...Happy Reading...
......................
Bel istirahat ke dua sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Alvin dan Imran baru saja ke luar dari musala, setelah melaksanakan ibadah salat zuhur.
"Ke mana nih kita, kantin atau warung di seberang jalan?" tanya Imran pada Alvin, sambil berjalan bersama ke luar dari musala.
"Kantin aja lah yang deket," jawab Alvin.
Ya, biasanya Alvin akan memilih membeli makan siang di warung seberang jalan, yang harganya lebih murah dari di kantin sekolah.
"Tumben, biasanya kamu ke warung depan terus," ujar Imran.
"Aku harus ke perpus dulu sebelum masuk, ada buku yang aku cari," jawab Alvin memberi alasan.
"Ya ampun, kamu ini gak ada kerjaan lain apa selain baca buku. Di sekolah pegang buku, ke rumah bawa buku," desah Imran.
Dia tidak habis pikir dengan Alvin yang seakan tidak ada bosannya untuk membaca berbagai macam buku.
"Aku kan cuman bisa pinjem ke perpus, buat bahan belajar di rumah, Imran. Gak kayak yang lain, yang bisa beli sendiri. Jadi, harus manfaatin fasilitas yang udah diadakan oleh sekolah," jawab Alvin.
Imran mengangguk-anggukkan kepalanya, dia memang tau keterbatasan kemampuan Alvin, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena keluarganya pun hanyalah keluarga bias-biasa saja.
Kedua orang tuanya pun hanya seorang petani, walau ayahnya juga bekerja sebagai guru di sekolah dasar, tidak jauh dari rumah.
Makanya, orang tua Imran selalu berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
"Ya udah, berarti hari ini kita makan di kantin ya," ujar Imran memastikan.
Alvin pun hanya mengangguk sebagai jawaban, sambil terus melanjutkan langkahnya.
"Gimana tadi di kelas?" Imran berjalan sambil merangkul pundak Alvin.
Alvin melirik Imran dengan kerutan di keningnya, dia belum mengerti dengan pertanyaan temannya itu yang terdengar ambigu.
"Gimana apanya?" tanya Alvin.
"Gimana udah dapet incaran belum?" Imran tersenyum menggoda.
Imran memang termasuk remaja yang pecicilan dan banyak mencari perhatian pada para perempuan, mungkin di dirinya ada jiwa pemain wanita yang belum tercapai.
Gaya bicaranya juga sedikit ceplas-ceplos, hingga membuat banyak orang mudah menyukainya.
Alvin terdiam, memikirkan maksud dari kata yang diucapkan oleh teman sekaligus saudaranya itu.
"Aku gak tertarik," jawab Alvin, setelah mengerti akan pertanyaan Imran yang ternyata mengenai perempuan.
"Tapi, udah ada kan cewek yang mulai deketin kamu, atau ngajak temenan gitu? Secara muka kamu kan lumayan, kalau buat dijadiin pacar," ujar Imran.
"Aku sekolah bukan untuk cari pacar. Tapi, buat cari ilmu, Imran," jawab Alvin sambil melepaskan rangkulan Imran di bahunya dan berjalan lebih cepat.
"Yee, kan lumayan, Vin. Bisa buat jadi penyemangat belajar, kalau kita punya gebetan." Imran menyusul Alvin.
"Semanagt aku bukan ada karena sebuah hubungan seperti itu. Semangat aku sudah ada semenjak aku memutuskan untuk pindah ke sini bersama dengan Kakek dan nenek," jawab santai Alvin lagi.
"Iya deh, iya ... aku percaya sama kamu," ujar Imran, sambil mengangkat kembali salah satu tangannya, berniat untuk merangkul bahu Alvin lagi.
Namun, Alvin langsung menepisnya sambil melihat ke sekitar.
"Ngapain sih? Diliatin orang tuh," ujar Alvin sambil mengedarkan pandangannya.
"Ya ampun, Vin. Kita kan saudara ... lagian aku juga masih normal," sungut Imran tidak terima.
"Siapa yang bilang kita gak normal, Imran? Aku cuman gak enak aja jadi bahan perhatian orang," jawab Alvin.
Kini mereka berdua sudah sampai di kantin, Alvin yang sebelumnya belum pernah datang ke tempat itu, mengedarkan pandangannya, melihat situasi di sekitarnya.
Ternyata di saat waktu istirahat seperti ini, kantin terlihat lebih ramai. Padahal ini sudah terlambat beberapa menit dari yang lainnya.
"Makan apa nih kita?" tanya Imran sambil mengedarkan pandangannya mencari makanan yang sekiranya dia inginkan.
Berbeda dengan Imran, Alvin malah mencari harga makanan yang paling murah dan bisa mengenyangkan.
"Kamu mau beli apa, Vin?" tanya Imran.
"Aku beli roti aja deh," jawab Alvin.
"Lah kok cuman roti?" tanya Imran.
"Iya, aku masih kenyang." Alvin memberi alasan.
Padahal bukan karena itu Alvin memilih membeli roti. Dia merasa tidak tega kalau harus menghabiskan uang jajannya, hanya untuk mengisi perutnya sekali makan saja.
Dari pada beli makanan semahal ini, mending pulang sekolah aku beli telur bebek di Bi Inah buat dimakan pake nasi di rumah, batin Alvin.
Alvin pun mengambil satu buah roti dan air mineral berukuran kecil, untuk dirinya sendiri.
Cukup lah untuk mengganjal perut sementara, batin Alvin kembali berkata, berusaha melapangkan hatinya, menerima segala keterbatasan yang dia alami saat ini.
"Ya udah deh, aku mau pesan siomay dulu deh," ujar Imran sambil berjalan menuju penjaga kantin.
Beberapa saat kemudian Imran sudah datang dengan dua porsi siomay miliknya, dia berikan salah satunya pada Alvin yang sudah memulai memakan rotinya.
"Ini, buat kamu. Kebetulan tadi pagi bapakku memberi uang jajan lebih," ujar Imran.
Alvin menatap Imran tidak setuju, dia tidak menyangka kalau saudaranya itu akan membelikannya makanan. Padahal Alvin tau kalau kondisi keuangan Imran pun tidak jauh berbeda dari dirinya.
Hanya saja, bedanya Imran masih mempunyai orang tua yang sanggup untuk memberikan dia kehidupan yang normal.
"Gak gini, Ran. Aku udah cukup kok makan roti aja," tolak Alvin.
"Ini udah terlanjur aku bayar, jadi gak usah nolak. Sayang kan kalau aku balikin lagi," jawab Imran sambil mulai memakan siomay miliknya.
"Oke aku makan. Tapi, kamu harus janji dulu sama aku, gak akan kayak gini lagi. Kalau sampai ini kembali terulang, aku gak akan mau makan lagi," ancam Alvin, menatap wajah Imran tajam.
Sebenarnya bukan karena marah, Alvin berkata seperti itu. Dia hanya tidak mau terus behutang budi pada orang lain, walaupun itu saudaranya sendiri, seperti Imran.
Alvin tidak mau terbiasa bergantung dengan orang lain, dia hanya ingin mendapatkan hasil dari pekerjaan yang dia kerjakan, bukan dari belas kasihan ataupun rasa iba karena nasibnya sekarang.
Alvin tidak mau kalau nantinya dia malah merasa terlena oleh rasa iba orang padanya, hingga berakhir dengan ketergantungan dan rasa malas, untuk memperjuangkan masa depan dan tujuan hidupnya.
"Iya, iya ... aku janji ini terakhir kalinya aku ngasih kamu makan gratis. Ya sudah sekarang kamu harus makan," jawab Imran.
"Terima kasih," ujar Alvin.
Imran hanya mengangguk sambil melihat wajah Alvin, dengan rasa iba di dalam hatinya. Dia tidak bisa membayangkan jika apa yang terjadi pada Alvin, terjadi padanya juga.
Mungkin saat ini Imran sudah tidak bisa melanjutkna hidup dan marah dengan takdir yang diberikan Tuhan padanya.
Bila boleh jujur, dia sendiri malu sekaligus kagum pada Alvin, yang terlihat sabar dan tabah dalam menghadapi semua cobaan yang diberikan Tuhan pada remaja itu.
Alvin pun akhirnya mau menyentuh sendok dan mulai memakan siomay yang dibelikan oleh Imran.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Helen Apriyanti
Alvin ank baik ... ank mndiri.. nmun hidupnya pnuh lika liku .. kasian alvin suatu saat nnti psti bhagia smngttt Alvin smngttt up thorrr lnjutttt
2022-07-24
3
Dimas Sam
Alvin anak my gk mau mnyusahkn org dan brhutang Budi ..Alvin anak baik... ujian hidupnya sngat berat d tinggal org yg d sygi dan d cintai... hrs hidup mandiri dan TDK brgbtung PD org.. smngttt Alvin suatu hari nanti kbahagiaan mnghmpirimoe... lnjutttty thorr smngtt
2022-07-24
4
Reii_Rey
kamu anak hebat Alvin kuat hadapi ... ujian berat...
semangat Alvin 💪💪 masa depan mu menanti...
2022-07-24
3