Tujuh

Inna sangat terkejut mendengar sebuah benda jatuh dari arah luar kamarnya. Dengan cepat Inna langsung beranjak keluar untuk melihat di maan asal suara itu.

Inna bernajak menuju dapur dan terkejut saat mendapatkan Randy sedang memungut pecahan kaca. Inna tahu itu pasti pecahan gelas. Papanya itu masih saja ceroboh.

"Ya ampun Papa, kenapa bisa pecah sih, Pa? Biar Inna aja yang bersihkan." Ujar Inna yang langsung menghampiri Randy. Lalu mengambil sapu dan sekop untuk membersihkan pecahan kaca.

"Papa haus, tapi pas papa ingin mengambil air gelasnya malah terjatuh." Jelas Randy sedikit menjauh.

"Ya sudah, papa geser sedikit biar Inna yang bereskan." ucap Inna sambil menyapu pecahan kaca yang beeserakan di lantai. Randy tersenyum senang, putri semata wayangnya itu begitu perhatian.

"Inna, apa Samuel belum sadar?" tanya Randy saat Inna sudah selesai membereskan semuanya. Saat ini mereka berada di ruang keluarga.

"Belum Pa, tadi sempat demam." Jawab Inna yang ikut duduk di sebelah Randy.

"Demam? Papa kira orang seperti dia tidak bisa demam." sindir Randy.

"Pak Sam juga manusia, Pa." ucap Inna sambil menggelengkan kepalanya. Randy pun tergelak mendengra pembelaan putrinya.

"Papa becanda, Sayang. Oh iya, dia dosen kamu bukan? Apa kalian tidak pernah bertemu?" tanya Randy sedikit penasaran karena keduanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda saling mengenal.

"Iya, Pa. Dia itu Prof. Sam. Hanya beberapa kali Prof. Sam masuk ke kelas Inna dan Inna juga tidak terlalu memperhatikannya, habis dia itu killer banget, Pa." Jawab Inna jujur. Namun, Randy kembali tertawa mendengar jawaban putrinya.

"Tapi... keberuntungan Inna gak bagus, Pa. Soalnya Prof. Sam akan jadi pembimbing Inna kedepannya." Sambil Inna dengan bibir mengerucut.

Randy mengerutkan alisnya. "Wah... jangan-jangan kalian jodoh lagi." Randy mulai menggoda putrinya.

"Ih... Papa. Inna gak mau punya suami killer seperti Prof. Sam." Ujar Inna semakin mengerucutkan bibirnya.

"Kalau jodoh gak bisa nolak loh." Timpal Randy sambil menoel hidung mancung putrinya.

"Ih, Papa. Udah ah, Inna mau tidur. Good night, Pa." Inna mengecup pipi Randy dengan lembut. Lalu ia pun beegegas meningalkan Randy.

"Good night, Sayang." Balas Randy sambil memperhatikan Inna yang mulai menghilang dari pandangannya.

"Lihat putrimu sudah besar Risa, apa kau tak merindukannya?" Gumam Randy dengan tatapan sendu. Jika boleh jujur, ia sangat merindukan istrinya yang tak kunjung ditemukan.

***

Pagi hari, di sebuah kamar terlihat seorang pria sedikit demi sedikit membuka matanya. Ia melihat sekelilingnya yang terlihat begitu asing. Ini bukanlah kamar yang selama ini ia tempati. Melainkan kamar orang lain.

Pria itu mulai bangkit dari posisinya, ia juga merasakan sakit dibagian kepalanya.

"Ahhh...." keluhnya. Ia menyentuh dahinya yang sudah terpasang perban.

"Dimana ini?" Tanyanya kembali memperhatikan sekeliling kamar yang ia tempati. Hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka. Menampakkan seorang pria paruh baya yang sangat Samuel kenali.

"Kau sudah bangun ternyata." Ujar Randy saat melihat Samuel sudah terbangun. Ia menghampiri Samuel yang sedang menatapnya bingung.

"Om, bagaimana saya bisa ada di sini?" tanya Samuel bingung.

"Bukankah kau mencoba bunuh diri tadi malam?" Sahut Randy sambil memyilangkan kedua tangannya di dada.

Samuel yang mendengar ucapan Randy kembali mengingat kejadian tadi malam. Ia mengingat terakhir kali dirinya mengendarai mobil, lalu mobilnya tak terkendali dan menabrak pembatas jalan.

"Jangan terlalu berlarut dalam masalah masa lalu, ingat kau masih memiliki seorang putri yang pantas kau bahagiakan." Ujar Randy tegas.

Samuel yang mendengar ucapan Randy masih saja bergeming.

"Sudah lah, ayo kita sarapan. Om tunggu kamu di meja makan." Timpal Randy yang langsung beranjak pergi.

Samuel manatap punggung Randy yang sedikit demi sedikit menghilang dari pandangannya.

Dengah susah payah ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan dengan sedikit sempoyongan menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya perlahan. Lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Ia mengutuk penampilannya yang sangat berantakan. Kemudian, pandangannya beralih pada perban di pelepisnya. Tadi malam, ia bermimpi bahwa Mayya datang dan memeluknya. Itu seperti nyata.

"Aku memang sudah gila." Ujarnya sambil tersenyum kecut.

Samuel keluar dari kamar dan berniat untuk beranjak menuju ruang makan. Meski awalnya ia bingung di mana letak ruangan itu, tetapi ia mendengar suara orang mengobrol. Langkah kakinya mengikuti sumber suara itu.

Pandangan Samuel langsung tertuju pada seorang gadis cantik yang kini sedang menyantap sandwich dengan begitu lahap.

"Duduk dan makanlah." Perintah Randy saat melihat keberadaan Samuel.

Inna yang mendengar ucapan Randy pun langsung menoleh dan tak sengaja matanya bertemu dengan mata biru Samuel. Dengan cepat, Inna langsung memutuskan pandangannya.

Samuel mengikuti perintah Randy untuk duduk dan ikut sarapan. Tanpa bicara, ia mulai menyantap sandwich dan secangkir kopi yang sudah tersedia di meja.

Samuel juga menyeruput kopi itu dengan ragu. Seketika ia terdiam, karena rasanya sangat enak dan begitu pas dimulutnya. Lalu ia melirik Inna yang ternyata sudah selesai sarapan. Apa gadis itu yang membuatnya? Batin Samuel.

"Papa, Inna sudah selesai makan. Inna pamit ya, Pa? Soalnya ada jam pagi. Assalamualaikum, Papa." Ujar Inna mencium pipi dan tangan Randy. Semua itu tak luput dari pandangan Samuel.

"Wa'alaikumusalam. Hati hati di jalan, Sayang." ucap Randy mencium kening putrinya.

"Iya, Pa." Jawab Inna yang langsung beranjak pergi, tanpa menghiraukan Samuel yang sedari tadi terus menatapnya.

"Sam, setelah ini Om akan antar kamu pulang." Ujar Randy yang kemudian menghabiskan kopi miliknya.

"Tidak perlu, Om. Saya bisa pulang sendiri dengan taksi." Samuel menngeluarkan tolakan halus.

"Baik, Om tak akan memaksa kamu. Oh iya, mobil kamu ada di salah satu bengkel, Om. Besok sudah bisa kamu ambil, nanti Om kirim alamatanya." Ujar Randy.

"Baik, Om. Terima kasih banyak sudah menolong saya." Ucap Samuel tulus.

"Ya sama-sama." Jawab Randy tersenyum simpul. Lalu keduanya pun kembali terdiam.

***

"Hai Inna," sapa salah seorang teman sekelas Inna yang sejak tadi sudah ada di dalam kelas.

"Hai Aldo, tumben pagi-pagi udah sampe?" Balas Inna menaruh tasnya di bangku. Lalu ia pun duduk di sana.

"Tadi pagi, ada janji buat ketemu dospem." Jawab Aldo dengan santai. Inna yang mendengar itu cuma bisa mengangguk.

"Oh ya, Na. Lo udah dapat dospem belum?" Tanya Aldo yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan oleh Inna.

"Siapa?" tanya Aldo penasaran.

"Prof. Sam." jawab Inna sekenanya.

"What? Seriously?" Aldo sedikit terkejut mendengar jawaban Inna.

"Yah, begitu lah." ucap Inna pasrah.

"Beruntung banget sih Lo, Na. Gw aja yang kepengen banget dapat beliau sebagai pembimbing gak bisa. Dan Lo harus memanfaatkan kesempatan bagus ini." Ujar Aldo penuh semangat. Ya, dari awal memang Aldo sangat tartarik dengan dosennya favoritnya itu. Sayangnya karena sesuatu hal, ia tidak dapat menjadikan Samuel sebagai pembimbingnya.

"Tapi gw belum pastikan, beliau mau atau enggak jadi pembimbing gw. Keputusannya nanti jam sepuluh, beliau ngajak ketemu." Jelas Inna.

"Wah bagus itu, gw yakin dia mau nerima Lo. Secara Lo kan Pinter." Seru Aldo.

"Gw gak tau, Do." Sahut Inna sambil tersenyum masam.

Setelah jam pelajaran habis, Inna langsung beranjak menuju ruangan dosen yang akan menjadi pembimbingnnya. Inna tidak yakin jika Samuel akan mengingat janjinya untuk bertemu pukul sepuluh ini, karena kejadian tadi malam.

Inna mengetuk pintu ruang dekan, kemudian tak lama pintu terbuka dan muncullah seorang pria yang tak lain adalah Rizal.

"Sudah buat janji?" tanya Rizal saat melihat Inna.

"Sudah, Pak. Jam sepuluh." Jawab Inna jujur.

"Baiklah, silakan masuk." Rizal mempersilahkan Inna masuk. Lalu mereka pun beranjak menuju ruang khusus dekan.

"Maaf, Pak. Ada mahasiswa ingin bertemu dengan Anda." Kata Rizal menghampiri Samuel. Sedangkan Inna masih berdiri di depan pintu.

"Suruh masuk." Perintah Samuel. Rizal pun mengangguk dan kembali menghampiri Inna.

"Silakan masuk." Perintah Rizal yang dijawab anggukan oleh Inna. Tanpa banyak berpikir, gadis itu langsung masuk.

"Assalamualaikum," ucap Inna saat masuk kedalam ruangan yang terasa dingin. Ya ampun, ternyata bukan cuma orangnya yang dingin. Ruangannya pun sedingin kulkas. Ucap Inna dalam hati.

"Wa'alaikumsalam. Silakan duduk," balas Samuel tanpa melihat lawan bicaranya. Ia terlihat sibuk dengan beberapa berkas.

Inna duduk di kursi, pandangannya langsung tertuju pada perban di dahi Samuel yang sudah terganti. Karena tidak ada lagi bercak darah seperti malam tadi.

"Ada keperluan apa?" tanya Samuel melempar pandangan kearah Inna. Namun, seketika Samuel terkejut. Ia tidak pernah menyangka orang yang menemuinya itu Inna.

"Zainna Keisha Nugraha?" tanya Samuel dengan nada ragu.

"Iya. Saya Zainna Keisha Nugraha yang sering dipanggil Inna. Mohon maaf mengganggu waktu Anda, Prof. Seperti janji Anda, tujuan saya datang adalah untuk meminta persetujuan Anda untuk menjadi pembimbing saya." Jelas Inna tegas dan sopan. Ia juga tersenyum simpul, karena tidak ingin dianggap tidak sopan.

Samuel mengerutuki dirinya yang tak menyadari bahwa Inna memiliki nama marga Nugraha. Anak pemilik perusahaan otomotif yang cukup besar di Indonesia. 'Nugraha Corp'. Yang tak lain adalah sahabat kedua orang tuanya.

"Ini formulir dan proposal saya." Lanjut Inna memberikan kertas formulir dan proposalnya pada Samuel. Samuel menerima itu dan mulai membacanya.

Cukup lama Samuel membaca proposal mahasiswinya itu. Jujur, ia sangat tertarik dengan judul yang Inna ajukan. Bahkan susunan kata yang ada dalam proposal cukup apik dan mengesankan.

"Baik, saya setuju menjadi pembimbing kamu." Ujar Samuel dan langsung menandatangani formulir Inna. Entah kenapa Inna sangat senang mendengar ucapan Samuel, padahal pada awalnya ia tidak menerima jika Samuel akan menjadi pembimbingnya.

"Terima kasih, Prof." Ucap Inna dengan mata berbinar.

Melihat itu, Samuel tersenyum samar. Tetapi Inna tidak melihatnya, gadis itu terlalu pokus pada proposalnya.

"Minggu depan, kita diskusikan lagi tentang kelanjutan riset kamu. Hari ini saya sibuk, jadi tolong luangkan waktu untuk minggu depan." Ujar Samuel sambil mengembalikan kertas formulir pada Inna.

"Baik, Prof." Sahut Inna merasa lega karena sudah mendapatkan persetujuan bimbingan.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Prof. Terima kasih banyak atas waktunya. Assalamualaikum." ucap Inna bangkit dari duduknya.

"Ya, Wa'alaikumusalam." Balas Samuel datar.

Inna beranjak keluar dari ruangan Samuel dengan hati yang berbunga-bunga. Ia sendiri bingung, kenapa perasaannya begitu senang saat Samuel menerimanya sebagai bimbingan.

Namun, baru saja Inna membuka pintu. Ia kaget karena berpapasan dengan seorang wanita. Bukan hanya Inna, wanita itu pun tak kalah terkejut saat melihat keberadaan Inna.

"Elo!"

Terpopuler

Comments

Ilyloveme

Ilyloveme

Ulat bulu🙄

2022-07-19

1

Ilyloveme

Ilyloveme

Menggigilka tuh

2022-07-19

0

Tari

Tari

Maaf Thor, fokus bukan pokus

2022-07-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!