...Happy Reading...
......................
"Vin, kita makan di mana sekarang?" tanya Imran, setelah mereka keluar dari musala.
"Aku bawa bekal, Ran," jawab Alvin.
"Hah, sekarang kamu bawa bekal, kenapa?" Imran terkejut dengan jawaban Alvin.
"Ya, biar lebih irit aja, lagian nenek juga setuju," jawab Alvin.
"Kamu mau makan di mana?" tanya Imran.
"Di taman belakang aja, yang sepi."
"Ya udah, kamu, tunggu aku ya. Aku beli makanan dulu di kantin."
"Aku juga mau ke kelas dulu. Nanti kita ketemu di sana saja ya."
Imran mengangguk, mereka pun terpisah dengan tujuan yang berbeda. Alvin yang kembali ke kelas untuk mengambil bekal, sedangkan Imran ke kantin.
Beberapa saat kemudian, Alvin sudah berda di taman belakang, menunggu Imran yang belum juga datang.
Pikirannya kembali pada saat pagi tadi, saat dirinya dan sang kakek pulang dari masjid berdua.
Flash back.
"Vin, kakek minta maaf soal kemarin sore. Ternyata kakek salah paham sama kamu," ujar Darman, di sela langkah keduanya.
Alvin menoleh kilas pada kakeknya, dia tidak pernah mengharapkan kata maaf dari kakeknya. Sebagai cucu, Alvin sudah cukup tahu kalau kakeknya itu mempunyai watak yang cukup keras.
"Kakek hanya tidak mau, kamu berbuat hal yang salah hanya untuk memenuhi isi perut dan nafsu dunia kamu, Vin. Ingat kalau makanan itu sangat penting untuk hidup kita kedepannya, karena makanan itu akan menyatu dengan darah dan tubuh kita."
"Jadi kita harus tahu betul kalau makanan itu halal, sebelum kita memaknnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada tubuh maupun kehidupan kita, jika makanan yang menjadi sumber energi kita dalam menjalani hidup saja sudah kotor."
"Kamu tahu motor, kan?" tanya Darman yang langsung diangguki oleh Alvin.
"Motor saja kalau kita isi dengan bensin oplosan, lama-lama akan terjadi kerusakan, bahkan mungkin terjadi masalah besar, dan akan menyusahkan kita sebagai pemilik maupun penggunanya."
"Begitu juga makanan untuk manusia, bila makanan itu terlihat kotor, mungkin akan mengakibatkan penyakit yang terlihat juga seperti sakit perut."
"Tapi, kalau makanan itu kotor yang tidak terlihat seperti makanan yang diharamkan, bukan hanya penyakit yang terlihat yang akan kita terima, melainkan penyakit tak kasat mata dan tidak kita sadari pun, akan bermunculan di dalam diri kita."
Alvin mendengarkan semua perkataan kakeknya dengan seksama.
"Maksud kakek, penyakit tak kasat mata itu apa?" tanya Alvin, sedikit asing dengan istilah itu.
"Penyakit yang tidak bisa kita lihat oleh mata kita. Misalnya penyakit hati ... seperti sifat, iri, dengki, sombong, dan masih banyak lagi. Karena sejatinya, makanan yang diharamkan itu tidak diridhoi oleh, Sang Maha Pencipta."
"Dan ingat, makanan yang diharamkan oleh agama kita, bukan hanya yang tertera, seperti babi atau minuman beralkohol saja. Tapi, makanan dari hasil mecuri atau uang yang kita gunakan untuk membeli, itu juga dari pekerjaan yang tidak halal, maka makanan itu pun akan jadi diharamkan untuk kita."
"Jadi kita juga harus memilih pekerjaan apa yang kita kerjakan, jangan sampai pekerjaan itu tidak halal. Begitu ya, Kek?" tanya Alvin, setelah cukup banyak mendengar perkataan kakeknya yang berupa nasihat itu.
"Iya, benar." Darman tersenyum mendengar perkataan cucunya itu.
"Ohya, tadi malam, nenekmu bilang kalau kamu mau bekerja mencari keong di sawah, untuk pakan bebek Bi Inah. Apa benar?" tanya Darman lagi.
"Iya, Kek. Cuman di hari minggu, atau pas ada waktu luang saja kok. Lumayan buat nambah uang tabungan," ujar Alvin sambil tersenyum.
"Tapi, itu juga kalau Kakek dan nenek mengizinkan," sambungnya lagi.
"Kamu boleh bekerja, asalkan kamu janji tidak akan mengganggu sekolah dan nilai kamu. Kalau sampai nilai di sekolah turun, makan kakek akan langsung menyuruh Inah memberhentikan kamu, bagaimana?" tanya Darman.
Alvin mengangguk setuju dengan persyaratan kakeknya, dia yakin bisa mempertahankan nilainya di sekolah, walaupun dia bekerja.
"Terima kasih, Kek," ujar senang Alvin.
"Hem." Darman hanya bergumam sambil berjalan mendahului Alvin, karena mereka sudah sampai di depan rumah.
Laki-laki tua itu tersenyum tipis, melihat kebahagiaan sang cucu, walau di dalam hati dia juga merasa sakit, melihat semangat Alvin untuk membanggakan kedua orang tua dan juga adiknya.
Flash back off.
"Hei ngelamun aja." Imran langsung duduk di samping Alvin sambil membuka nasi goreng yang dia beli di kantin.
"Yuk makan, lapar nih," ujar Imran lagi.
Alvin tersenyum, walau awalnya dia cukup terkejut dengan kedatangan Imran. Dia langsung membuka bungkusan daun pisang, berisi nasi dan telur dadar, buatan sang nenek tadi pagi.
Mereka pun makan bersama-sama di taman belakang sekolah yang cukup sepi, hingga hampir tidak ada siswa lain di sana.
Dalam hati, Alvin bersyukur karena bisa mempunyai saudara sekaligus teman seperti Imran.
Walaupun, ucapan Imran sering membuatnya malu karena terlalu blak-blakan. Akan tetapi, Imran selalu berada di dekatnya dan menemaninya, di saat orang lain bahkan tidak mau berdekatan dengannya yang sekarang.
Anak yatim dari ibu yang sakit gangguan mental dan hidup serba kekurangan, siapa yang mau berteman dengannya. Mungkin bila tidak ada Imran, dia bahkan tidak bisa mendapatkan teman di sini.
Ya, walaupun Alvin selalu menolak untuk menyebut ibunya sakit. Akan tetapi, hatinya tidak bisa dibohongi.
Mengingat ibunya, Alvin merasakan sesak di dalam dada, dia ingin sekali marah bahkan mungkin menangis.
Namun, semua itu dia pendam di dalam dada, mencoba mengubur rasa sakit itu, dengan kebahagiaan dan senyum yang selalu berusaha dia terbarkan.
Alvin sadar, kalau kenangan pahit itu tidak akan pernah terlupakan, rasa sakit itu pun selalu menjadi kenangan dan bagian dari kisah hidupnya.
Maka dari itu, dia hanya bisa menekan dan menaruhnya di batas hati dan pikiran terdalam. Walau bahkan mimpi itu masih terus menghantuinya di setiap malam.
.
.
Pulang sekolah, Alvin kembali mampir ke rumah Bi Inah, untuk memberi tahu tentang persetujuan dari kakek dan neneknya.
Tentu Bi Inah pun ikut senang mendengar perkataan dari remaja laki-laki itu. Dia sudah mengetahui ceritanya kehidupan Alvin dari Esih.
Juga mendengar sifat Alvin yang sangat rajin juga pekerja keras. Dirinya cukup senang bisa membantu remaja itu, walaupun itu tidak terlalu banyak.
"Kalau begitu, Alvin, pulang dulu ya, Bi," pamit Alvin.
"Ya, nanti kalau kamu sudah mulai mengumpulkan keong, tinggal bawa saja ke sini. Aku akan bayar langsung setelah menerima keong dari kamu," ujar Bi Inah.
"Baik, Bi. Nanti pasti aku langsung bawa ke sini," jawab Alvin dengan senyum sumringahnya.
Dia pun mencium punggung tangan Bi Inah, sebelum berbalik dan berjalan menjauh dari wanita paruh baya itu.
Bi Inah menggelengkan kepala samar, melihat Alvin yang tampak begitu gembira setelah mendapatkan pekerjaan barunya.
"Kamu memang anak yang berbeda, Vin. Disaat anak-anak seumuran kamu masih asik bermain dan bermalas-malasan, kamu malah harus bekerja untuk hidup kamu dan ibumu," gumamnya menatap iba punggung Alvin yang terus menjauh.
......................
Siapa yang sudah pernah nyari keong di sawah waktu kecil? Kalau aku sih ... iya😂
Jangan lupa komen dan 👍. Terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Calup Idiot
aku thor 😊
2022-11-19
2
Helen Apriyanti
smngtt up thorr lnjuttt
2022-07-29
1
Helen Apriyanti
prnh aku thorr nyari keong d sawah hee pd zaman ny dl ..jdul.. hee seru thorr
2022-07-29
1