...Happy Reading...
......................
Walau tampak ragu Alvin mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
Alvin melihat Rengganis masih berbaring di atas tempat tidur. Alvin terus melangkah mendekati sang ibu. Dia kemudian berdiri di samping ranjang.
Matanya berkaca-kaca melihat ibunya yang dulu terlihat selalu rapih dan bersih, kini bahkan tidak bisa merawat dirinya sendiri.
Alvin tau, Mamah, sangat terpukul karena semua kejadian ini. Tapi, Alvin mohon tetap bertahan dan temani Alvin dalam menjalani kehidupan ini.
Batin Alvin terus memohon, agar ibunya bisa terus berada di sampingnya.
Dia menundukkan kepalanya, melihat uang di dalam kepalan tangannya.
Semoga dengan uang ini, Mamah, bisa mendapatkan perawatan yang lebih layak. Aku yakin, Mamah, bisa kembali seperti semula. Dan aku akan menunggu waktu itu tiba.
Cukup lama Alvin berdiri di sana, hingga akhirnya dia melihat pergerakan dari ibunya. Dengan langkah senyap, dia akhirnya meninggalkan kamar itu.
Remaja itu kini melanjutkan niatnya untuk mencari keberadaan kakek dan neneknya.
Beberapa saat kemudian, Alvin menemukan dua orang yang sudah berumur itu, sedang duduk berdua di teras depan.
"Kakek, Nenek," ujar Alvin sambil melangkah mendekati mereka berdua.
Darman dan Esih mengalihkan pandangannya pada kedatangan cucu laki-laki mereka.
"Alvin, sini duduk bareng," Esih langsung bangun dan membiarkan Alvin duduk di tempatnya.
"Terima kasih, Nek," ujar Alvin.
"Kalian ngobrol berdua dulu. Nenek ambilkan teh buat kami dulu," ujar Esih, sebelum berbalik pergi meninggalkan dua laki-laki itu.
Alvin melihat Darman dengan perasaan bingung, dia mau mengungkapkan keinginannya. Akan tetapi, rasanya bibirnya begitu berat untuk mengucapkan.
"Ada apa, Vin?" tanya Darman, seakan tau kalau cucunya itu sedang memendam sesuatu.
Alvin tampak menundukkan kepalanya, dia melihat uang di tangannya kemudian perlahan mengulurkannya ke depan Darman.
"Apa ini, Vin?" tanya Darman dengan tatapan bingung.
"Ini uang tabungan aku dan Alin, Kek," jawab Alvin.
"Lalu, untuk apa kamu buka?" tanya Darman lagi.
Laki-laki tua itu cukup terkejut melihat Alvin membawa uang yang cukup banyak padanya.
"Aku mau menggunakan ini untuk memeriksa Mamah, Kek," lirih Alvin.
Ada sedikit keraguan saat dia mengatakannya, takut kakeknya tidak mengizinkan keinginannya.
"Apa kamu gak sayang, ini kan uang tabungan kamu dan Alin?" tanya Darman, memastikan.
Alvin menggeleng, dia sudah bertekad untuk menyembuhkan ibunya dan kembali hidup seperti dulu lagi, walau kini mereka hanya tinggal berdua.
"Alvin sudah berpikir lama, dan ini adalah keputusan Alvin, Kek," jawab Alvin, menatap Darman dengan tatapan yakin.
Darman melihat uang di tangannya Alvin lalu menerimanya dengan hati yang merasa teriris, melihat cucunya yang masih remaja itu sudah harus berkorban demi kesembuhan ibunya.
Andaikan dia memiliki uang lebih, mungkin lebih baik dirinya yang mengeluarkan uang. Akan tetapi, saat ini dirinya pun tidak mempunyai cadangan uang, selain untuk hidupnya dan sang istri juga Alvin sampai panen berikutnya.
"Baiklah, besok kita bawa Ganis ke rumah sakit," ujar Daraman, memutuskan.
Alvin tersenyum mendengar perkataan kakeknya. Kini harapan untuk kesembuhan Ganis semakin besar.
"Setelah itu, apa rencana kamu ke depannya, Vin?" tanya Darman.
"Kamu mau kan ikut sama nenek dan kakek ke kampung, Vin?" Esih yang baru datang ikut bertanya pada cucunya itu.
Alvin tampak terkejut mendengar pertanyaan dari Esih, dia belum memikirkan untuk kehidupannya setelah ini.
"Tapi, bagaimana dengan Mamah?" Alvin melihat kakek dan neneknya bergantian.
"Kita lihat hasil pemeriksaannya besok. Kalau masih bisa dirawat di rumah, kita akan membawanya ke kampung," jawab Darman.
Darman dan Esih, memang sudah membicarakan semua ini. Mereka memutuskan untuk membawa Alvin dan Ganis pulang ke kampung.
Mengingat mata pencaharian mereka sebagai petani, dan itu hanya bisa dilakukan di kampung. Mereka memiliki beberapa petak sawah, yang masih dalam proses penggarapan.
Alvin termenung memikirkan keinginan kakek dan neneknya. Dia merasa berat untuk meninggalkan kota ini, mengingat dia memang lahir dan besar di sini.
Temannya pun banyak yang berada di sini. Apalagi meninggalkan kenangan dirinya bersama seluruh keluarganya sewaktu mereka masih lengkap.
"Kalau kamu setuju, nanti rumah ini kita kontrakan untuk membiayai sekolah kamu," ujar Darman lagi, menjelaskan.
Setelah berpikir cukup lama, Alvin akhirnya mengangguk menyetujui perkataan kakek dan neneknya. Tentu saja semua itu membuat senyum di wajah kedua orang tua itu terbit.
.
.
Hari berlalu begitu saja, kini sudah seminggu berlalu semenjak hari pemeriksaan Ganis ke rumah sakit.
Alvin terdiam di kamar kedua orang tuanya itu, matanya mengedar melihat ke setiap sudut ruangan.
Ya, dokter memutuskan untuk merawat Ganis di rumah sakit khusus, agar lebih terpantau dengan leluasa. Kini sudah seminggu kamar itu kosong sejak tidak ada ibunya.
Perlahan tangannya mengusap ranjang, tempat kedua orang tuanya tidur bersama selama setahun ini.
Ingatannya kembali pada saat mereka sering menghabiskan waktu bercengkerama di atas ranjang itu.
Bayangan itu seakan terlihat nyata, di mana mereka sering tertawa bahagia dan bermanaja bersama kedua orang tuanya.
Jarak umur antara Alvin dan Alin yang hanya terpaut usia lima tahun, membuat Alin terkadang menjadi bahan jahil kakanya.
Walaupuun Alvin tidak terlalu pecicilan, malah cenderung pendiam. Akan tetapi, terkadang dia jahil pada Alin.
Tentu saja, semua itu menjadikan keluarga kecil mereka lebih ramai dan penuh tawa.
Sikap Alin yang manja dan ceria, membuat Alvin senang menggoda adiknya, apa lagi bila berebut kasih sayang kedua orang tua mereka.
Alvin kangen banget sama kalian. Bapak, Alin, Mamah ... Alvin kangen, batin Alvin merindu.
Perlahan Alvin berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian yang ada di depannya. Sebenarnya saat ini, Alvin ingin membereskan semua peninggalan kedua orang tuanya, sebelum besok dirinya harus ikut bersama kakek dan neneknya.
Perlahan dia mulai membuka lemari itu, Alvin bisa melihat baju-baju milik Ganis dan Hardi yang masih tertata rapi.
"Bajunya nanti kita sumbangkan saja, sama orang yang membutuhkan."
Suara neneknya mengalihkan perhatian Alvin, dia pun menoleh sekilas melihat neneknya yang baru saja datang.
"Iya, Nek," jawab Alvin.
Pandangannya kini teralih kembali pada baju-baju itu, matanya tampak berkaca-kaca, saat mengingat saat Ganis dan Hardi memakainya.
"Sini, nenek bantu bereskan," ujar Esih lagi, yang sudah berdiri di belakang cucunya itu.
Alvin mengangguk, perlahan dia mulai mengambil pakaian milik ayahnya, dan menyerahkannya pada Esih, untuk dibereskan.
Cukup lama mereka berada di kamar itu, untuk membereskan semua peninggalan Hardi dan Ganis.
Hingga saat Alvin mulai membereskan berkas di salah satu laci, dia menemukan sebuah kalung dengan liontin berwarna biru yang terasa asing dimatanya.
"Punya siapa ini?" Alvin mengankat kalung itu ke depan wajahnya.
......................
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Hany
pasti kalung mamamu lah vin
2022-08-27
2
Helen Apriyanti
kalung siapa kah thorr apakah itu kalung ptunjuk ???
jgn" d kisah keenan ganis ibu Alvin sudh tdk ad y thorr ... !!? pnuh misteri dlm kesedihan yg sngt mndlm sekali khidupan Alvin ..
2022-07-23
3
Yati Yati
Membaca cerita dari awal sy berkesimpulan Alvin sayang sama Naura krn merasa melihat sosok Alin d diri Nauran 🤭🤭🤭
2022-07-20
4