...Happy Reading...
......................
Alvin tersadar saat matahari sudah mulai meninggi. Ya, saat mendengar kabar mengejutkan kemarin malam, Alvin kembali tidak sadarkan diri.
"Nek," lirihnya, saat melihat wanita berumur itu tengah duduk di samping brankarnya.
Esih melihat wajah pucat sang cucu, matanya penuh binar bahagia, walau masih ada air mata yang menggenang di sana.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak," ujar Esih kemudian, sambil mengusap pelan wajah Alvin.
Alvin mengangguk samar dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kenapa, Nenek, gak bilang sama Alvin, tentang bapak dan Alin?" tanya Alvin dengan mata yang tampak berkaca-kaca.
Ingatan tentang kejadian tadi malam dan jawaban yang diberikan oleh salah satu perawat, masih tentang di kepalanya.
"Maaf, Nak. Nenek, takut kamu belum bisa menerima semua kabar itu," jawab Esih, sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Alvin menggeleng lemah, dia memegang tangan Esih dengan begitu lembut.
"Mama, gimana? Kenapa mama gak pernah nengok aku, Nek?" Alvin menatap Esih penuh tanya.
"Ganis, gak apa-apa, dia cuman butuh waktu untuk menenangkan diri, setelah kehilangan bapak dan adikmu," jawab Esih.
"Kapan aku bisa pulang dari rumah sakit, Nek? Aku mau ketemu sama mama," ujar Alvin, menatap penuh harap pada neneknya.
"Kalau kamu pulih, kamu pasti bisa cepet pulang. Makanya, kamu harus istirahat biar cepet sembuh, ya." Esih sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh di depan sang cucu.
"Nek, besok hari ketujuh bapak dan Alin meninggal kan? Apa aku bisa pulang besok? Aku udah sembuh kok," tanya Alvin.
"Nanti nenek bicara dulu sama dokter ya, sekarang kamu istirahat, gak boleh banyak gerak biar besok bisa pulang."
Alvin mengangguk, dia pun akhirnya memilih untuk kembali menutup matanya. Remaja itu tau, kalau sang nenek sudah tidak mampu menahan air yang menggenang di pelupuk matanya.
Esih berjalan ke luar dari ruangan rawat Alvin. Saat dia menutup pintu, disanalah air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya keluar.
"Kamu kok di luar, ada apa?" Darman yang baru saja sampai langsung duduk di samping istrinya.
"Alvin minta pulang besok, Pak. Bagaimana ini?" tanya Esih.
Wanita sudah berumur lima puluh tujuh tahun itu, terlihat sangat bingung sekaligus tidak bisa menahan kesedihannya.
Darman mengelus punggung Esih, walau sebenarnya di dalam hati dia juga merasa bingung saat nanti Alvin pulang ke rumah.
"Harus bagaimana lagi? Mungkin memang sudah saatnya Alvin tau yang sebenarnya," lirih Darman.
Esih menatap wajah Darman yang terlihat tenang, dia masih merasa ragu untuk memberitahukan keadaan menantunya pada Alvin.
"Tapi, gimana kalau kesehatan Alvin memburuk lagi? Aku gak mau itu terjadi, Pak," ujar Esih.
"Aku yakin dia anak yang kuat, dia pasti bisa menerima semua cobaan ini." Darman berkata yakin.
Akhirnya Esih tidak bisa membantah lagi, walau di dalam hatinya masih meragukan keputusan sang suami.
.
.
Hari sudah berganti, siang ini Alvin sudah diperbolehkan untuk pulang, walau masih harus menjalani rawat jalan.
"Hai, Alvin!" seruan tiba-tiba dari para teman-temannya yang baru saja datang mengejutkan Alvin dan Esih yang sedang bersiap-siap.
Semua itu tentu saja mampu membuat senyum di wajah Alvin tampak terlihat.
"Maaf ya, kita baru bisa jenguk kamu sekarang, kamu tau kita semua sibuk mengurus keperluan acara perpisahan sekolah," ujar salah satu temannya.
Alvin mengangguk, "Gak apa-apa, yang penting kan sekarang aku udah sembuh."
Mereka pun akhirnya mengobrol bersama hingga saat waktunya Alvin untuk pulang, semua bermaksud untuk mengantarkan Alvin ke rumahnya.
"Gak usah, aku udah senang kok kalian bisa dateng ke sini. Lebih baik kalian pulang saja ke rumah maising-masing, lagian waktunya juga udah sore," tolak Alvin.
Ketiga temannya itu pun saling pandang, lalu merekamengangguk menyetujui permintaan Alvin.
"Ya udah, kalau gitu kita pulang bareng aja, nanti kita pisah di jalan," saran dari temannya yang lain.
Alvin pun akhirnya mengangguk menyetujui permintaan teman-temannya itu. Mereka akhirnya berjalan bersama menuju parkiran, di sana sudah ada Darman yang menunggu dengan taksi.
Beberapa saat kemudian, Alvin bersama Darman dan Esih sudah sampai di rumah kedua orang tua Alvin.
Alvin ke luar dengan tatapan nanar, kepada rumah yang sudah satu tahun ini mereka tinggali bersama.
Ada rasa sakit begitu bayangan ayah dan juga adiknya terlintas di kepala. Dibantu oleh Darman, Alvin turun dari taksi, dia berdiri beberapa saat sebelum melangkah masuk ke dalam pelataran rumahnya.
Kerutan di kening Alvin tampak terlihat, saat dia mulai masuk ke dalam rumah. Di sana rumah tampak sepi, seperti tidak ada orang di rumah itu.
"Mama ke mana, Nek? Kok rumah sepi," tanya Alvin.
Esih tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil terus berjalan.
Alvin semakin bingung melihat sikap neneknya itu. Dia beralih menatap sang kakek yang berjalan di sampingnya.
"Kek?" tanyanya, menatap penuh tanya.
"Ibu kamu ada, dia ada di kamarnya," jawab Darman.
"Kalau gitu aku mau ke kamar mama dulu," ujar Alvin.
Darman dan Esih saling memandang, seakan sedang beradu argumen melalui mata.
"Nenek taruh baju kamu di kamar dulu." Esih memilih menghindar, dia tidak mau melihat cucunya semakin hancur saat mengetahui kondisi ibunya.
"Ayo biar kakek bantu kamu ke kamar ibumu," ujar Darman, setelah melihat Esih masuk ke kamar Alvin.
Alvin mengangguk, mereka kemudian meneruskan langkahnya menuju ke kamar yang berada paling dalam itu.
Perlahan Darman membuka kamar milik anak dan menantunya itu.
Alvin bisa melihat ibunya sedang duduk di pinggir ranjang, dengan posisi memunggunginya.
"Masuklah, kakek akan tunggu di luar," ujar Darman yang langsung diangguki oleh Alvin.
Dengan perasaan bercampur aduk, Alvin mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Assalamualaikum, Mah?" Alvin memberi salam dengan tutur kata yang terdengar lembut.
Rengganis atau yang sering dipanggil Ganis itu terlihat berbalik, dia menatap kedatangan Alvin dengan wajah yang sangat senang.
Alvin tersenyum haru saat melihat tubuh ibunya yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya juga terlihat pucat dengan lingkaran gelap di sekitar matanya.
"Mamah." Ucapan dari Alvin terputus saat Rengganis tampak berlari dan memeluk tubuhnya erat.
"Kamu sudah datang, Mas? Kenapa lama sekali kamu pergi? Aku rindu," ujar Ganis sambil memeluk erat Alvin.
Alvin terperanjat, dia melebarkan matanya dengan seklera yang mulai berubah menjadi merah. Dia baru sadar kalau ibunya mengira kalau dirinya adalah sang ayah.
"Mah, ini Alvin," lirih Alvin sambil membalas pelukan ibunya.
"Alin mana, Mas? Kenapa kamu membawanya pergi, aku kesepian di sini."
Rengganis seperti tidak mendengar kata-kata Alvin, dia terus menganggap Alvin adalah suaminya.
"Mah, ini Alvin bukan bapak," ujar Alvin lagi dengan suara parau.
Satu tetes air mata pun terlihat jatuh membasahi pipi, menyadari kondisi sang ibu saat ini.
......................
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Hany
gak tega lihat Alvin,pasti hatinya hancur,melihat kondisi ibunya sekarang 😔
2022-08-24
3
Helen Apriyanti
miris sekali Alvin bru pulng dr rs dn kondisi ibuny knp y thorr apkh buta ..dn mngura Alvin adl suaminya .. lnjuttbca lg smngttt thorrr
2022-07-20
4
Anita Giu
next Kka ❤
2022-07-12
2