa?
2023-05-20
0