...Happy Reading...
......................
Alvin membuka mata dengan napas yang memburu, butir keringat di keningnya, terlihat cukup banyak.
Mimpi kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa bapak dan adiknya, terus datang dan menghantui hampir di setiap malamnya.
Suara adzan berkumandang, menyadarkan Alvin dari kesadarannya yang belum pulih sepenuhnya.
Sudah subuh, batin Alvin.
Remaja itu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sebelum beranjak dari tempat tidur.
Dia terlebih dahulu mengambil handuk miliknya, lalu ke luar dari kamar.
Di luar, Darman dan Esih sudah bangun lebih dulu, mereka tengah berbincang di dapur sambil memasak air untuk membuat kopi atau teh.
"Kek, ke masjidnya tungguin Alvin ya," ujar Alvin, sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
"Iya. Cepetan mandinya, nanti kita ketinggalan berjamaah," jawab Darman.
"Iya, Kek," teriak Alvin yang sudah masuk ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian Alvin sudah siap untuk pergi ke masjid. Dia ke luar dari kamar, sambil membetulkan sarung yang dipakai.
"Yuk, Kek," ajaknya.
Darman mengangguk, dia beranjak dari tempat duduknya.
"Kami berangkat dulu ya," pamit Darman pada sang istri.
"Nek, aku ke masjid dulu." Alvin menimpali perkataan Darman sambil mencium tangan neneknya.
"Assalamualikum," ujar kedua laki-laki itu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Esih, sambil melihat suami dan cucu laki-lakinya berjalan menuju ke masjid bersama.
Sudah satu minggu Alvin berada di kampung halaman Darman dan Esih. Remaja itu berangsur bisa beradaptasi tinggal di kampung.
Apa pagi di sini juga ada beberapa saudara dari Hardi yang dengan mudah menerimanya, dan menjadikannya teman.
Ya, Hardi memang memiliki beberapa saudara kandung. Mereka masing-masing sudah mempunyai anak, salah satunya ada yang seumuran dengan Alvin.
Sampai di masjid Alvin langsung bertemu dengan beberapa orang yang memang hendak shalat subuh berjamaah.
Penerimaan warga pada Alvin juga cukup baik, mereka bersikap baik, walau kadang ada yang membicarakan keluarganya di belakang.
Alvin yang ramah dan memiliki wajah tampan, membuat banyak warga menyukainya, apalagi selama satu minggu berada di sana, Alvin juga sering membantu Darman dan Esih di sawah, atau mengerjakan pekerjaan lainnya.
Beberapa saat kemudian Alvin sudah berjalan pulang bersama dengan kakek para laki-laki kampung lainnya.
"Wah, Alvin rajin sekali ya. Masih remaja, tapi, sudah mau shalat berjamaah di masjid," puji salah satu ibu-ibu tetangga rumahnya.
"Iya, Alhamdulillah, Bu," jawab Darman.
Sedangkan Alvin sendiri hanya menganggukkan kepala samar sambil tersenyum tipis.
Ya, begitulah Alvin di mata para ibu-ibu tetangga kampung kakeknya itu, mereka kagum melihat sosok remaja seperti Alvin. Mengingat di sana memang masih jarang remaja yang mau shalat di masjid, apa lagi untuk shalat subuh.
Sampai di rumah, Esih sudah menyiapkan sarapan bersama kopi dan teh untuk Alvin dan Darman.
"Kek, aku ganti baju dulu," ujar Alvin, setelah mereka sampai di rumah.
"Ya," jawab Darman sambil membuka baju koko dan sarungnya di ruang tengah, lalu menggantinya dengan pakaian yang udah lusuh, khusus untuk bekerja ke sawah.
"Ayo, sarapan dulu, Vin," ujar Esih, begitu melihat Alvin sudah mengganti bajunya.
"Iya, Nek," jawab Alvin sambil melangkah mendekati Darman dan Esih di meja makan.
Tidak ada makanan spesial yang tersaji di atas meja. Hanya ubi goreng hasil dari kebun dan teh manis, juga kopi untuk Darman.
"Nanti tolong bantu kakek, bawain pupuk ke sawah ya," ujar Darman di sela sarapan mereka, yang mungkin lebih pantas di sebut ngopi pagi.
"Baik, Kek," angguk Alvin.
Matahari yang begitu terik sudah terlihat mulai naik, saat Alvin dan Esih berangkat ke sawah, padahal waktu masih menunjukan pukul tujuh pagi.
Sedangkan Darman sudah berangkat lebih dulu, dengan membawa sebagian besar pupuk.
Alvin memikul pupuk yang disisakan oleh Darman untuk dirinya bawa, sedangkan Esih membawa bekal untuk mereka.
"Nek, kenapa kita gak berangkat pagi seperti biasanya?" tanya Alvin, sambil mulai berjalan menyusuri setiap pembatas sawah dengan hati-hati.
"Gak apa-apa, tadi kan nenek harus ada kerjaan dulu di tetangga, makanya kita berangkat siang," ujar Esih.
Sebenarnya itu hanya alasan, Darman tidak mau melihat Alvin terlalu keras membantunya, hingga dia menyuruh Esih membawa Alvin lebih siang.
Ada rasa sakit di hati kedua orang tua itu, saat melihat cucunya terus berusaha keras membantu mereka, mengerjakan pekerjaan yang kasar seperti itu.
"Terus, kenapa Alvin gak ikut sama Kakek saja?" tanya Alvin, sedikit protes karena dirinya berangkat siang.
"Gak apa-apa, kamu kan bantu nenek dulu di rumah," jawab Esih.
"Oh iya, lagian sekarang kamu juga harus mulai mempersiapkan diri untuk tes masuk sekolah dan tes beasiswa kan?" sambung Esih lagi.
"Tapi, itu kan bisa aku kerjain malam, Nek. Ini mumpung aku masih belum aktif sekolah, makanya mau bantu." Alvin masih menggerutu.
"Gak apa-apa, kalau siangnya capek malamnya kan lebih enak langsung istirahat," ujar Esih, sambil tersenyum.
Alvin memang termasuk anak yang rajin, semenjak dia datang ke kampung, remaja itu sama sekali tidak mau untuk membantu pekerjaan kakek dan neneknya di sawah.
Sekitar lima belas menit berjalan, Alvin akhirnya sampai di sawah kakek dan neneknya.
"Kalian, sudah sampai?" tanya Darman sambil mengisi kembali wadah tempat pupuk.
"Iya, Kek. Sini, Kek, sekarang giliran aku yang tebar pupuknya," ujar Alvin.
"Emang bisa?" tanya Darman, dengan senyum meremehkan.
"Ya, gak bisa sih, hehe." Alvin menggaruk tengkuknya.
"Makanya, Kakek sama Nenek, ajarin aku dulu, biar bisa," sambung Alvin lagi.
Sontak perlakuan Alvin membawa tawa bagi Darman dan Esih. "Ayo, sini sama nenek, biar nanti sekalian nenek ajarin."
Esih dan Alvin mulai melngkah menuju sawah, sedangkan Darman memilih istirahat sebentar untuk minum air putih.
"Kamu liatin nenek dulu, baru nanti coba ya," ujar Esih sambil mulai menebar pupuk pada sawah.
Alvin memperhatikan bagaimana Esih menebar pupuk selama beberapa detik, hingga akhirnya dia mulai mencoba.
Tidak membutuhkan waktu lama, Alvin sudah bisa menebar pupuk dengan baik, dia tersenyum senang melihat dirinya sudah bisa mengerjakan pekerjaan baru.
"Yeay, aku bisa, Nek!" ujar Alvin sambil terkekeh.
Esih dan Darman yang sedang mengerjakan pekerjaan lainnya tertawa mendengar perkataan Alvin.
"Ya ya, cucu nenek memang pintar," jawab Esih, sambil mengacungkan jempolnya.
"Kamu senang kan, jadi sekarang kamu kerjakan sampai selesai ya. Kakek mau lihat yang lainnya dulu!" teriak Darman dari tempatnya.
"Siap, Kek! Aku akan sebar semua pupuknya, biar padanya tumbuh subur!" jawab Alvin, sambil terus menebar pupuk di tangannya.
Pasangan tua dan cucunya itu pun akhirnya mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing, sambil terus berbincang dengan suara yang lumayan kencang, mengingat jarak di antara mereka.
......................
Adakah yang punya kenangan di sawah seperti Alvin?
...Komen👍...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
friyti
jadi inget alm kakek, nenek sama paklek. dulu sering ikut ke sawah buat nanam padi. sekarang mereka dah pergi ಥ_ಥ
2023-07-06
1
Hany
senengnya lihat Alvin,masih remaja sudah mau bantu2 ke sawah,padahal banyak dr anak2 kampung asli,bahkan malu untuk membantu orang tuanya di sawah
2022-08-27
3
Helen Apriyanti
ada ... aku thorr..dl akunpernah ke sawah .. nanam padi bersama nenek .. seru tapi ada tkutnya hee tkut d ggit lintah hee
2022-07-23
2