Flashback On~
Dug!
"Aaaww!"
Bola plastik dengan mulusnya berhasil mencium jidat seorang bocah tampan. Ia terduduk seraya meringis kesakitan.
"Aka!!" pekik kedua gadis kecil menghampirinya. Keduanya pun berjongkok untuk melihat keadaan bocah tampan itu.
"Ya ampun, aka gak apa-apa? Mana yang sakit? Mana, dede lihat?!" tanya salah satu gadis kecil dengan heboh seraya meraba-raba tubuh sang kakak.
"Aka gak apa-apa?" tanya satu gadis lagi dengan nada tenang namun penuh perhatian, seraya megusap jidat sang bocah yang kemungkinan memerah.
Ia yang menangkap jelas kejadian itu, tentu tau jidatnya lah yang menjadi sasaran empuk sang bola.
"Nggak! Gak apa-apa." balas Aska kecil. Meski matanya sudah berkaca-kaca, namun Ia tetap memperlihatkan wajah baik-baik saja pada kedua gadis itu.
Sipelaku penendang bola datang menghampiri. Ia pun ikut berjongkok untuk menanyai sang ponakan. "Kamu gak apa-apa kak?" tanya Rei.
Aska berusaha tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Nggak om!" balasnya.
Gadis kecil itu berdiri, seraya megulurkan tangannya. "Ikut aku!" ajaknya.
"Kemana?" tanya Aska mendongak.
"Ayo! Ikut aja!" ajaknya lagi.
Aska pun berdiri seraya meraih tangan kecil itu. Sang gadis pun berjalan menyeret tangannya.
"Vani mau bawa aka kemana?" teriak Kia, gadis kecil yang hanya melihat keduanya berlalu.
Vani tak menghiraukan teriakan sahabatnya itu. Ia terus berjalan hingga tiba dikursi santai, lalu mendudukan Aska disana.
"Aka tunggu bentar ya!" titahnya dan hanya diangguki bocah tampan itu. Vani pun berlau meninggalkan Aska yang kembali meringis memegang keningnya.
"Sstt sakit!" cicitnya.
Namun Ia berusaha untuk tak mengeluarkan tangisannya. Seperti apa yang dikatakan sang Papih, Ia harus jadi lelaki yang kuat dan gak mudah menangis. Dan pesan itu selalu Ia pegang teguh untuk bisa sekuat dan setangguh pria kesayangannya itu.
Tak berselang lama, Vani kembali membawa wadah berisikan es dan kain dari arah dapur. Sepertinya sang gadis meminta benda-benda itu dari timom yang tengah berkutat didapur.
"Sini, biar aku lihat!" titahnya menepuk pahanya setelah Ia mendudukan diri disamping Aska. Kebetulan yang diduduki Aska adalah kursi panjang yang mampu menampung dua bahkan sampai tiga anak kecil sepertinya.
"Tidur disitu?" tanya Aska menunjuk paha sang gadis untuk memastikan.
"Iya. Aka tidur sini, aku kompresin!" titah Vani lagi.
"Tapi kan aka berat." elaknya.
"Gak apa-apa sini! Sekalian pijitin." titahnya lagi.
Aska tersenyum menanggapi itu. Tak ingin membuat sang gadis cemeberut, Ia pun segera merebahkan kepalanya dipangkuan sang gadis. Hingga Ia bisa melihat jelas wajah manis nan menggemaskan itu dari arah bawah.
Vani mulai mengambil kain yang sudah diisi es itu dan mulai menyimpannya di dahi Aska pelan-pelan. Dengan telaten, Ia terus mempertahankan kain itu untuk mendinginkan kulit merah yang terkena hantaman bola tadi.
"Gimana aka? Gak sakit lagi?" tanyanya.
"Hemm iya. Enakan!" balas Aska. Bahkan Ia sampai memejamkan mata merasakan sensasi menyegarkan itu.
Setelah dirasa cukup, Vani mengangkat kain berisi es itu dan menyimpannya kembali kedalam wadah.
"Aku pijitin ya kak! Biar gak pusing." tawar Vani dan disambut senyuman serta anggukan Aska.
Tangan kecil itu mulai bergerak dikepala Aska. Meski hanya terasa seperti sentuhan, namun itu mampu membuat rasa pusing dikepala Aska hilang.
"Pijitnya agak keras!" titah Aska.
"Ini udah keras." balas Vani yang tak berhenti menggerakan semua jari tangannya.
"Tapi gak kerasa." protes Aska.
"Aku pukul-pukul aja mau?" tawar Vani seraya mengepalkan tangannya didepan Aska. Tentu saja hal itu membuat Aska tergelak. Tau pastilah gadis cantik itu merajuk akan protesannya. Namun gadis kecil itu pun ikut tergelak kala mendapat gelitikan tak terduga dari bocah tampan itu. Hingga keduanya pun bercanda dan tertwa bersama.
Flashback off~
**
"Vani!" Pekik Aska seraya membuka matanya.
Ia bangkit seraya memegang pelipisnya, lalu mengedarkan pandangannya melihat sekeliling dan tak mendapati siapapun disekitarnya. Ia tertunduk seraya menghembuskan napasnya panjang.
"Apa aku mimpi?" tanyanya bermonolog sendiri. "Bukan, itu memoriku."
"Tadi itu?" Ia mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
"Vanilla! Kau kah itu?" Aska terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Tapi kenapa dia gak mengingatku? Atau ... Mereka memanglah bukan orang yang sama?
Sungguhlah hal itu membuat kepalanya kian berdenyut. Ia pun hanya memijit pelipisnya pelan seraya otaknya terus bekerja keras.
"Dimana dirimu Van? Aka merindukanmu."
**
Sementara itu Vani yang baru keluar dari ruangan sang boss terdiam didepan pintu kala mendengar pekikan keras dari pria itu. Ia yang hendak menutup pintu, mengurungkan niatnya. Hingga pintu itu terbuka sedikit. Diam-diam Ia mendengar semua penuturan sang boss.
Air matanya jatuh mendengar itu. Benarkah Aka masih mengingatnya, bahkan Ia merindukannya?
"Maafin aku kak! Mungkin sebaiknya kita seperti ini. Aku takut rasaku semakin dalam padamu, dan akan menyakiti orang yang selama ini telah banyak berkorban untukku. Kak Daffa." lirihnya.
Ia tak tau arti rindu yang kini Aka nya katakan. Mungkin saja Aska hanya merindukan dia sebagai adiknya atau teman kecilnya. Namun bagi Vani arti rindu itu begitu dalam, bahkan Aska mendapat gelar cinta pertama dihatinya.
Satu lagi tetesan bulir dari ujung matanya jatuh. Dengan kasar Ia segera menghapusnya dan berlau meninggalkan tempat Ia berdiri, menuju lift. Ternyata gerak geriknya menjadi perhatian seorang pria yang hendak memasuki ruangan Aska. Ia sampai berhenti sejenak dibalik tembok untuk melihat sang gadis.
"Apa yang dia lakukan?" tanyanya bermonolog sendiri.
"Siapa sebenarnya gadis itu? Mungkinkah itu Vanilla yang Aska tunggu?"
Berbagai pertanyaan bersarang di kepala pria tampan itu. Ia hanya mengedikan bahu, kala otaknya kembali pada pekerjaan yang menuntutnya untuk segera diselesaikan. Tak ingin terus memikirkan itu, Ia pun segera berlenggang memasuki ruangan bossnya.
Sementara itu Vani kembali kelantai dimana dirinya bekerja. Menduduki kursinya setelah memberi laporan terlebih dahulu pada kepala staf.
Baru juga bokongnya mendarat dikursi, Sofi sudah misuh-misuh padanya. "Eh La, kamu tau gak? Kek nya si macan tuh gila. Masa iya aku diusir, terus dibentak-bentak." Protesnya denagan berbisik.
"Macan? Macan apa?" tanya Vani yang belum ngeuh dengan maksud sahabatnya.
"Itu, Pak sekretaris yang galak itu. Pokoknya fix itu orang ngeselin." balas Sofi berdecak kesal, hingga Vani pun terkekeh dibuatnya.
Ia memang tak mengetehui bagaimana sekretaris yang galak itu, karena memang tugasnya kemarin tak berjalan sempurna dan berakhir diruangan sang boss. Fokusnya kembali pada kejadian tadi. Hingga otaknya penuh dengan pria tampan itu. 'Aka!' batinnya.
**
Sore menjelang, semua karyawan berhamburan pulang begitu pun Vani dan Sofi, mereka yang baru keluar dari gedung bertingkat itu, menghentikan langkahnya kala dering ponsel bergetar dari dalam tas salah satu gadis itu.
Ternyata ponsel Vani lah yang bergetar. Ia lihat layar itu, hingga nampak nomor sang Mama tertera dilayar itu.
"Iya Ma?"
"Apa?"
\*\*\*\*\*\*
Jangan lupakan jejaknya yaa🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Aqiyu
ada apa....
apa ayah Vani.....
2022-10-15
1
Maaaaaak"utun"..nie🍉
"aka",,,duuuh g sbr nunggu kebucinanan ya😆😆😆😆😘😘😘
2022-07-08
1
Yanti puspita sari🌹🥀
apa hayo bikin penisirin aja nie mak uthor
2022-07-07
1