Sebelas

"Mama cantik...."

Inna yang mendengar suara itu langsung mencari keberadaan pemilik suara yang cukup khas. Dan ternyata pemilik suara itu tak berada jauh darinya. Inna tersenyum senang saat matanya bertemu dengan mata biru milik Elya. Disana juga ada Samuel dan Diana. Dengan semangat Elya bergegas menghampiri mereka. Tanpa sedar Inna langsung memeluk gadis mungil itu. Samuel memberikan tatapan tak suka pada Inna. Tetapi gadis itu sama sekali tak menanggapinya.

Tanpa Inna sadari, ia telah menarik perhatian sebagian besar para pengujung. Termasuk Jidan dan Didi yang bingung melihat semua itu. Terutama pada panggilan anak itu pada Inna.

"Mama di sini juga? Bukanya Mama ada janji dengan teman Mama?" tanya Elya dengan suara yang begitu lembut.

"Iya, Sayang. Itu di sana teman-teman Mama." Jawab Inna sambil menunjuk kearah Jidan dan Didi. Sedangkan yang ditunjuk hanya saling menatap bingung.

"Mama mau ke mana?" tanya Elya lagi.

"Mama mau ke toilet, Sayang." Jawab Inna sambil merapikan rambut Elya yang sedikit menutupi mata bulatnya.

"Elya mau ikut." Rengek Elya begitu manja.

"Mama cuma mau ke toilet, Sayang." Inna mencubit gemas hidung mungil milik Elya.

"Elya juga mau ke toilet. Ikut ya, Ma?" Elya terus merengek seakan Inna hendak pergi jauh.

"Ya sudah, kalau begitu Elya minta izin dulu dengan Papa ya?" Perintah Inna yang dijawab anggukan oleh Elya. Lalu gadis kecil itu memberikan tatapan memohon pada Samuel.

"Papa Elya mau ke toilet sama Mama, boleh ya Pa?" Elya pada Samuel. Kemudian Samuel menatap Inna yang sedang berdiri menunggu persetujuannya.

"Iya, tapi jangan lama-lama." Jawab Samuel yang disambut bahagia oleh Elya. Elya pun bersorak senang. Lalu Inna pun langsung membawanya menuju toilet.

Sejak tadi, Diana terus memperhatikan Inna. Bagaimana gadis itu memperlakukan cucunya begitu baik. Membuatnya semakin yakin jika Inna adalah wanita yang dikirimkan Allah untuk putra dan cucunya. "Inna sangat baik pada Elya, Mama menyukai gadis itu, El. Apa kamu...."

"El tidak ingin membahas itu, Ma." Potong Samuel dan berhasil membuat Ibunya kecewa. Samuel bisa merasakan itu. Ia menggenggam tangan Ibunya dengan lembut.

"Ma, berikan El waktu."

"Mama hanya ingin kamu bahagia, setidaknya kamu pikirkan tentang Elya. Dia masih sangat kecil dan membutuhkan sosok Ibu." Diana terlihat sedih. Selama ini ia terus memikirkan nasib Elya yang harus menjalani kehidupan tanpa seorang Ibu.

"El tahu, Ma. Untuk saat ini El masih belum bisa menerima siapa pun. El harap Mama mengerti," ucap Samuel.

Diana tersenyum dan mengusap pipi Samuel dengan lembut. Ia bisa merasakan apa yang putranya rasakan. Ia tahu putranya masih sangat terpukul.

"Papa." Panggil Elya yang sudah kembali dari toilet bersama Inna.

"Tante, apa kabar?" Tanya Inna pada Diana sebelum ia kembali ke mejanya.

"Baik, Sayang. Kamu dengan siapa di sini?" Jawba Diana.

"Dengan teman, Tan. Kebetulan mereka baru tiba di Indonesia. Jadi kami segaja berkumpul malam ini." Jawab Inna jujur.

"Oh, pantas saja Elya bilang kamu sudah janji dengan teman-teman."

"Iya, Tan. Kalau begitu Inna pamit dulu. Kasian mereka udah nunggu Inna dari tadi." Pamit Inna.

"Mama, Elya mau ikut ya?" rengek Elya lagi

"Elya." Seru Samuel mencoba mengingatkan putrinya.

"Please Papa, boleh ya? Boleh kan Ma?" rengek Elya menangkup kedua tangannya. Inna tersenyum melihat tingkah menggemaskan Elya.

"Ok, boleh kok. Biar sekalin Mama kenalkan anak Mama yang cantik ini sama teman Mama." Ujar Inna yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Samuel.

"Tidak. Papa tidak kasih izin kamu untuk pergi, Elya." Samuel sedikit meninggikan suaranya dan itu berhasil membuat Inna terkejut.

Inna langsung melihat Elya dengan mata yang mulai berair.

"Papa jahat!" Teriak Elya menyentak tangan Inna dan langsung berlari keluar. Sontak semua orang kaget.

"Elya tunggu, Sayang." Inna langsung menyusul Elya keluar.

"Mama kecewa sama kamu, El." Diana menatap Samuel jengah. Dan langsung bergegas pergi meninggalkan Samuel.

Dengan rasa menyesal Samuel pun ikut mengejar Elya.

"Elya jangan lari, Sayang." Inna terus berteriak memanggil Elya yang berlari kencang. Sekuat tenaga inna mengejarnya. Sial! Elya berlari ke luar dari lingkungan restoran, lebih tepatnya ke arah jalan raya.

Inna mulai panik karena jalanan dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang.

"Elya awas!" teriak Inna saat melihat Elya yang tiba-tiba menyebrang. Dan kejadian naas itu benar-benar terjadi. Sebuah mobil menabrak tubuh mungil Elya.

"ELYAA..." teriak Inna saat melihat Elya terhempas beberapa meter. Dengan kaki gemetar Inna berlari kearah dimana Elya terbujur kaku. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat darah segar mengalir dari dalam mulut Elya.

"Elya bangun sayang... Mama mohon sayang." Inna memeluk tubuh Elya yang dengan perasaan takut. Ia menangis sajadi-jadinya, perasaan takut kehilangan kembali ia rasakan.

"Elya." Diana dan Samuel pun menghampiri Inna. Dengan wajah pucat Samuel melihat putrinya bersimpah darah. Inna bangun dari posisinya dan menggendong Elya. Menghampiri Samuel yang masih mematung.

"Kerumah sakit sekarang, Prof." Teriak Inna menarik Samuel dari lamunannya. Lelaki itu langsung mengangguk dan berlari ke parkiran. Tidak perlu lama mereka pun langsung membawa Elya kerumah sakit. Sepanjang jalan Inna tak berhenti berdoa agar Elya baik baik saja. Tubuhnya bergetar hebat.

"Kamu harus bertahan demi Mama, Sayang. Mama mohon jangan tinggalkan Mama," ucap Inna mendekap Elya begitu erat. Berbeda denan Samuel, ia tak lagi berpikir jernih dan begitu pokus menyetir mobil menuju rumah sakit terdekat. Hingga mereka pun tiba disebuah rumah sakit. Inna langsung berlari membawa Elya masuk dan menyerahkannya pada dokter. Diana yang menyusul pun langsung memeluk Inna. Gadis itu benar-benar terlihat rapuh.

***

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Tanya Samuel saat dokter yang menangani Elya keluar dari ruangan.

"Begini pak, terjadi kebocoran pada jantung anak bapak. Sepertinya benturan didadanya cukup kuat. Kita harus segera mencari pendonor yang tepat, jika tidak akan terjadi hal fatal pada anak Bapak." Jelas dokter yang berhasil membuat semua orang terkejut. Seketika kaki Samuel sangat lemas, ia merasa bersalah karena ia penyebab utama atas apa yang terjadi.

"Maafkan Papa, Sayang." ucap Samuel meluruhkan tubuhnya ke lantai. Diana yang melihat itu langsung menghampiri putranya.

"Sabar El, Elya akan baik baik saja. Kita harus banyak berdoa." Diana mencoba menenangkan Samuel. Meski saat ini ia juga harus berperang dengan hatinya.

Sedangkan Inna, ia hanya diam mematung. Bayangan Elya tertabrak tadi masih terekam jelas dalam kepalanya. Tubuhnya melemas dan hampir terjatuh, beruntung tangan kekar Jidan berhasil menangkapnya.

Jidan maupun Didi memang sempat menyaksikan semua kejadian. Oleh karena itu mereka mengikuti jejak Samuel ke rumah sakit.

"Dia akan baik baik saja." Jidan berbisik tepat di telinga Inna. Inna hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu tak lama seorang suster keluar dari ruangan.

"Pasien sudah sadar, ia terus mengigau menyebutkan Mama cantik, apa disini ada Ibunya?" Ujar sang suster.

"Saya, Dok. Saya Mamanya." Jawab Inna menghampiri suster.

"Mari masuk, Buk." Ajak suster itu. Inna hendak melangkah namun sempat tertahan karena mengingat sosok Samuel. Inna pun menatap lelaki itu untuk meminta izin.

"Masuklah." Perintah Samuel paham dengan tatapan Inna.

Tanpa banyak berpikir lagi, Inna langsung masuk ke dalam. Air matanya kembali mengalir saat melihat Elya terbaring tak berdaya diatas brankar. Dengan ragu kakinya melangkah menghampiri Elya. Inna banar-benar tidak sanggup melihat kondisi Elya saat ini. Membuat hatinya teramat sakit. Perlahan Ia mengusap kepala Elya yang terbalut perban. Lalu mengecupnya dengan penuh perasaan. Inna bingung dengan perasaanya sendiri. Ia teramat menyayangi Elya melebihi apa pun. Padahal anak itu tidak memiliki hibungan apa pun dengannya.

"Mama." Inna sangat terkejut saat Elya memanggilnya dengan mata yang masih terpejam.

"Elya... sayang, ini Mama. Mana yang sakit huh?" Inna mencium tangan Elya.

Kedua mata Elya terbuka perlahan, sorot matanya langsung tertuju pada Inna.

"Mama cantik." ucap Elya begitu lemah.

"Iya sayang, ini Mama." Inna bahagia karena Elya sudah sadar sepenuhnya. Ternyata gadis kecil itu memiliki tubuh yang kuat.

"Apa yang Elya rasakan, di mana yang sakit?" tanya Inna pada Elya. Elya menyentuh dada kirinya.

"Dada Elya sakit, Ma." Elya terlihat lemah. Sesekali matanya kembali terpejam dan itu membuat hati Inna sakit.

Inna menangis pilu. Rasa takut kehilangan begitu besar. Ia tak mau lagi kehilangan orang yang dicintainya untuk yang kedua kali.

"Mama jangan menangis, Elya baik baik aja Ma." Elya tersenyum sambil mengusap air mata Inna.

"Mama percaya, Elya anak yang kuat." Inna mencium pipi Elya begitu mesra. Berharap ia mampu menyalurkan kekuatan untuk gadis itu. Tanpa mereka sadari, sejak tadi Samuel ada di sana dan menyaksikan semuanya.

"Papa mana, Ma?" tanya Elya.

"Papa di sini sayang." Samuel mendekati putrinya. Lalu duduk disisi kiri Elya dan mencium pucuk kepala Elya dengan lembut.

"Maafkan Papa, Sayang." Ucap Samuel tulus.

"Papa."

"Iya sayang?" Samuel menggenggam tangan mungil Elya penuh perasaan.

"Elya mau Papa menikah dengan Mama cantik. Elya mau punya Mama seperti teman-teman Elya yang lain."

Inna maupun Samuel terkejut mendengar permintaan Elya yang menurut mereka tidak masuk akal. Lalu keduanya saling melempar pandangan. Inna menelan air ludahnya begitu kelu. Tatapan Samuel membuat jantungnya seperti mau copot. Lalu Inna pun memutuskan pandangannya.

"Elya jangan banyak bicara dulu ya? Elya harus sembuh." Ujar Inna mengusap pipi Elya. Mencoba menepis pikirannya yang mulai berkecamuk.

"Mama mau kan jadi mama Elya?" Tanya Elya seraya menyentuh pipi Inna. Hatinya semakin sakit, karena tak mempu memenuhi keinginan gadis kecilnya.

"Maaf sayang, tapi Mama...."

"Papa setuju, tapi Elya harus menjalankan operasi dan sembuh dulu." Potong Samuel yang berhasil membuat Inna kaget bukan main. Bagaimana bisa lelaki itu menyetujuinya dengan mudah?

"Iya Elya mau, Pa. Elya mau sembuh dan melihat Mama cantik pakaia baju pengantin." Jawab Elya antusias.

Sedangkan Inna masih terdiam seribu bahasa, tatapannya kosong. Hingga tangan mungil itu kembali menyadarkannya. Inna tersenyum sebisa mungkin.

"Setelah ini kita harus bicara empat mata." Samuel bicara pada Inna.

"Ya." Jawab Inna sambil mengangguk pasrah. Tatapannya masih tertuju pada Elya yang mulai terlelap.

Setelah Elya tidur kembali, Inna dan Samuel keluar dari ruangan.

"Ikutlah denganku sebentar." Ajak Samuel yang dijawab anggukan oleh Inna. Lalu keduanya beranjak pergi meninggalkan semua orang yang terus memberikann tatapan heran.

Langkah mereka pun terhenti di taman belakang rumah sakit. Suasana cukup sepi karena malam semakin larut.

"Menikahlah denganku, Inna." Ajak Samuel pada Inna. Sedangkan Inna hanya menatap tanah dengan tatapan kosong.

"Ini demi Elya. Kali ini saya memohon padamu, Inna." Sambung Samuel dengan nada menohon. Demi putrinya, ia rela menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki yang memiliki karakter dingin.

Inna mendengar setiap perkataan Samuel dengan jelas. Ia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya yang semakin semraut. Kata-kata Elya yang penuh permohonan terus menghantuinya. Meski ia belum yakin dengan keputusannya, karena menikah dalam waktu dekat bukanlah tujuannya. Namun, ia kembali memikirkan si cantik Elya. Bolehkan ia egois? Tetapi itu bukan karakternya.

Inna menghela napas panjang, lalu menatap Samuel begitu dalam. "Baik lah, saya terima. Ini untuk Elya." Jawab Inna tegas. Ia benar-benar mengambil keputusan besar.

"Kamu yakin? Menikah bukan perkara mudah. Ini adalah keputusan yang kamu buat, kadi suatau saat jangan pernah menyesal." Samuel menatap Inna begitu dingin dingin.

Inna pun mengangguk dan begitu yakin dengan keputusannya.

"Satu lagi, setelah kita menikah tidak akan pernah ada kata perceraian. Jadi pikirkan matang-matang." Lanjut Samuel yang kemudian langsung pergi meninggalkan Inna di taman.

Setelah kepergian Samuel, Inna bernapas lega. Kehadiran lelaki itu membuat dadanya terasa sesak.

"Jangan berharap lebih Inna, ini demi Elya. Demi Elya." Inna memukul dadanya yang semakin sakit. Lalu ia pun beranjak pergi meninggalkan taman. Namun, langkahnya harus terhenti saat melihat sesosok yang begitu ia kenal lewat didepannya. Jantung Inna berdetak kencang dan tanpa sadar langsung berteriak.

"Mama...."

Terpopuler

Comments

Ilyloveme

Ilyloveme

Selama kelakuan bapak ga durjana, ok ok aja

2022-07-19

1

Ilyloveme

Ilyloveme

Lah harusnya bapak berterima kasih ke Inna krn sudah bersedia dipinang bapak, klo ga miikir Elya mana mauu

2022-07-19

1

Handayani Sri

Handayani Sri

hi

2022-06-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!