...Happy Reading...
......................
"Mah, ini Alvin bukan bapak," ujar Alvin dengan suara parau.
Satu tetes air mata pun terlihat jatuh membasahi pipi, menyadari kondisi sang ibu saat ini.
"Enggak, Mas. Kenapa kamu bilang begitu? Apa kamu marah, karena aku tidak menyambut kedatangan kamu di depan ya? Ya, kamu pasti marah sama aku ya, Mas," cerocos Ganis, sambil menangkupkan tangannya di wajah Alvin.
Hati Alvin semakin sakit melihat perlakuan Ganis, dia sama sekali tidak menyangka, kalau kepergian ayah dan adiknya begitu mengguncang kesehatan psikis ibunya, hingga berakibat seperti ini.
"Mah, sadar. Ini Alvin, anak, Mamah!" Alvin pun meletakkan tangannya di pundak Ganis, mencoba menyadarkan sang ibu.
Namun, bukannya melunak, Ganis malah mendorong tubuh Alvin, hingga laki-laki remaja itu terhubung dan menabrak meja yang berada di sampingnya.
Benda yang tertata rapi di atas meja pun, otomatis berjatuhan ke bawah, hingga salah satu foto kedua orang tuanya terhenpas ke lantai dan pecah berserakan.
"Aaa! Mas Hardi!" teriak Hanis, sambil mengambil foto yang sudah pecah itu.
"Mah, jangan. Nanti tangan, Mamah, luka, " cegah Alvin.
Namun, tangan Alvin langsung ditempatkan begitu saja, tatapan penuh cinta yang sejak tadi terpancar, kini sudah berganti dengan ke kebencian.
"Ini semua gara-gara kamu! Kamu apakan suami dan anakku sampai mereka meninggalkan aku hah!" teriak Ganis histeris lagi.
Rengganis memukul Alvin sambil berteriak histeris menyalahkan Alvin atas meninggalnya suami dan juga anak perempuannya.
Alvin menunduk pasrah, rasa sakit di dalam hatinya kini semakin menjadi, saat ibunya sendiri menyalahkan dirinya atas kejadian itu.
Dirinya hanya terdiam, memilih pasrah menerima semua pukulan bertubu-tubi dari sang ibu.
"Kamu jahat! Kamu orang jahat!" teriak Rengganis sambil terus memukul Alvin.
Darman yang mendengar suara ribut dari dalam kamar, langsung membuka pintu. Dia melebarkan matanya begitu melihat apa yang sedang terjadi pada cucunya.
"Astagfirullah, Alvin." Darman langsung berlari cepat untuk melindungi cucu laki-lakinya itu.
"Ganis, ini akan kamu! Sadarlah, Ganis!" ujar Darman sambil melindungi Alvin.
Esih yang juga mendengar suara ribut itu, juga menghampiri kamar, dia pun terkejut melihat apa yang terjadi.
Darman yang tau keberadaan istrinya pun berteriak untuk meminta tolong. Dia langsung menangkap tangan Rengganis dan menguncinya.
"Bawa Alvin ke luar dulu!" perintahnya dengan suara yang tegas.
"Iya, Pak!" jawab Esih, langsung memapah Alvin ke luar dari kamar.
Begitu sampai di luar, Alvin kembali bersimpuh lemas di lantai. Rasa sakit di sekujur tubuhnya seakan tidak lagi terasa, berganti dengan rasa sakit yang tidak kasat mata dan tertanam di dalam dada.
Ya, luka yang tercipta tanpa tau cara untuk menyembuhkannya itu, terasa begitu menyiksa hingga air mata itu pun tidak bisa lagi dapat dia tahan.
Esih menutup pintu kamar, dia pun merangkul Alvin dengan perasaan yang juga sakit, melihat betapa hancurnya keluarga yang telah dibangun sang anak dengan susah payah.
Semua itu kini sudah tidak terlihat lagi, hanya karena sebuah kematian juga kehilangan.
"Benar kata mama, Nek. Aku penyebab bapak dan Alin meninggal. Aku–"
Alvin tidak sanggup lagi meneruskan perkataannya yang malah semakin menambah luka di dalam dada. Dia menangis terisak, meratapi apa yang sekarang terjadi padanya dan seluruh keluarganya.
"Sssh, jangan bilang begitu, Nak. Ganis hanya sedang tidak sehat, dia tidak bisa menerima kenyataan yang terlalu mengejutkan ini. Kamu sabar ya, nenek yakin sebentar lagi, Ganis juga akan seperti biasa lagi."
Esih berusaha melapangkan hati cucunya, dia tidak mau kalau Alvin ikut terpuruk dengan apa yang terjadi pada keluarganya kini.
"Sudah-sudah, sekarang kamu lebih baik istirahat di kamar, nanti malam adalah pengajian terakhir bapak dan adikmu. Bukannya kamu mau pulang karena ini?"
Darman ikut melerai tangis Alvin, dia pun merasakan sakit yang sama melihat semua ini. Akan tetapi, posisinya sebagai kepala keluarga dan laki-laki dewasa satu-satunya di dalam keluarga, membuatnya harus terlihat lebih kuat dan tegar dibandingkan dengan yang lainnya.
Alvin melihat sang kakek, dia pun mengangguk walau tubuhnya kini terasa lemah dengan kepala yang terasa pening, dia mencoba berdiri walau sesaat kemudian dirinya terhuyung dan hampir terjatuh kembali.
Darman pun dengan sigap menangkap tubuh Alvin, dia memapah cucunya itu masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Sampai di dalam kamar, Alvin duduk di sisi ranjang dengan kepala tertunduk dalam.
"Kamu istirahat dulu saja. Kakek harus menyiapkan pengajian di untuk nanti malam di depan," ujar Darman.
Alvin mengangguk sebagai jawaban, tubuhnya memang terasa masih sangat lemah saat ini. Mungkin karena apa yang baru saja terjadi dan diketahuinya terlalu membuatnya tertekan, hingga merasakan lelah.
Darman meninggalkan Alvin sendiri di dalam kamar, dia tahu kalau cucunya itu masih perlu menenangkan diri.
Berat sekali cobaan yang kamu terima di usia yang masih sangat muda ini, Nak. Semoga saja kamu kuat dan bisa kembali bangkit, memperjuangkan masa depan yang lebih bahagia lagi.
Darman begumam di dalam hati, mengasihani sang cucu atas apa yang menimpanya saat ini.
Alvin termenung, pandangannya mengedar melihat seluruh penampakan kamar pribadinya yang memiliki pintu penghubung pada kamar Alin,
Matanya tampak berkaca-kaca saat melihat pintu penghubung kamar mereka, di sana terlihat gantungan papan nama hadiah dari Alin saat ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu.
...Kak Alvin tersayang...
Begitulah tulisan di papan nama berwarna hijau muda dengan tulisan berwarna merah muda itu terlihat sangat kontras di pandang mata.
Di bawahnya tergantung foto dirinya dan Alin yang diambil saat keluarganya berlibur beberapa waktu yang lalu.
Ingatan Alvin pun melayang pada saat Alin memberikan itu padanya.
"Ini kado dari Alin untuk, Kak Al!"
Alin berbicara dengan gayanya yang ceria, sambil mengulurkan tangan yang memegang kado berwarna hijau kesukaannya.
Alvin tersenyum, dia pun menerima kado dari adiknya itu. "Apa ini, Dek?"
"Coba buka, itu aku buat sendiri loh! Eh, enggak deh, dibangun sama mamah," ujar gadis kecil itu dengan ekspresi lucunya, hingga membuat orang-orang yang ada di sana tidak bisa menahan tawanya.
Alvin terkekeh, dia pun perlahan membuka kado tersebut dengan sangat hati-hati.
"Wah, papan nama. Bagus banget. Terima kasih, Dek," ujar Alvin sambil memberikan pelukan untuk adiknya.
"Tuh kan, Mah, aku bilang apa, Kakak pasti suka sama papan nama buatan aku," ujar bangga Alin.
Rengganis pun tersenyum sambil mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh anak perempuannya itu.
Alvin yang batu menyadari kalau hurufnya berwarna merah muda pun mengerutkan keningnya.
"Kok hurufnya warna merah muda?" tanyanya, melihat Alin dengan mata memicing.
"Hehe, biar kakak gak lupa sama Alin. Warna hijau kan kesukaan kakak, warna merah muda kesukaan Alin," ujar polos gadis kecil itu.
Alvin yang memang kurang suka dengan warna merah muda pun, hanya bisa menghembuskan napas pasrah oleh ulah adik kesayangannya itu.
......................
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Keyyis
bagus banget penyampaian ceritanya. aku ikut terharu
2023-01-25
1
Hany
sabar Vin,ikhlaskan semuanya,biarkan ayah dan Aline tenang disana,tumbuhlah jd anak baik ,bangunlah dr keterpurukan dan semoga kamu menjadi pria dewasa yang bs membanggakan bagi kakek nenek dan ibumu kelak,semangat Vin💪😥
2022-08-24
3
Helen Apriyanti
yg sbar yg kuat yg tbah y vin .. yg tegar .. ibu nya Alvin smpe kna mental spikis .. krn d tinggal suami dn anaknya Alin krn naas nya kecelakaan itu..
2022-07-20
2