Derap langkah kaki begitu menggema dilorong rumah sakit, seiring dengan detak jantung siempunya yang berdegup dengan kencang. Perasaan takut dan khawatir menyelimuti hati seorang gadis yang kini berjalan tergesa untuk sampai disebuah ruangan.
Ceklek!
Ia membuka pintu ruangan itu, matanya memanas kala melihat seorang wanita yang tertunduk dengan bahu bergetar disamping seseorang yang berbaring lemah diatas brankar.
"Mama!" panggilnya.
Sang Mama tersadar akan kedatangan putrinya. "Vani!"
Tangisnya pecah kala Vani mendekat dan segera mendekap kepalanya yang tengah duduk diatas kursi.
"Papa! Van papa!" ucapnya disela isak tangis.
Jatuh juga air mata yang sekuat mungkin Vani bendung. Rasa takut berhasil membuat Ia berubah cengeng. Ia tak bisa menyembunyikan tangis itu, hingga air matanya luruh tanpa suara.
Sofi yang baru bisa menyusul langkah sahabatnya, yang sudah seperti atlet lari akhirnya terhenti didepan pintu dengan napas ngos-ngosan. Wajahnya ikut sendu melihat pemandangan itu. Air matanya ikut luruh merasakan sakit yang sama seperti orang-orang baik didepannya. Ia mendekat dan ikut mendekap keduanya, mencoba menenangkan.
"Pa-padahal, pa-pa tadi sudah bangung Van. Ta-tapi ke-kenapa tidur lagi?" Jelas Mama dengan tersendat-sendat.
Vani hanya mengencangkan dekapannya untuk menenangkan sang Mama. Sebelumnya sang Papa sudah sadar, namun tiba-tiba kembali drop. Tim dokter segera mengambil tindakan, namun sepertinya sang papa masih enggan membuka matanya. Hingga dinyatakan kembali koma, bahkan sebelum Vani melihatnya.
"Gak apa-apa Ma. Gak apa-apa!" ucap Vani berusaha menenangkan.
Sofi sudah tak bisa berucap, Ia hanya menangis dengan mengeratkan dekapan pada keduanya sebagai penenangan.
**
"Nih minum dulu!" Sofi menyodorkan minuman kaleng pada sahabatnya itu.
"Makasih ya!" ucap Vani tersenyum seraya mengambil minuman itu dari tangan sahabatnya.
Sofi menghembuskan napasnya panjang. Tau pastilah ini berat untuk sahabatnya, namun sahabatnya ini begitu pintar menyembunyikan kesedihannya dibalik senyum manisnya itu.
Kini kedua gadis itu tengah duduk dibangku panjang dihalaman rumah sakit. Setelah kedatangan Mama Daffa, kedua gadis itu meninggalkan ruangan sang Papa untuk menenangkan diri.
Keluarga Daffa memanglah tinggal dikota itu sekarang. Mereka sudah mengenal keluarga Papa Ivan dari sebelum Ia kecelakaan. Mereka berteman dekat, setelah papa Ivan membantu perusahaan keluarga Daffa yang juga kena imbas kebangkrutan seperti perusahaan Rendi. Mereka membangun kembali perusahaan itu dikota yang mereka singgahi. Hingga kecelakaan itu merenggut nyawa Papanya Daffa dan Papa Ivan yang kini koma.
Semenjak kecelakaan itu, Daffa bertanggung jawab sepenuhnya pada keluarga Vani. Bahkan perusahaan itu pun berkembang pesat dibawah pimpinannya.
Daffa yang memiliki rasa terhadap Vani didukung penuh oleh mamanya dan mama Lia. Vani yang merasa berhutang budi pada Daffa pun tak dapat menolaknya. Ia terus berusaha membuka hati untuknya, namun entah kenapa Ia begitu sulit untuk itu.
Perasaannya tertahan untuk seseorang dari masalalunya. Meski masa itu, Ia masih terlalu kecil. Namun setiap hari Ia selalu mengingatnya dan ingin segera kembali bertemu dengannya. Bahkan hal itu Ia jadikan cita-cita dari kecil.
Namun sekarang saat Ia dipertemukan kembali, Ia harus mengubur rasa itu perlahan setelah Ia memutuskan untuk membuka hati untuk pria yang selalu setia menemaninya.
"Kamu yang sabar ya La, aku yakin om Ivan adalah orang yang kuat. Kamu harus percaya itu!" ucap Sofi menyemangati dan dijawab anggukan oleh Vani.
"Makasih ya Fi." ucap Vani dengan senyumnya juga dan diiyakan sahabatnya.
"Oh iya, kak Daffa pulang dulu ya?" tanya Sofi dan diangguki olehnya Vani.
"Iya, dia gak bisa ninggalin kerjaannya lama-lama." balasnya dan diangguki Sofi mengerti.
Rencana awal mereka akan magang diperusahaan Daffa, berhubung sang papa yang harus dipindahkan, membuat Ia juga harus dialihkan. Jangan ditanya Sofi, kemana Vani pergi Ia pasti ikut.
Tiba-tiba Vani berdiri, hingga Sofi pun bertanya. "Kamu mau kemana?"
"Kamu temenin mama dulu ya! Aku pergi bentar." balas Vani.
"Kemana?" tanya Sofi. Namun Vani terus berjalan. "Hei La! Kamu mau kemana?" teriaknya tak dihiraukan.
Sofi menghembuskan napasnya panjang seraya menggelengkan kepalanya. "Dasar anak itu."
**
Langit hitam begitu pekat, bintang enggan menampakan diri seolah tau kesedihan seorang gadis yang kini berjalan ditrotoar tanpa arah. Hembusan angin malam kian menusuk hingga tulang. Vani mendekap tubuhnya sendiri yang hanya berbalutkan kemeja putih dengan rok hitamnya.
Tiba-tiba saja kain tebal menyangkut dibahunya, hingga Ia pun terlonjak kaget dan reflek menghentikan langkahnya dan menoleh. Ia dibuat terpana menatap senyuman pria yang tengah mengaitkan jas hitam pada pundaknya.
Senyuman yang mampu menggetarkan hatinya. Tatapan yang mampu melumpuhkan organ syarafnya hingga Ia terpaku dengan tatapan saling mengunci. Waktu seakan ikut berhenti, kala tatapan itu kian dalam. Hingga pekikan seseorang menyadarkan mereka.
"Awas!!!"
Seorang pesepeda berteriak membuat mereka reflek menghindar. Tubuh Vani melayang, ditarik untuk menghindari sepeda yang hampir menabrak dirinya. Hingga tubuhnya mendarat mulus didekapan sang pria. Seketika tatapan keduanya kembali terkunci dan saling menyelami dengan hati yang berdebar kencang.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya meyadarkan sang gadis.
Vani segera bangkit dan berdiri sempurna. "Gak apa-apa. Maksih Pak!" ucapnya.
"Oh iya, Bapak ngapain disini?" tanya Vani pada pria yang ternyata bossnya itu.
"Apartemen saya daerah sini. Tuh!" Aska menunjuk salah satu gedung tinggi didepan mereka.
"Jalan kaki?" tanya Vani heran.
Aska tersenyum. "Ada yang harus saya beli di mini market depan." balasnya dan diangguki Vani.
"Kamu sendiri ngapain disini malam-malam?" tanya Aska heran. Pasalnya ini jauh dari kediaman sang gadis yang bilang rumahnya dekat dengan halte bis waktu itu.
"Oh, itu ... " Vani bingung harus menjawab apa, Aska menaikan alisnya seolah meminta penjelasan.
"Mmm saya lagi cari angin Pak." kilahnya tersenyum.
"Disini?" tanya Aska heran.
Sepertinya akan sulit untuk Vani berbohong. Ia pun menghembuskan napasnya panjang. Ia ragu jika harus jujur, takut sang boss akan tau tentang dirinya.
"Baiklah! Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik." tebak Aska hingga sang gadis yang tengah menunduk oun mendongak.
Terlihat tebakannya benar, Aska pun tersenyum. "Ayo! Saya teraktir kamu sesuatu." ajaknya seraya mengulurkan tanmulusgan.
Vani terdiam melihat uluran tangan itu. Hingga Aska segera meraih tangan itu dan menggenggamnya. Vani terlonjak kaget mendapat perlakuan itu.
"Tapi Pak-" Vani hendak protes namun dang boss segera menyelaknya.
"Udah ayo! Saya gak suka penolakan." balas Aska seraya sedikut menyeretnya untuk ikut berjalan mengikutunya.
Akhirnya Vani hanya bisa pasrah mengikuti langkah sang boss dengan langkah panjangnya, hingga sang gadis terseok-seok untuk menyeimbanginya.
Melihat jalan sang gadis yang seperti itu, Aska pun memelankan laju jalannya. Takut-takut sang gadis jatuh dan terluka karenanya. Keduanya terus berjalan. Aska sama sejlai tak melepas genggamannya, hingga mereka tumiba didalam mini market yang biasa Aska singgahi.
Stand pertama yang Ia tuju adalah makanan dingin. Keduanya sampai didepan freezer eskrim. Aska menggeser tempat penampungan eskrim itu untuk mengambil eskrim itu.
"Pilihlah! Kamu mau yang mana?" titahnya.
Tanpa ragu Vani mengambil eskrim pisang tang tinggal satu, dan hal itu sama pula Aska lakukan hingga tangan keduanya sampai pada satu eskrim bersamaan.
"Kamu juga menyukainya?"
\*\*\*\*\*\*
Jangan lupakan tinggalin jejaknya yaa🤗 biasaain jempolnya dan tunggalin komentarnya😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Aqiyu
komwn ajah 😁
2022-10-15
1
Sri Wahyuni
baca marathon ya jadi like aja gak komentar
2022-07-18
2